bicara seperlunya vs menulis sebutuhnya
Mentalitas anak bangsa pribumi
Nusantara diuji saat duduk manis di ruang tunggu RS atau bank. Berdiri antri
bayar pajak. Duduk dan atau berjongkok tanpa berputar di KM/WC. Muncul watak asli.
Keringat dingin, resah, senewen.
Ruang publik, dalam atau luar
ruang, menjadi adu mental. Panggung milik semua pelakon dan pemain watak. Agar tak
saling mengganggu, dooloe ada maklumat ditempel di dinding: “bicara seperlunya”.
Beda dengan aturan tertulis “dilarang bicara dengan sopir”.
Karena himbauan “bicara seperlunya”
maka wakil rakyat pilih mangkir ketimbang rapat. Pilih merapat ke lokasi atau
lokalisasi untuk dengar pendapat. Menggalang inspirasi dari aspirasi konstiuen.
Di RDP, wakil rakyat semangat bak hadapi lawan politik. Bahas anggaran, lain
cerita, berita, derita.
Nilai jual pengacara dan
sejawatnya, ditentukan pola “babi” utawa banyak bicara. Kian besar ongkos bela
klien, kian semangat adu pasal. Diawali dengan kian berbobot terdakwa, kian
berat di ongkos. Argo Rp sejalan dengan waktu sidang. Semakin cepat akan
menambah daya jual. Klien senang, masih ada harapan menjadi langganan. Atau cari
klien berklas lainnya.
Nasib juru warta atau seklas
pengganda berita, tak boleh tanggung-tanggung. Kampanye atau propaganda politik
menjadi model utama. Jangan ragu dan sangsi untuk membuat berita yang atraktif,
provokatif, bombastis. Garam dapur selamanya dengan rasa asin. Masuk dapur
politik menjadi manis dan memabukkan. Konsumsi garam per kapita mengundang garam
tak diundang untuk hadir di dapur keluarga.
Potret kejadian perkara bisa
direkayasa. Apalagi ujaran tertulis. Kode etik jurnalistik bak papan peringatan
di ruang publik. Sampah dipiliah dipilih sesuai bahan. Berita sampah menjadi produk
unggulan media massa berbayar atau alat penguasa. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar