Halaman

Senin, 02 Oktober 2017

dilema revolusi mental, ideologi prestasi vs ideologi frustasi



dilema revolusi mental, ideologi prestasi vs ideologi frustasi

Rakyat sudah terbiasa dikhianati oleh sistem demokrasi saat pelaksanaan kampanye. Tentunya rakyat yang dikondisikan wajib menggunakan hak pilihnya pada hari-H pemilu maupun pilkada. Soal bagaimana penggunaan hak konstitusi secara benar dan baik, sudah ditentukan tersurat di UU. Soal UU tidak sampai di telinga atau tangan rakyat, tidak dipersoalkan oleh penguasa atau pihak berwajib atau pihak berwenang.

Kita bersyukur, pidato kampanye – yang  biasanya hanya sebagai selingan di pangung rakyat suka-suka – sudah bisa ditebak kandungannya. Masalahnya pada kampanye pilpres. Bukan sekedar pidato, tetapi lebih kepada konsep tindak langkah untuk satu periode.

Kita lebih bersyukur, kampanye untuk menatik simpati rakyat. Masih jauh dari tindak laku démagogis. Kendati main politik namum masih bukan politik untuk memperoleh kekuasaan dengan jalan menghasut dan membangkitkan emosi rakyat. Atau dengan modus mirip démagogis.


Lema “rakyat” kita cuplik dari “Kamus Bahasa Indonesia”, Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta 2008 :

rakyat n 1 segenap penduduk suatu negara (sbg imbangan pemerintah); 2 orang kebanyakan; orang biasa; 3 kl pasukan (bala tentara); -- gembel orang yg sangat papa dan tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan tetap; pengemis; peminta-minta: -- jelata rakyat biasa (bukan bangsawan, bukan hartawan); orang kebanyakan; -- kecil orang yg status sosial ekonominya sangat kurang; rakyat kebanyakan;

lain cerita dengan lema “rakyat” di “Tesaurus Bahasa Indonesia”, Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta 2008 :

kawula n 1 abdi, babu (cak), budak, bujang, jongos, kacung, pelayan, pembantu, pesuruh, sahaya; 2 barisan, massa, pengikut, orang biasa, rakyat

kelas bawah 1 inferior, papan bawah; 2 kelas pekerja, proletariat, rakyat jelata

populasi n komunitas, masyarakat, penduduk, rakyat, warga
priayi n adiwangsa, aristokrat, bangsawan, darah biru, menak, ningrat, permasan;
ant rakyat

Lema “rakyat” di kamus politik, mungkin bisa lebih nyata, terukur, nyaris tak terdeteksi keberadaannya.

Memasuki bulan September, bangsa ini terbawa arus opini peristiwa kelam 1948 dan 1965. Masih ada anak cucu ideologis komunis yang tak merasa berdosa. Tidak bisa disalahkan. Karena di kawanan komunis tidak mengenal istilah dosa. Yang ada adalah membangkan kepada kebjikan partai. Menawar hak prerogatif ketua umum partai.

Semakin luka dan duka lama dikorek, seolah malah memberi kesempatan kepada anak cucu ideologis komunis muncul di permukaan tanpa rasa malu. Tampil dengan gagah berkat intervensi investor politik dalam negeri khususnya negara pemasok utama faham komunis. Jangan heran mereka tetap eksis melalui gerakan aksi dan operasi senyap.

Menurut hasill survei, penyidikan, pengendusan, penyadapan menyebutkan bahwasanya jika masih ada ketimpangan, kesenjangan, dispartitas, ketidakmerataan hasil pembangunan, maka faham komunis seperti diberi darah segar.

Jadi, ruang gerak pejuang ideologi putera-puteri terbaik daerah, kawanan dinasti politik hanya sebatas atau terbatas.

Artinya seolah mengakar di rakyat tapi nyatanya masih kalah pamor dengan gerakan aksi dan operasi senyap perpanjangan tangan negara paling bersahabat. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar