dilema
revolusi mental, ideologi prestasi vs ideologi frustasi
Rakyat sudah terbiasa dikhianati
oleh sistem demokrasi saat pelaksanaan kampanye. Tentunya rakyat yang
dikondisikan wajib menggunakan hak pilihnya pada hari-H pemilu maupun pilkada. Soal
bagaimana penggunaan hak konstitusi secara benar dan baik, sudah ditentukan
tersurat di UU. Soal UU tidak sampai di telinga atau tangan rakyat, tidak
dipersoalkan oleh penguasa atau pihak berwajib atau pihak berwenang.
Kita bersyukur, pidato kampanye –
yang biasanya hanya sebagai selingan di
pangung rakyat suka-suka – sudah bisa ditebak kandungannya. Masalahnya pada
kampanye pilpres. Bukan sekedar pidato, tetapi lebih kepada konsep tindak
langkah untuk satu periode.
Kita lebih bersyukur, kampanye untuk
menatik simpati rakyat. Masih jauh dari tindak laku démagogis. Kendati main
politik namum masih bukan politik untuk memperoleh kekuasaan dengan jalan
menghasut dan membangkitkan emosi rakyat. Atau dengan modus mirip démagogis.
Lema “rakyat” kita cuplik dari “Kamus
Bahasa Indonesia”, Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta 2008 :
rakyat n 1 segenap penduduk
suatu negara (sbg imbangan pemerintah); 2 orang kebanyakan; orang biasa; 3 kl
pasukan (bala tentara); -- gembel orang yg sangat papa
dan tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan tetap; pengemis;
peminta-minta: -- jelata rakyat biasa (bukan
bangsawan, bukan hartawan); orang kebanyakan; -- kecil orang yg status sosial ekonominya sangat kurang; rakyat
kebanyakan;
lain cerita dengan lema “rakyat” di “Tesaurus
Bahasa Indonesia”, Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta 2008 :
kawula n 1 abdi, babu (cak), budak, bujang, jongos,
kacung, pelayan, pembantu, pesuruh, sahaya; 2 barisan, massa, pengikut, orang biasa,
rakyat
kelas bawah 1 inferior, papan bawah; 2 kelas pekerja,
proletariat, rakyat jelata
populasi n komunitas, masyarakat, penduduk, rakyat, warga
priayi n adiwangsa, aristokrat, bangsawan, darah
biru, menak, ningrat, permasan;
ant rakyat
Lema “rakyat” di kamus politik,
mungkin bisa lebih nyata, terukur, nyaris tak terdeteksi keberadaannya.
Memasuki bulan September, bangsa ini
terbawa arus opini peristiwa kelam 1948 dan 1965. Masih ada anak cucu ideologis
komunis yang tak merasa berdosa. Tidak bisa disalahkan. Karena di kawanan
komunis tidak mengenal istilah dosa. Yang ada adalah membangkan kepada kebjikan
partai. Menawar hak prerogatif ketua umum partai.
Semakin luka dan duka lama dikorek,
seolah malah memberi kesempatan kepada anak cucu ideologis komunis muncul di
permukaan tanpa rasa malu. Tampil dengan gagah berkat intervensi investor
politik dalam negeri khususnya negara pemasok utama faham komunis. Jangan heran
mereka tetap eksis melalui gerakan aksi dan operasi senyap.
Menurut hasill survei, penyidikan,
pengendusan, penyadapan menyebutkan bahwasanya jika masih ada ketimpangan,
kesenjangan, dispartitas, ketidakmerataan hasil pembangunan, maka faham komunis
seperti diberi darah segar.
Jadi, ruang gerak pejuang ideologi
putera-puteri terbaik daerah, kawanan dinasti politik hanya sebatas atau
terbatas.
Artinya seolah mengakar di rakyat
tapi nyatanya masih kalah pamor dengan gerakan aksi dan operasi senyap
perpanjangan tangan negara paling bersahabat. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar