Dilema
Penyakit Kampus, Kesalahan Akademis vs Kebohongan Akademis
Predikat “mahasiswa abadi” pernah populer. Bukan menjadi
aib bagi ybs maupun kampus. Perkembangan zaman, muncul sebutan “diktator”
mengiringi maraknya mesin fotocopy.
Kemajuan zaman dengan ditandai pesatnya produk teknologi,
berimbas ke dunia pendidikan. Menunjang proses sistem pendidikan tinggi. Laju proses
pembelajaran anak didik, mau tak mau harus ramah dengan teknologi informasi dan
komunikasi.
Kita masih ingat, pasca Proklamasi Kemerdekaan RI, 17
Agustus 1945, diiringi berbagai perubahan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satunya,
akhirnya kaum ber-darah biru, bukan mereka yang mempunyai gelar kebangsawanan, beralih
kepada penyandang gelar, titel akademis.
Tentu ada sebab, latar belakang jika manusia cenderung
bertindak irasional, tidak rasional; tidak berdasarkan akal sehat; tidak masuk
akal. Terlebih jika mereka terjebak imajinasi, angan-angan, fantasi, khayal
serta seolah mampu merekayasa mimpi. Klimaksnya ada yang merasa telah menipu
dan membohongi dirinya sendiri. Memanipulasi watak.
Ironis, jika mereka yang terkontaminasi “daya khayal”,
justru manusia kampus. Atau pihak yang menganggap kampus mampu mewujudkan sejuta
mimpi. Mereka yang menganut dogma “titel adalah segalanya”. Berbagai kasus,
yang tak bisa disebutkan satu-persatu, menjadi penyakit kambuhan.
Mirisnya, kalau penyakit
kambuhan anak kampus, terbawa sampai ke mancanegara. Kendati sebagai pelaku
tunggal. Modusnya tentu lebih gaya, gaul, gengsi dibanding peluang di kampus
dalam negeri. Jangan dikaitkan efek dari pengemplang pajak. Tak salah kalau
pola hidup berbangsa, bernegara akan berkorelasi dengan pola hidup
bermasyarakat. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar