pasal
intimidasi vs supremasi separatis
Undang-undang (UU) di NKRI memang
produk politik kesepakatan antara DPR dengan pemerintah atau keadaan khusus
lainnya. Sebagai produk politik tentu tergantung dari jiwa besar pihak pengusul
sampai juru masaknya.
Soal bahan baku bakal calon UU, bisa
didapat di kebun Nusantara. Comot sana comot sini. Bagi yang sedang belajar
hukum, dapat jiplak sana jiplak sini. Adegan copas, sah-sah saja. Termasuk menerima
“barang jadi” yang tinggal dipoles.
Fungsi legislasi DPR tergantung
kebijakan partai. Terbuka adanya pesanan atau tepatnya ada pengaruh dari lalu
lintas ekonomi lokal, nasional maupun internasional.
Pasal hukum seolah ada yang seperti
menggigit padahal di UU dengan substansi yang tak jauh beda, daya gigitnya
biasa-biasanya saja. Namanya manusia, apalagi mereka berjuang terikat oleh
norma waktu dari kontrak politik.
Tidak hanya penjaja goreng tahu
bulat dadakan, penguasa pun bisa menyajikan UU dadakan. Sebagai langkah
antisipasi yang sarat antipasti, alergi terhadap gerakan rakyat yang
mengkrirtisinya.
Ketika lapangan kerja akibat
pembangunan nasional butuh waktu lama, maka ada anak bangsa membuka peluang
usaha jasa angkutan manusia dan/atau barang yang tidak konvensional, malah
dianggap bak gerakan separatis memisahkan diri dari sistem transportasi yang
disediakan oleh pemerintah.
Separatis secara politik sudah
membudaya liwat dinasti politik. Modus ini dengan nyata dan terang benderang
telah menampilkan pemerintah bayangan.
Cerita lain, ada dukun ahli
pengganda uang bisa dijerat karena pasal lain. Bukan karena “keahliannya”.
Jadi kalau pemerintah merasa jadi
korban keadaan, maka dengan sigap pemerintah tanggap. Membuat langkah dan
gerakan nyata. Beda kalau yang jadi korban adalah rakyat biasa, yang belum
mempunyai KTP-e, dimungkinkan pemerintah adem ayem. Paling-paling hangat-hangat
tahi ayam.
Ketika rasa persatuan dan kesatuan
bangsa digoyang oleh tindak penistaan agama, serta merta negara hadir di
belakang sang penista. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar