Halaman

Sabtu, 15 Desember 2018

bicara seperlunya vs menulis sebutuhnya


bicara seperlunya vs menulis sebutuhnya

Mentalitas anak bangsa pribumi Nusantara diuji saat duduk manis di ruang tunggu RS atau bank. Berdiri antri bayar pajak. Duduk dan atau berjongkok tanpa berputar di KM/WC. Muncul watak asli. Keringat dingin, resah, senewen.

Ruang publik, dalam atau luar ruang, menjadi adu mental. Panggung milik semua pelakon dan pemain watak. Agar tak saling mengganggu, dooloe ada maklumat ditempel di dinding: “bicara seperlunya”. Beda dengan aturan tertulis “dilarang bicara dengan sopir”.

Karena himbauan “bicara seperlunya” maka wakil rakyat pilih mangkir ketimbang rapat. Pilih merapat ke lokasi atau lokalisasi untuk dengar pendapat. Menggalang inspirasi dari aspirasi konstiuen. Di RDP, wakil rakyat semangat bak hadapi lawan politik. Bahas anggaran, lain cerita, berita, derita.

Nilai jual pengacara dan sejawatnya, ditentukan pola “babi” utawa banyak bicara. Kian besar ongkos bela klien, kian semangat adu pasal. Diawali dengan kian berbobot terdakwa, kian berat di ongkos. Argo Rp sejalan dengan waktu sidang. Semakin cepat akan menambah daya jual. Klien senang, masih ada harapan menjadi langganan. Atau cari klien berklas lainnya.

Nasib juru warta atau seklas pengganda berita, tak boleh tanggung-tanggung. Kampanye atau propaganda politik menjadi model utama. Jangan ragu dan sangsi untuk membuat berita yang atraktif, provokatif, bombastis. Garam dapur selamanya dengan rasa asin. Masuk dapur politik menjadi manis dan memabukkan. Konsumsi garam per kapita mengundang garam tak diundang untuk hadir di dapur keluarga.

Potret kejadian perkara bisa direkayasa. Apalagi ujaran tertulis. Kode etik jurnalistik bak papan peringatan di ruang publik. Sampah dipiliah dipilih sesuai bahan. Berita sampah menjadi produk unggulan media massa berbayar atau alat penguasa. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar