Halaman

Senin, 31 Desember 2018

sudah puaskah kita sekedar mampir ngombé di 2018


sudah puaskah kita sekedar mampir ngombé di 2018



Perbandingan waktu di dunia dengan di akhirat. Tak salah jika selama hidup di dunia, ibarat sekedar mampir. Bukan bak sopir kalau ngaso mampir. Jalur pantai ramai dengan warung-warung yang belum tersentuh kebijakan PLN. Juga tidak. Pelaku usaha tidak mau suasana terang-terangan. Menjaga wibawa dan rahasia pelanggan.

Masih belum lepas dari ingatan diri. Judul “Indonesia belum BéTé (bau tanah), cuma sedang mampir ngombé”. Kita memang bangsa besar. Rakyat cerdas kendati buta politik, sebagai bangsa pemaklum atas segala perilaku penguasa yang akan selalu haus kuasa.

Faktor “U”: umur, usia menjadikan manusia ahli masjid. Mentang-mentang karena sudah BéTé (bau tanah) mendadak ingat akan cadangan waktu yang tersisa serta menipisnya tabungan umur, usia.

Faktor “U” yang lain, yaitu uzur (tapi belum usang) tak menjadikan hambatan untuk melangkahkan kaki ke masjid. Pasutri manula jalan santai karena langkah gontai, tak mau kalah dengan generasi pewaris masa depan bangsa.

Agar rasa sabar tak berat sebelah, tampak gagah di awal, imbangi dengan rasa bersyukur. Urusan akhirat, lihat ke atas. Urusan dunia, lihat ke bawah. Urusan perut, lihat mulut sendiri. Panggilan dinas tugas bawah perut di atas lutut.

Kita mau hidup lama di dunia, masa ujian juga akan semakin lama. Mau hidup enak di dunia, ujiannya semakin tidak mengenakkan. Ternyata masih banyak pasal yang menjelaskan rasa sabar. Manusia dituntut untuk kemanfaatan dirinya sendiri, agar tetap taat sabar. Sabar  saat mentaati kesabaran.

Nyaris, jamaah subuh yang sudah duduk tenang, didominasi golongan kesepuhan. Bahkan ada yang tanggal lahirnya puluhan tahun di atas saya. Suasana seperti ini memang menambah makna dan spirit ibadah.  

Tampilan bapak-bapak, beda dengan saya yang model orang bangun tidur. Memang mereka terlatih bangun di sepertiga akhir malam. Lanjut ke masjid. Itulah kehidupan nyata. Itulah cara mereka menyikapi nyatanya kehidupan di dunia yang hanya sekedar mampir ngombé. [HaéN]

bernafas pun, kalau tidak dengan ridho-Nya


bernafas pun, kalau tidak dengan ridho-Nya

Keadaan manusia di saat sakaratul maut. Sebagai gambaran eksistensi nafas. ‘menghembuskan nafas selama-lamanya’ menandakan ybs telah meninggal dunia. Meninggalkan dunia menuju tujuan akhir setelah kenyang melepas dagaha di dunia.

Jangan sampai melantur, sangat menarik bahwasanya soal ‘nafas’ hanya dua kali tersurat di Al-Qur’an. Salah satunya yang mengusik tabiat awamku adalah penjelasan di (QS Al Qiyaamah [75] : 26):  Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan,”

Masih ingat di PPPK ada pernafasan buatan, nafas bantuan. seseorang telah meninggal dunia perlu SK dari dokter. Secara medis, klinis ada pengertian bahwa ybs sudah tak bernyawa.

Apa hubungan antara nafas dengan nyawa. Mengingat ilmu saya terbatas, oleh karena itu saya ajak pembaca cari tahu. Agar tak semakin keblusuk.

Wajib kembali ke Al-Qur’an. Simak dengan seksama penjelasan di (QS Al Waaqi'ah [56] : 83):  Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan,”.

Penjelasan kebahasaan, Al Waaqi'ah = Al Qiyaamah atau Hari Kiamat.

Apa kaitannya dengan diri kita.  Simple dan sederhana. Sebelum lupa. Pasien dipasang pipa terhubung dengan tabung oksigen. Membantu kinerja hidung pada tugas dan fungsi utamanya.

Pengalaman penulis yang bersyukur dengan penyakit asma. Saat kambuh, sesak nafas. Tarik nafas tidak bisa sampai penuh, panjang. Detak jantung menjadi abnormal. Pelan santai detaknya. Jangan langsung curiga, terkadang asam lambung ikut andil.

Usi dan atau umur bonus, melampaui batas umur Rasulullulah saw. Secara jasmani, fisik, ragawi kulakukan kebijakan pribadi. Selain ada kegiatan fisik untuk ibadah dan laku amaliah. Jalan cepat, senam ringan, olah nafas dan push-up tangan mengenal menjadi menu harian.

Saat tidur malam, jiwa dalam genggaman-Nya. Sigap dengan ketetapan-Nya. [HaéN]

Minggu, 30 Desember 2018

gagal paham Bung!, bukan gagal saham


gagal paham Bung!, bukan gagal saham

Kembali ke judul “gagal paham politik démagogi penguasa”. Kata KBBI, jelasnya bahwa démagogi politik untuk memperoleh kekuasaan dengan jalan menghasut dan membangkitkan emosi rakyat.

Karena emosi yang bicara. Semua informasi ditelan mentah-mentah. Anak bangsa pribumi yang masuk usia non-produktif. Yang cel darah merah politiknya tidak pernah bekerja. Mendadak menjadi ikut beringas. Tak mau kalah garang dengan generasi yang notabene seumur anaknya.

Masih terjadi modus klasik dengan menebar sénsasi politik, menabur séntimén politik. Propaganda penguasa plus pengandaan, rekayasa berita, manipulasi data dan fakta dengan menayangkan kinerjanya, bukti kisah sukses. Justru adalah kewajiban sebagai presiden. Kecuali kalau merasa hanya sebatas petugas partai.

Gampangannya, generasi pribumi Nusantara yang cepat melek TIK, khususnya pada penggunaan internet, fokus pada media sosial. Fakta seutuhnya sudah jadi rahasia umum. Ingat judul “pada galibnya, hoaks adalah produk unggulan penguasa”.

Bandingkan dengan judul “anomali tahun politik 2019, propaganda kebohongan sejujur-jujurnya vs provokasi kejujuran dibohongi hidup-hidup”.

Walhasil, generasi pribumi  Nusantara tulén terjangkit trémor politik. Efek domino terasa dengan munculnya generasi seujung jari. Sebutan generasi tak tergantung batasan umur, usia atau tanggal kelahiran. Untuk semua umur, lintas usia. Pokoknya manusia dan atau orang Indonesia yang hidup di periode 2014-2019. Karena sama-sama mengalami bencana politik, cuma beda kadar gempa dan terdampaknya.

Menyimak fenomena alam dengan bahasa langit, bukan dengan bahasa politik.  [HaéN]

anomali tahun politik 2019, propaganda kebohongan sejujur-jujurnya vs provokasi kejujuran dibohongi hidup-hidup


anomali tahun politik 2019, propaganda kebohongan sejujur-jujurnya vs provokasi kejujuran dibohongi hidup-hidup

Indonesia tak mau kalah dengan modus politik di negara adidaya AS maupun negara terbanyak populasi penduduknya, RRC. Ditambah Nusantara adalah satu-satunya negara yang mempunyai Pancasila. Ramuan aiaib negara multipartai, apa pun yang tak mungkin atau tak terpikirkan oleh peradaban dunia, sudah terlebih dahulu dipraktikkan oleh manusia politik.

Wajar dan masuk telinga. Jika anak bangsa pribumi kinyis-kinyis, langsung tergugah nyalinya dengar slogan yang terdengar gagah. Melebihi pariwara rokok, miras dan kantong plastik. Kemasan yang tampak heriosme, nasionalisme, patriotisme dan pancasilais, langsung ditelan mentah-mentah.

Adonan politik yang mengarah ke warna merah, kian digemari. Generasi seujung jari, jika sudah mampu mengunduh gambar, foto penguasa merasa bagian penting, ikut andil, siap bela juragan sampai butir nasi terakhir. Siap ngoreti ceting. Siap melibas lawan politik di depan hidung.

Tegur sapa alam, dianggap fenomena dan salah musim. Kian dikritik, kian menyalak garang. Kian dipuja-puji kian menggonggong riang. Kian disanjung, siap bagi-bagi kursi. Kian tersandung malah merasa ada pihak yang menggoyang kursi.[HaéN]