Halaman

Jumat, 13 Oktober 2017

Dilema Penyakit Kampus, Kesalahan Akademis vs Kebohongan Akademis


Dilema Penyakit Kampus, Kesalahan Akademis vs Kebohongan Akademis

Predikat “mahasiswa abadi” pernah populer. Bukan menjadi aib bagi ybs maupun kampus. Perkembangan zaman, muncul sebutan “diktator” mengiringi maraknya mesin fotocopy.

Kemajuan zaman dengan ditandai pesatnya produk teknologi, berimbas ke dunia pendidikan. Menunjang proses sistem pendidikan tinggi. Laju proses pembelajaran anak didik, mau tak mau harus ramah dengan teknologi informasi dan komunikasi.

Kita masih ingat, pasca Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, diiringi berbagai perubahan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satunya, akhirnya kaum ber-darah biru, bukan mereka yang mempunyai gelar kebangsawanan, beralih kepada penyandang gelar, titel akademis.

Tentu ada sebab, latar belakang jika manusia cenderung bertindak irasional, tidak rasional; tidak berdasarkan akal sehat; tidak masuk akal. Terlebih jika mereka terjebak imajinasi, angan-angan, fantasi, khayal serta seolah mampu merekayasa mimpi. Klimaksnya ada yang merasa telah menipu dan membohongi dirinya sendiri. Memanipulasi watak.

Ironis, jika mereka yang terkontaminasi “daya khayal”, justru manusia kampus. Atau pihak yang menganggap kampus mampu mewujudkan sejuta mimpi. Mereka yang menganut dogma “titel adalah segalanya”. Berbagai kasus, yang tak bisa disebutkan satu-persatu, menjadi penyakit kambuhan.

Mirisnya, kalau penyakit kambuhan anak kampus, terbawa sampai ke mancanegara. Kendati sebagai pelaku tunggal. Modusnya tentu lebih gaya, gaul, gengsi dibanding peluang di kampus dalam negeri. Jangan dikaitkan efek dari pengemplang pajak. Tak salah kalau pola hidup berbangsa, bernegara akan berkorelasi dengan pola hidup bermasyarakat. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar