Halaman

Minggu, 02 Desember 2018

tunggang langgang mbokdé mukiyo, dudu tanggung langgeng


tunggang langgang mbokdé mukiyo, dudu tanggung langgeng

Menjalani kehidupan normal, normatif sebagai anak bangsa bumiputra, pribumi totok, tulen, orisinal, kndungan lokal dominan di Nusantara bukannya akan mulus-mulus lurus. Ada saja paket halang rintang yang muncul dadakan. Hari ini yang terakhir, besok lebih parah atau lebih menjanjikan.

Lingkungan mempunyai hak yang acap tidak kita kenali. Sabda alam, seperti judul lagu jadul, atau tegur sapa alam. Secara alami, alam akan merespon segala tingkah laku manusia yang ramah. Kicau burung pratanda alam sedang risau. Angin mati menjawab lagak manusia yang tak kenal batas puas.

Manusia Nusantara tak merasa kalau selalu dimanja alam. Pokoknya, apa-apa harus selalu ada dan tersedia. Merasa bahwa alam yang bermurah hati adalah memang kewajiban alam. Jika ada unsur, komponen, sukucadang alam yang jual mahal. Semisal musim panas terik matahari, air malah terdorong sembunyi menembus lapisan kulit bumi.

Manusia boleh punya rencana. Boleh merasa serba bisa. Sah-sah saja menarik mundur sukses masa depan dengan modal jasa kakek nenek moyangnya. Harga masa lampau untuk membeli masa depan. Pemaksaan kehendak mengatasnamakan perut rakyat yang memang pola makan sederhana. Terbiasa kencangkan ikat pinggang dan kendor syarat politik dalam negeri.

Aroma irama syahwat politik di babak akhir periode 2014-2019 (baca: babak akhir presiden ketujuh RI) kian mulus sarat fulus. Siapa dielus. Akal bulus saja tak cukup. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar