menulis pun perlu
kejujuran vs
justru menulis wajib jujur
Ternyata, aku tidak tahu bahwa aku tak tahu. Ungkapan atau semboyan apa. Batas
abu-abu atau pada pertemuan dua kondisi yang bertolak belakang. Bukan sikap
pertengahan atau resultan. Sinerjinya yang kita gubris.
Jika kita terjebak kondisi di atas, setetes fakta akan membuka mata hati. Membaca
cepat, mata terpaku pada kalimat yang bikin radar hati bergetar. Celotehan,
celetukan anak kecil mampu menggugah mata batin. Desiran angin membawa aroma
bau tanah, rasa air.
Sebaik-baik orang adalah yang bermanfaat bagi umat. Hari ini mempunyai
nilai lebih ketimbang kemarin. Besok buka hak milik kita. Orang cerdas adalah
yang mampu mengelola waktu dengan bijak. Melakukan aktivitas, kegiatan, aksi
secara paralel. Raih kemanfaatan utama pada kewajiban berbasis waktu linier.
Menulis jauh beda dengan adu mulut. Kemampuan menulis menunjang diri saat
diskusi, dialog, debat. Kemampuan memilah dan mimilih kata sebagai bahan baku
rangkaian kalimat. Menyusun kalimat yang padat, sarat makna namun tidak bias. Jawaban
dengan kata dan atau kalimat multitafsir, mengakhiri acara, atraksi, adegan baku
mulut yang bertele-tele.
Menyusun satu kalimat perlu latihan. Dukungan mata mengolah tulisan atau
berita. Tak perlu malu memplagiat tulisan sendiri. Didaur ulang, diformat ulang
menjadi kalimat yang kita butuhkan.
Bagaimana cara melatih kejujuran atau menggunakan rasa jujur saat menulis.
Mulai dari apa yang masuk perut dari usaha jujur. Jujur bukan berarti
terang-terangan. Apa adanya atau adanya apa. Bukan terbuka. Bukan telat mikir agar tampak jujur. Jangan solek
wajah dengan rias kepura-puraan. Agar tampak siratan raut jujur.
Tulislah apa yang kau ketahui. Apa saja yang pernah kau alami. Pengalaman orang
lain sebagai faktor pertimbangan. Memformulasikan angan-angan menjadi bacaan. Jujur
pun perlu sensor. Orang tak mau tahu siapa dirimu. Orang tak mau dengar apa
yang kau tuliskan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar