kenapa du(s)ta besar mbah Amalu
Acara kenegaraan dihadiri perwakilan,
diplomat, duta besar negara sahabat. Jadi kalau negara tak bersahabat, tak ada
duta besarnya di NKRI. Kok begitu analisanya. Enaknya begini saja, jadi kalau
negara paling bersahabat, banyak mempunyai “duta besar” di Nusantara. Malah jadi terjadi duta kecil yang
bisa blusukan sampai tepi, pojok, sudut pulau kecil, terpencil.
Mau bicara duta besar atau pasal
lainnya. Namanya judul, sesuai yang membuat.
Lanjut ke, kenapa dan siapa ada
sebutan mbah Amalu. Jelas bukan nama orang dan atau manusia Nusantara. Silahkan
dieja dari kanan. Luaskanlah cakrawala wawasan agar tak mudah terhasut, terjebak,
terintimidasi gaya orasi penyambung lidah penguasa.
Jangan dibayangkan betapa
bangganya penguasa tunggal akan fakta derasnya arus masuk modal dari pasar uang
luar negeri. Struktur dan postur industri politik tak ada keterkaitan emosi
dengan ketidakpastian ekonomi global.
Pepatah yang susah dipatahkan
maknanya, antara lain “pagar makan tanaman”. Tantangan adab pergolakan
kehidupan bisa menjadi “pagar makan pagar’. Jangan heran ada silang argumen. Kawanan
bhayangkara menyebut kelompok kriminal bersenjata. Aparat pertahanan menyebut
makar. Karena kejadian pasal perkara terjadi di wilayah Indonesia bagian
matahari terbit. Jauh dari ibukota NKRI.
Ban bekas, khususnya ban luar
menjadi simbol unjuk rasa, unjuk raga. Beda dengan eksistensi kubangan jalan
pratanda sedang dalam ada proyek jangka panjang.
Apakah Indonesia masih masuk
kategori Dunia Ketiga. Atau dunia lain. Bukan aib, tabu mengandalkan penilaian
pihak asing. Khususnya yang menyanjung wibawa negara. Siapa lagi kalau bukan
dari negara paling bersahabat. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar