tunggang langgang mbokdé mukiyo, dudu tanggung langgeng
Menjalani kehidupan normal,
normatif sebagai anak bangsa bumiputra, pribumi totok, tulen, orisinal,
kndungan lokal dominan di Nusantara bukannya akan mulus-mulus lurus. Ada saja paket
halang rintang yang muncul dadakan. Hari ini yang terakhir, besok lebih parah
atau lebih menjanjikan.
Lingkungan mempunyai hak yang acap
tidak kita kenali. Sabda alam, seperti judul lagu jadul, atau tegur sapa alam. Secara
alami, alam akan merespon segala tingkah laku manusia yang ramah. Kicau burung
pratanda alam sedang risau. Angin mati menjawab lagak manusia yang tak kenal
batas puas.
Manusia Nusantara tak merasa kalau
selalu dimanja alam. Pokoknya, apa-apa harus selalu ada dan tersedia. Merasa bahwa
alam yang bermurah hati adalah memang kewajiban alam. Jika ada unsur, komponen,
sukucadang alam yang jual mahal. Semisal musim panas terik matahari, air malah terdorong
sembunyi menembus lapisan kulit bumi.
Manusia boleh punya rencana. Boleh
merasa serba bisa. Sah-sah saja menarik mundur sukses masa depan dengan modal
jasa kakek nenek moyangnya. Harga masa lampau untuk membeli masa depan. Pemaksaan
kehendak mengatasnamakan perut rakyat yang memang pola makan sederhana. Terbiasa
kencangkan ikat pinggang dan kendor syarat politik dalam negeri.
Aroma irama syahwat politik di
babak akhir periode 2014-2019 (baca: babak akhir presiden ketujuh RI) kian
mulus sarat fulus. Siapa dielus. Akal bulus saja tak cukup. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar