sudah puaskah
kita sekedar mampir ngombé di 2018
Perbandingan
waktu di dunia dengan di akhirat. Tak salah jika selama hidup di dunia, ibarat
sekedar mampir. Bukan bak sopir kalau ngaso mampir. Jalur pantai ramai dengan warung-warung yang belum tersentuh kebijakan
PLN. Juga tidak. Pelaku usaha tidak mau suasana terang-terangan. Menjaga wibawa
dan rahasia pelanggan.
Masih belum lepas
dari ingatan diri. Judul “Indonesia belum BéTé (bau tanah),
cuma sedang mampir ngombé”. Kita memang bangsa besar. Rakyat
cerdas kendati buta politik, sebagai bangsa pemaklum atas segala perilaku
penguasa yang akan selalu haus kuasa.
Faktor “U”: umur, usia menjadikan
manusia ahli masjid. Mentang-mentang karena sudah BéTé (bau tanah) mendadak
ingat akan cadangan waktu yang tersisa serta menipisnya tabungan umur, usia.
Faktor “U” yang lain, yaitu uzur
(tapi belum usang) tak menjadikan hambatan untuk melangkahkan kaki ke masjid.
Pasutri manula jalan santai karena langkah gontai, tak mau kalah dengan
generasi pewaris masa depan bangsa.
Agar rasa sabar
tak berat sebelah, tampak gagah di awal, imbangi dengan rasa bersyukur. Urusan
akhirat, lihat ke atas. Urusan dunia, lihat ke bawah. Urusan perut, lihat mulut
sendiri. Panggilan dinas tugas bawah perut di atas lutut.
Kita mau hidup
lama di dunia, masa ujian juga akan semakin lama. Mau hidup enak di dunia,
ujiannya semakin tidak mengenakkan. Ternyata masih banyak pasal yang menjelaskan
rasa sabar. Manusia dituntut untuk kemanfaatan dirinya sendiri, agar tetap taat
sabar. Sabar saat mentaati kesabaran.
Nyaris, jamaah
subuh yang sudah duduk tenang, didominasi golongan kesepuhan. Bahkan ada yang
tanggal lahirnya puluhan tahun di atas saya. Suasana seperti ini memang
menambah makna dan spirit ibadah.
Tampilan
bapak-bapak, beda dengan saya yang model orang bangun tidur. Memang mereka
terlatih bangun di sepertiga akhir malam. Lanjut ke masjid. Itulah kehidupan
nyata. Itulah cara mereka menyikapi nyatanya kehidupan di dunia yang hanya sekedar
mampir ngombé. [HaéN]