Halaman

Selasa, 30 Juni 2015

fakta manusiawi penerima berkah Ramadhan

fakta manusiawi penerima berkah Ramadhan


Umat Islam di kompleks kami mengawali menegakkan maghrib 1 Ramadhan 1436 H di lantai 2 masjid hasil renovasi. Walau belum selesai, target tarawih di tempat yang lebih luas, lapang dan lega terlaksana. Ironis, jika khatib kultum tarawih hari ke-4 menyindir bahwa daya tampung ruang masjid terasa sangat besar. Atau karena harus naik tangga, menjadi penyaring dan pensortir jamaah.

Donatur dan panitia sigap memenuhi keinginan dan tuntutan jamaah ‘wajah baru’. Perut kenyang usai buka puasa, terasa gerah sekaligus mengantuk. Ingin masjid yang sejuk, adem dan nikmat. Kipas angin dinding segera dipasang. Ternyata masih ada komen, keluh kesah maupun masukan miring. Ke masjid untuk ngadem (mendinginkan diri) seperti pengalaman ybs ke pusat belanja modern.

Fakta manusiawi terasa lagi, saat merapikan shaf jelang sholat, jamaah pembawa sajadah panjang (ingat lagunya Bimbo) tetap pada pendiriannya. Artinya tetap berdiri di atas sajadahnya, tanpa menyesuaikan diri dengan kerapatan shaf. Sudah nyaman di lokasi pilihan, merasa menjadi kapling pribadi, tidak mau tergusur. Atau tidak mau berbagi sajadah.

Di shaf lain, tampak bapak muda, berpakaian orang kantoran swasta, menggelar sajadah minimalis dalam ukuran. Sajadah mirip hiasan dinding, meriah, bersulam benang emas. Lipatan masih utuh. Tas bermotif sama dengan sajadahnya. Duduk manis. Tampak juga, jamaah berbusana seperti ke kondangan sebagai tanda menghormati rumah Allah, menjadi lazim. Tampil beda dengan busana dan atribut islami menyemarakkan suasana masjid.

Di jalanan menuju ke masjid, jika kaum hawa menggerombol sambil mengobrol, jalan santai, dipastikan mereka  merasa mendapat kesempatan untuk bersilaturahmi. Mukena yang standar, konvensional, berwarna putih, dimungkinkan penggunanya adalah ibu-ibu rumah tangga. Mukena trendy, fashionable, aneka bahan, corak, motif dan warna, dipakai remaja gaul atau wanita karir.

Bapak-bapak tidak peduli dengan keutamaan dan pahala shaf terdepan. Mereka lebih pilih lokasi dan posisi yang strategis, dekat pintu dan merasa aman dan nyaman duduk bersama orang yang sudah dikenalnya. Seolah pindah tempat begadang. Tidak menyatu saling mengenal dengan jamaah lainnya.

Masyarakat adat dari berbagai etnis lokal masih bermukim di sekitar kompleks. Mereka masih membunyikan petasan sebagai tanda rasa syukur menyambut Ramadhan. Walau diledakkan saat isya dan tarawih. Kami penghuni kompleks perumahan KPR-BTN dianggap penduduk pendatang, yang ‘menyerobot’ tanah mereka. Maklum, kami memlih lokasi tempat tinggal di sini karena dekat tempat kerja serta terjangkau dengan daya beli.

Anak-anak berbagai usia, menjadikan masjid sebagai tempat bermain. Yang bikin hati kita miris, pengalaman marbot masjid, mereka anak-anak yang bikin gaduh riuh masjid, karena orang tuanya (maksudnya, bapaknya) tidak ke masjid. Jadi anak ingin berkenalan sendiri dengan masjid. Entah karena kesibukan atau adanya budaya kerja menjadikan sang pencari nafkah sibuk diri. Kalau anak-anak dihalau, atau diminta diam agar tidak mengganggu, malah geng lain yang datang. Bagi anak TPA, mereka sudah punya bekal pengetahuan dan adab di masjid. Balita yang ikut jamaah, bukan ikut orang tuanya, kebanyakan dibawa kakeknya, eyang kakungnya, atau mbahnya. Marbot masjid dibikin pusing, karena tempat wudhu, km/wc kotor akibat ulah anak-anak. Terkadang, masuk tanpa copot sandal.

Sebagai penutup, walau belum berakhir, kemarin sore liwat depan rumah salah satu marbot masjid. Naik motor butut, membawa tabung gas 3 kg serta bungkusan. Dia bersama marbot yang lain menyiapkan takjilan. Yang bikin saya mengelus dada, dia bilang : “Saya beli 1 liter beras untuk buka puasa keluarga. Yang murah pak. 7 ribu”. Bukan 1 lt atau harga beras, karena gaji marbot sekecil 1,5 juta rupiah perbulan. Anak lima. Dia tetap hepi, ikhlas menjalankan fitrahnya sebagai marbot, seksi sibuk merangkap muazin. [HaeN]

Senin, 29 Juni 2015

wakil rakyat, idealnya sampai tingkat kelurahan/desa

wakil rakyat, idealnya sampai tingkat kelurahan/desa

MENEGUHKAN KEMBALI JALAN IDEOLOGIS
Daya tahan suatu bangsa terhadap berbagai deraan gelombang sejarah tergantung pada ideologi. Ideologi sebagai penuntun; ideologi sebagai penggerak; ideologi sebagai pemersatu perjuangan; dan ideologi sebagai bintang pengarah. Ideologi itu adalah PANCASILA 1 JUNI 1945 dan TRISAKTI. Selanjutnya penjabaran TRISAKTI diwujudkan dalam bentuk:
1.     Kedaulatan dalam politik diwujudkan dalam pembangunan demokrasi politik yang berdasarkan hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Kedaulatan rakyat menjadi karakter, nilai, dan semangat yang dibangun melalui gotong royong dan persatuan bangsa.
2.     Berdikari dalam ekonomi diwujudkan dalam pembangunan demokrasi ekonomi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam pengelolaan keuangan negara dan pelaku utama dalam pembentukan produksi dan distribusi nasional. Negara memiliki karakter kebijakan dan kewibawaan pemimpin yang kuat dan berdaulat dalam mengambil keputu-san-keputusan ekonomi rakyat melalui penggunaan sumber daya ekonomi nasional dan anggaran negara untuk memenuhi hak dasar warga negara.
3.     Kepribadian dalam kebudayaan diwujudkan melalui pembangunan karakter dan kegotongroyongan yang berdasar pada realitas kebhinekaan dan kemaritiman sebagai kekuatan potensi bangsa dalam mewujudkan implementasi demokrasi politik dan demokrasi ekonomi Indonesia masa depan.

Dengan demikian, prinsip dasar TRISAKTI ini menjadi basis sekaligus arah perubahan berdasarkan pada mandat konstitusi dan menjadi pilihan sadar dalam pengembangan daya hidup kebangsaan Indonesia, yang menolak ketergantungan dan diskriminasi, serta terbuka dan sederajat dalam membangun kerjasama yang produktif dalam tataran pergaulan internasional.

Sembilan Agenda Prioritas
Untuk menunjukkan prioritas dalam jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, dirumuskan sembilan agenda prioritas. Kesembilan agenda prioritas itu disebut NAWA CITA, yaitu:
1.      Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara.
2.     Membuat Pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.
3.     Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
4.     Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
5.     Meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia.
6.     Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.
7.     Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
8.     Melakukan revolusi karakter bangsa.
9.     Memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.
(sumber : RPJMN 2015-2019 Buku I Agenda Pembangunan Nasional)
. . . . . . .
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan Wilayah Negara, adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. (UU 43/2008 tentang WILAYAH NEGARA).

Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (UU 6/2014 tentang DESA).

Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat Daerah Kabupaten/Kota dalam wilayah kerja Kecamatan. (PP 73/2005 tentang KELURAHAN).

Bayangkan, di Indonesia terdapat 416 kabupaten, 98 kota, 7.094 kecamatan, 8.412 kelurahan, 74.093 desa; 254.826.034 penduduk serta 1.913.578,68 km2 luas wilayah negara. (sumber : Permendagri 39/2015 tentang  KODE DAN DATA WILAYAH ADMINISTRASI PEMERINTAHAN).
. . . . . . .
Kesimpulan ideologis :

Agar Trisakti berikut Nawa Cita berjalan mulus, berhasil tulus, tak ada kata lain kecuali wakil rakyat sampai tingkat kelurahan/desa, menjadi DPRD Kelurahan/Desa. [HaeN]

Bukti Jokowi Dikendalikan Megawati

 Politika     Dibaca :146 kali , 0 komentar
Bukti Jokowi Dikendalikan Megawati
 Ditulis : Herwin Nur 14 April 2015

Jika kita membaca judul berita “Mega Peringatkan Jokowi” yang terpajang di halaman depan Republika, Jumat, 10 April 2015, jangan ditafsirkan sebagai bentuk cinta Mega kepada nasib Nusantara. Jangan diartikan bentuk kepedulian, kepekaan dan daya tanggap Mega - sebagai mantan wapres/mantan presiden 1999-2004 maupun bekas capres 2004 dan 2009 – terhadap Jokowi sebagai penggantinya. 
Judul di atas, sangat pas jika dibaca dengan kaca mata rakyat. Tersurat sekaligus tersurat bahwa Mega sebagai bandar politik sedang mengingatkan petugas partai atau sang kurir politik, Joko Widodo, agar yangbersangkutan  tak lepas dari pakem PDIP. Agar Jokowi dalam berkaraoke politik tetap fokus mengkuti lirik di layar. Jangan berimprovisasi atau terlebih jangan jalan sendiri. 
BADUT POLITIK 
“Presiden dan wakil presiden memang sudah sewajarnya menjalankan garis kebijakan politik partai,” kata Megawati dalam pidato berapi-api di depan ribuan kader dalam pembukaan Kongres IV PDI Perjuangan, di Sanur, Bali, Kamis (9/4). Ia mengingatkan bahwa dalam sistem demokrasi, partai politiklah yang mengusung calon presiden. 
Megawati mengingatkan, ketika dia secara langsung memberikan mandat kepada Jokowi sebagai calon presiden, Jokowi terikat dengan komitmen ideologis PDIP, di antaranya kepemimpinan trisakti, kepemimpinan yang membawa negara berdaulat dan berkepribadian budaya. 
Ia mengakui bahwa selain parpol, ada kekuatan-kekuatan relawan dari luar partai yang juga turut berjuang memenangkan Presiden Jokowi. Dalam kampanye, kata Megawati, pihak-pihak tersebut menyatakan berjuang untuk rakyat demi terpilihnya pemimpin terbaik. 
Alenia kedua, ketiga dan keempat berita ini menunjukkan kadar politik Megawati. Artinya, presiden dan wakil presiden tidak berhak membuat kebijakan negara, kebijakan pemerintahan. Jokowi dan JK tinggal melaksanakan secara total kebijakan partai politik (baca : kebijakan PDIP). 
‘Megawati mengingatkan, ketika dia secara langsung memberikan mandat kepada Jokowi sebagai calon presiden’, berkesan Megawati sangat berjasa dalam menjadikan Jokowi sebagai presdien RI 2014-2019. Memakai lawakan zaman Srimulat, muncul jargon “untung ada saya”. 
PENUMPANG GELAP 
Namun, dalam perjalanannya, kata Megawati, terlihat kepentingan-kepentingan di balik dukungan tersebut. “Kepentingan yang menjadi penumpang gelap untuk menguasai sumber daya alam bangsa. Kepentingan yang semula hadir dalam wajah kerakyatan, mendadak berubah menjadi hasrat kekuasaan,” kata Megawati. 
Ia juga mengatakan ada upaya pemunculan gerakan deparpolisasi atau mengikis peran partai politik dalam pemerintahan Presiden Jokowi. Menurutnya, ada pihak yang mengatasnamakan independensi, selalu mengatakan partai adalah beban demokrasi. Megawati meyakini, ada kekuatan antipartai dengan kekuatan modal yang berhadapan ideologi berdikari yang diusung PDIP. “Pemerintah harus memastikan agar rekrutmen seperti itu tidak boleh terulang kembali,” ujarnya. 
Alenia kelima dan keenam berita ini, semakin membuktikan bahwa dalam semester pertama, pemerintahan Jokowi-JK, selain di luar skenario politik PDIP, ternyata ada agenda terselubung dari orang dekat, dari kalangan istana, dari lingkaran Ring 1. Politik transaksional bisa lebih kejam dari fitnah. Penumpang gelap secara politis adalah oknum atau kawanan pendatang baru yang numpang nama, nebeng kursi. Mereka pandai membaca arah angin politik. Sebelum mampu jalan sendiri, mereka pandai bernain watak sebagai pengekor, pengikut. Magang politik tidak diharamkan dalam syahwat dan industri politik Nusantara. 
Penumpang gelap merupakan benalu politik. Muncul jelang pemilu dan pilpres 2014. Kalkulasi politik menjadikan apa saja sah dilakukan. Tak terkecuali kawanan penyembah berhala Reformasi 3K (Kaya, Kuasa, Kuat). 
SIMPUL AWAL 
Di REPUBLIKA.CO.ID, Jumat, 10 April 2015, 13:00 WIB, PIDATO DALAM ANGKA :
- Empat kali menyatakan tugas Jokowi sebagai presiden.
- 15 kali menerangkan kepemimpinan nasional yang selayaknya.
- Enam kali mengingatkan partai dalam kaitannya sebagai pengusung presiden.
- Tiga kali mengingatkan tugas Jokowi sebagai kader.
- Tujuh kali menyoroti deparpolisasi dan sentimen antipartai.
- Tiga kali menyoal kekuatan antipartai, kekuatan modal, dan kaum oportunis.
- 17 kali menyinggung revolusi mental.
Di REPUBLIKA.CO.ID, Jumat, 10 April 2015, 09:08 WIB, JAKARTA -- Presiden Jokowi menghadiri Kongres PDIP ke-4 di Bali pada Kamis (10/4). Hanya saja, Jokowi datang dengan status sebagai kader PDIP. Dia datang mengenakan jas merah dan duduk di barisan terdepan bersama Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, Wapres Jusuf Kalla, dan Ketua DPP Puan Maharani. 
Jokowi datang ke Bali menggunakan fasilitas negara didampingi beberapa menteri. Uniknya, meski menyandang status presiden RI, Jokowi tidak diberi kesempatan pidato di Kongres PDIP. 
Aktivis antikorupsi Dahnil Anzar Simanjuntak menyoroti kejadian aneh yang menimpa Jokowi tersebut. "Ketika Presiden Hadir dalam satu acara hanya diam terbisu dan duduk manis...!!! Di NEGERI ini," katanya melalui akun Twitter, @Dahnilanzar. 
Dia melanjutkan, "Mohon maaf saya harus sampaikan; Joko Widodo adalah Presiden yang tidak menghormati lembaga Kepresidenan." "Berangkat penuh dengan fasilitas Kepresidenan (pswt, ajudan, Dana dll). Duduk Bengong mengaku sebagai Jokowi. Terang menghina lembaga Kepresidenan." 
SIMPUL AKHIR 
Singkat kata di sisa periode 2014-2019, walau semester pertama Jokowi-JK, tetap nyaring bunyinya, galak salaknya. Memakai cara zaman batu yaitu hantam kromo, sikat dulu tanya kemudian. Cuma denting dan dentangnya membuktikan keropos dari dalam. Nada suara sudah tidak harmonis. 
Banyak yang membuka kedoknya, topengnya. Banyak yang mempertontonkan watak aslinya, tidak perlu pura-pura. Bagaimana di tingkat provinsi, kabupaten/kota? Akan terjadi replikasi atau peniruan. Karena mencontoh yang di atas. Namun saya teringat peribahasa ‘bagai telur di ujung tanduk’. Menurut KBBI, di ujung tanduk adalah ‘dalam keadaan yang sangat sulit (berbahaya)’. 
Memakai kaca mata politik, perjalanan Jokowi-JK dikendalikan oleh tanduk banteng. Salah sedikit atau tidak patuh komando, tanduk banteng langsung menyengat pantat. Tanduk banteng bak cambuk atau cemeti yang dipegang gembala. Tapi semua ini hanya peribahasa [HaeN/Wasathon.com].

Minggu, 28 Juni 2015

Umat Islam Di Panggung Politik, Memakai Kacamata Kuda Atau Kacamata Moral

Umat Islam Di Panggung Politik, Memakai Kacamata Kuda Atau Kacamata Moral

Bahasa Rakyat
Rakyat tidak ambil pusing kalau Politik adalah seni mengatur dan mengurus negara dan ilmu kenegaraan. Rakyat tidak peduli di awal Reformasi bergulir tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance) bagi aparatur negara, sekarang berwujud Reformasi Birokrasi. Rakyat tidak mau tahu apa dan siapa yang disebut pengatur/pengurus atau penyelenggara negara. Rakyat acuh tak acuh ada ilmu bernegara yang harus diamalkan.

Politik mengatasnamakan rakyat hanya manjur saat Proklamasi 17 Agustus 1945. Perjalanan sejarah, rakyat diposisikan sebagai obyek pembangunan, sebagai pelengkap penderita, dibebani dengan berbagai kewajiban. Di era Reformasi, pembangunan pro-rakyat hanya sebatas persyaratan administrasi.

Bukti Sejarah
Di pihak lain, mereka yang masuk kategori Penyelenggara Negara [adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU 28/1999 tentang “PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME”)], menganggap antar sesama bukan sebagai mitra, tetapi lebih sebagai pesaing, sebagai kompetitor. Secara internal pun, khususnya legislatif, tidak belaku asas musyawarah untuk mufakat. Bahkan asas mufakat untuk musyawarah, misal sidang DPR terkadang tak sesuai kuota.

Jangan heran, para penyelenggara negara tidak memandang negara sebagai organisasi besar, dengan tujuan yang bisa diraih melalui kerja sama. Mereka melihat negara sebagai lahan basah, ibarat mengelola lahan parkir liar, tiap jam bisa mendatangkan uang. Mereka menganggap negara sebagai tanah tak bertuan, untuk mendapatkannya perlu pengorbanan berdasarkan standar duniawi. Mereka tetap bersikukuh bahwa tanggung jawab utama negara bak perusahaan adalah menghasilkan profit, khususnya mensejahterakan anggotanya.

Negara menjadi panggung politik. Pemainnya bebas berekspresi, berakting dan melakonkan peran apa saja. Pemain watak, kepribadian ganda, mendadak alim, mudah lupa, tiba-tiba sakit menjadi modal utama sebagai pemain. Ikuti aturan main sesuai kebutuhan hari ini, besok pagi akan berubah.

Dalil Politik Islam
Rasulullah SAW menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi (siyasah) urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang  menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah." (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).

Jelaslah bahwa politik atau siyasah itu bermakna adalah mengurusi urusan masyarakat.

Rasulullah SAW. bersabda :"Siapa saja yang bangun di pagi hari dan dia hanya memperhatikan urusan dunianya, maka orang tersebut tidak berguna apa-apa di sisi Allah; dan barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslimin, maka dia tidak termasuk golongan mereka (yaitu kaum Muslim)”. (Hadis Riwayat Thabrani).

Islam merupakan agama yang sarat dengan pemikiran politik. Kandungannya menjelaskan tentang masalah etika politik, falsafah politik, hukum, hingga tatacara bernegara dam bermasyarakat. Pemikiran politik Islam berawal dari pemikiran tentang hubungan agama dan negara. Islam masih tetap pada persoalan yang satu yaitu penyatuan Islam dan politik sejak zaman Nabi hingga zaman kini.

Semangat Khilafiyah

Umat Islam yang mengabdikan dirinya di partai politik, siap perang batin dan makan hati. Kehendak parpol bukan akumulasi niat pribadi yang mengedepankan hati nurani, mengutamakan moral. Keputusan politik bisa jadi bumerang, bisa senjata makan tuan. Pilihan bersifat dilematis. Kecerdasan dibutuhkan, mengikuti arus dan kepentingan politik tetapi tidak terkontaminasi. Pondok Aren,  11 Pebruari 2013

Sabtu, 27 Juni 2015

dana aspirasi DPR, menghinakan diri sendiri

Dana aspirasi dpr, menghinakan diri sendiri


Kemasan politik sinterklas dalam wujud Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau dikenal dengan sebutan dana aspirasi semakin membuktikan bahwa kawanan 565 anggota parlemen Senayan merasa bahwa suara rakyat bisa dibeli. Apapun alasannya, dengan dalih balas jasa bagi pemilih di daerah pemilihannya, kenyataannya uang sebagai alat intimidasi yang ampuh. Minimal berlaku skenario udang di balik batu. Satu-satunya alasan formal yang dihafal, yaitu musrenbangnas tidak optimal. Karena perjuangan wakil rakyat hanya menunggu di hilir, bukan berkeringat sejak di hilir.

Jarang yang menganalisa bahwa dalam Pemilu DPR 2014 terdapat 77 daerah pemilihan (dalam bentuk provinsi atau gabungan beberapa kabupaten/kota) yang menengadahkan tangannya siap menerima dana aspirasi dari 565 wakil rakyat tingkat pusat. Tidak termasuk dapil di luar negeri. Duplikasi atau penerima ganda tidak masalah. Agar dapil cepat merasakan perjuangan wakil rakyat yang hanya kontrak lima tahun di DPR.

Jarang yang menduga fakta yang terjadi, yaitu : Pertama, jika wakil rakyat di periode pertama berarti mereka berharap terpilih kembali di pemilu mendatang. Kedua, wakil rakyat sudah di periode kedua berarti ada harapan bisa  booking atau indent kursi kepala daerah (gubernur atau bupati/walikota) saat pilkada nantinya. Fakta ini sudah terang benderang, tidak perlu kajian akademis, apalagi survei pesanan dari pihak tertentu.


Artinya, bagi rata dana asipirasi oleh wakil rakyat bukan untuk memuliakan rakyat pemilihnya, tapi justru menghinakan diri sendiri. Mereka, kawanan oknum wakil rakyat, menganggap akan terjadi proses bottom-up jika dirangsang dengan fulus. Daftar belanja keinginan dan kemauan rakyat berbasis kebutuhan/kemampuan nyata seolah akan dilayani dengan tulus dan tuntas.   Mereka, kawanan oknum wakil rakyat, merasa jika rakyat dielus-elus, dibuai, dicumbu, dininabobokan dengan uang, akan jadi penurut, peturut, pengikut yang loyal. [HaeN]

Jumat, 26 Juni 2015

Revolusi Mental Nusantara, Datang Tak Tertolak Pergi Tak Terusir

Revolusi Mental Nusantara, Datang Tak Tertolak Pergi Tak Terusir

Olah otak, olah akal, olah pikir, olah nalar, dan olah logika politik anak bangsa Indonesia, dalam hal semangat otonomi daerah melebihi negara yang sudah ratusan tahun merdeka. Di sisi rasa kebangsaan dan perwujudan serta pengejawantahan rasa nasionalisme, masih kalah strata, fakta dan realita dengan negara yang belakangan merdekanya. Nusantara dikapling-kapling, dikota-kotak sampai tingkat desa/kelurahan dengan dalih pembagian, pemerataan dan perimbangan kekuasaan berbasis politik.

Aroma irama, nafsu, syahwat, naluri dan insting politik ataupun mental politik manusia Indonesia terbentuk, terkontaminasi dan terstruktur sebagai akibat dan dampak penjajahan oleh pedagang VOC sampai pemerintah Belanda selama bilangan 3,5 abad, diperkuat pendudukan bangsa Jepang walau seumur jagung. Semangat yang mendasari ‘Sumpah Palapa’ Mahapatih Gadjah Mada, sebagai jawaban atas kejadian sekarang yaitu maraknya politik dinasti serta mewabahnya politik uang.

Pasca Reformasi 21 Mei 1998, yang diawali dari klimaks perjuangan kekuatan rakyat atau people power, dimulai dari puncak melengserkeprabon RI-1 ke-2, seolah kita meluncur bebas. Ada yang mengatakan negara ini sebagai negara dengan pilot otomatis. Padahal kita lupa diri, lima tahun pertama pasca Reformasi, Indonesia dikendalikan pilot setengah pilot. Sekarang, di periode 2014-2019 Indonesia menjadi negara multipilot (ekses tindak turun tangan di bawah meja bandar politik dan penyalahgunaan hakekat politik).


Apakah yang namanya kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan masih menjadi musuh, lawan, seteru bersama bangsa dan rakyat Indonesia. [HaeN]. 

Kamis, 25 Juni 2015

Persatuan Islam Sebagai Modal Kedaulatan Umat

 Humaniora     Dibaca :382 kali , 0 komentar
Persatuan Islam Sebagai Modal Kedaulatan Umat
 Ditulis : Herwin Nur 07 Januari 2013

Fenomena Perubahan
Melakukan perubahan seperti yang tersurat dalam sebagian terjemahan [QS Ar Ra’d (13) : 11] : “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.", harus diartikan bersifat proaktif, jangan sampai menunggu musibah baru bertindak.

Pasang surut kehidupan, kita bisa mengalami kondisi yang tak menentu, atau menjurus ke kemunduran yang tak terasa. Perubahan yang dilakukan suatu kaum secara politis diterjemahkan sebagai gerakan radikalisme, sporadis bahkan mengarah ke perbuatan anarkis.

Di Indonesia, perubahan diklaim hanya bisa dilakukan lewat partai politik (parpol). Aspirasi umat Islam liwat parpol maupun ormas Islam (NU atau Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah) tidak bisa direalisasikan secara optimal.

Parpol Islam terbelenggu aturan main parpol yang mengutamakan asas politik sebagai panglima. Keberagaman parpol Islam menjadikan aspirasi umat Islam semakin tidak tersalurkan. Urusan kebijakan pemerintah antar parpol Islam bisa berseberangan. Ormas Islam  menganut paham moderat, dalam prakteknya terkait kebijakan pemerintah, khususnya Muhammadiyah bergaya dualisme. Di satu sisi untuk berbuat perubahan harus menunggu komando pemerintah, tidak proaktif, preventif maupun antisipatif (misal dalam mengikis radikalisme dan terorisme bercorak agama), di sisi lain bersifat kontraproduktif  atau menunggu kejadian baru berreaksi dan beraksi (mengkritisi pemerintah yaitu merasa pembubaran BP Migas sebagai kado milad Muhammadiyah).

Kedua ormas Islam yang mengandalkan jumlah pengikutnya, atau langsung bersentuhan dengan masyarakat, untuk urusan kedaulatan umat  cenderung jalan sendiri tanpa koordinasi, apalagi bersinergi.

Fenomena Kedaulatan Umat
Penduduk Indonesia yang beragama Islam masuk kategori mayoritas. Bahkan sebagai negara berpenduduk mayoritas umat Islam diperhitungkan dunia. Soal ekonomi, politik, pendidikan dan sosial, umat Islam terkadang sebagai penonton. Ironisnya, malah bisa sebagai budak di negeri sendiri. Urusan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, eksistensi dan jati diri Islam berbaur dengan sifat pluralisme.

Menghadapi musuh yang sama, sebut saja kemiskinan dan kebodohan, umat Islam tidak dalam satu barisan. Kepentingan individu yang dibalut madu duniawi acap menyebabkan umat Islam mengabaikan ukhuwah.

Kita berharap umat Islam Indonesia dalam masalah akidah/tauhid, masuk golongan Ahlussunnah wal Jama’ah, yang dalam menjalankan agama selalu berpedoman kepada Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW.

Secara individual umat Islam banyak yang berprestasi, yang berkibar, masuk bursa, tataran dan skala internasional. Kontribusi seolah tidak nampak, karena bak satu lidi. Gebrakannya hanya nampak di awal, langsung reda. Publikasi lebih memihak pada “prestasi” yang bersifat sensasional, atraktif dan meningkatkan peringkat dan sponsor media massa, khususnya stasiun TV swasta.

Tantangan dan peluang umat Islam bak susu setetes melawan nila sebelanga. Daya juang dan jalur yang ditempuh bisa masuk ranah radikalisme, dipolitisir oleh pihak tertentu sebagai jihad individu yang mengarah ke terorisme.

Sapu Lidi
Zaman Rasulullah SAW, dakwah Islam membutukan pengorbanan jiwa raga. Memakai strategi dan sasaran yang jelas serta keuletan yang total, seperti yang tersurat dalam sebagian terjemahan [QS Al Baqarah (2) : 249] : "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar."

Di zaman sekarang, umat Islam dalam satu barisan yang kokoh, bukan sekedar menghadapi kekuatan dunia, melawan golongan yang lebih banyak, secara fisik, namun dalam segala aspek kehidupan. (Herwin Nur/Wasathon.com)

Rabu, 24 Juni 2015

Cara Bijak Ormas Islam Mengkritisi Kebijakan Pemerintah

Cara Bijak Ormas Islam Mengkritisi Kebijakan Pemerintah

oleh : Rathi Nurwigha

Entah sejak pemerintahan siapa, ketika penetapan 1 Ramadhan maupun 1 Syawal menjadi ajang perseteruan antara pemerintah dengan organisasi kemasyarakat (ormas) Islam. Jangankan masalah pelaksanaan syariat Islam, kebijakan umum pun ormas Islam tanpa diminta bersikap kritis. Ironisnya, setiap pembahasan dalam rangka proses penetapan kebijakan, jika diundang tidak hadir. Atau mewakilkan kepada anggotanya yang hanya datang, duduk, diam.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Barangsiapa hendak menasihati pemerintah tentang sesuatu, janganlah dia lakukan dengan terang-terangan. Akan tetapi, hendaknya dia ajak dan menyendiri dengannya. Jika diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak, sungguh ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya).

Sejauh ini kita menyadari eksistensi pemerintah. Terdapat dua kewajiban utama/pokok yang harus ditunaikan oleh pemerintah. Pertama, menjaga keutuhan dan keberlangsungan agama serta melindungi keberlanjutan agama. Ikhwal inilah yang paling penting untuk diperhatikan dan dijaga. Kedua, mengatur urusan dunia, sebab meliputi kemaslahatan dunia secara umum, yaitu dengan menetapkan kebijakan serta mengambil langkah pelaksanaan dan pengawasan.


Pemerintah sebagai proses dan produk politik. Ormas Islam, terlebih jika jagonya tidak jadi presiden, atau bahasa terangnya jika ketua mau maju jadi capres masih malu-malu mau, dengan tenang hati memposisikan diri berseberangan dengan pemerintah.

keterbelakangan mental penggagas rombak kabinet kerja

keterbelakangan mental penggagas rombak kabinet kerja

Kesimpulan politis, pihak yang menginginkan adanya perombakan kabinet kerja 2014-2019, bukan dari lawan politik. Justru dari kawan seiring yang menggunting dalam lipatan. Menohok kawan seiring. Mereka saling tahu kualitas kawan separtai. Yang menentukan bukan kualitas, tapi berdarkan garis  keturunan dan kedekatan serta asas ‘wani piro’.

Akal politik, pihak yang merasa berkepentingan dengan kabinet kerja, diterjemabhkan menjadi kabinet kejar, kejar kursi. Mereka memakai rumus bahwa komposisi maupun proporsi kursi parpol di parlemen diberlakukan pada para pembantu presiden, khususnya jabatan menteri. Parpol pemenang pemilu legislatif 2014 merasa berhak menguasai kabinet.

Ironi politik, selain tega terhadap kawan, tentu lebih tega kepada lawan. Kawanan parpolis yang mengajukan diri jadi pembantu presiden, ada yang ditakar sebagai setengah manusia (bentuk lain dari kw2). Sehingga jatah kursi di kabinet harus lebih banyak dibanding parpol lainnya.

Mental politik, sudah kehendak dan ketetapan sejarah, walau pengalaman sebagai anak presiden, pengalaman sebagai presiden, pengalaman sebagai cucu presiden, tidak otomatis menjadi negarawan. Walau ditunjang pengalaman sebagai ketua umum parpol. merasa negara sebagai warisan.


Jadi, kata rakyat, negara ini digerogoti dari dalam. Melihat kinerja, kiprah dan kontribusi menteri titipan bandar politik, apa tidak ada yang lebih jelek?![HaeN]

Selasa, 23 Juni 2015

2014, kalah dan menang lawan siapa?

 Politika     Dibaca :455 kali , 1 komentar
2014, Kalah dan Menang Lawan Siapa?
 Ditulis : Herwin Nur 18 Oktober 2012

Tafsir Politik
2014, ranah politik Indonesia memasuki kuantum kalah-menang. Iklim politik dalam kondisi ekstrem, berbagai kemungkinan bisa terbukti. Kursi RI-1 banyak peminat, terlebih SBY secara konstitusional sudah dua periode menjadi presiden, tidak bisa maju pilpres lagi. Ketua Umum parpol merasa paling berhak maju pilpres. 

Dua tahun jelang 2014 merupakan arena pertarungan bebas antar parpol untuk merebutkan simpati para pemilih mengambang  (konstituen yang belum menentukan pilihan secara spontan, berasal dari kalangan pemilih pemula atau golongan putih periode yang lalu) maupun pemilih yang lebih melihat figur daripada parpol. Capres perorangan sebagai harapan terakhir rakyat, minimal bisa memberi angin segar bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.   
  
Oposisi Setengah Hati
Periode 2009-2014 membuktikan adanya parpol yang memilih oposisi, tidak rela menempatkan kadernya hanya sebagai pembantu presiden di kabinet. Ironisnya parpol oposan getol meraih kursi kepala daerah. Kondisi ini membuktikan bahwa etika dan moral parpol oposan hanya sekedar mencari kekuasaan, ikhwal kesejahteraan rakyat, memperjuangkan nasib wong cilik hanya sebatas kampanye.

Selain sebagai parpol oposan setengah hati, mereka dengan lantang mengatakan 2014 harus menang. Beberapa kursi gubernur, misal gubernur DKI Jakarta 2012-2017, berhasil direbut oleh kadernya. Keberhasilan atau kemenangan parpol hanya berdasarkan kategori telah berhasil merebut kursi eksekutif.

Parpol tanpa merasa malu dan risi mendirikan posko saat terjadi bencana alam, terlebih jika diliput jurnalis yang gemar mencari sensasi. Ketika harga tempe melonjak, pemerintah terpaksa nemambah jatah import kedelai. Ketua Umum parpol oposan mahir menyalahkan pemerintah karena tidak bagi bibit kedelai unggul ke petani dan akan ditanam ramai-ramai. Nyatanya, selama ini memang tidak ada kader parpol oposan yang mau turun ke sawah. Parpol oposan lebih memilih lahan basah yang menjanjikan, tanpa harus memeras keringat.

Posisi Parpol Islam
Posisi parpol Islam di mata publik (Republika Online, Kamis 18 Oktober 2012) semakin menurun jika dilihat dari hasil survei, terakhir dilakukan Lembaga Survei Nasional (LSN). Dalam survei tersebut, partai Islam berada di peringkat bawah dalam kemungkinan akan dipilih para responden dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 mendatang.

PKS mendapatkan 4,5%, PAN 1,9%, PKB 1,4% dan PPP 0,9%. Jumlah ini jauh di bawah perolehan suara partai-partai nasionalis seperti Partai Golkar 14,4%, PDIP 11,7% dan Partai Demokrat 5,4%.

Survei sebagai potret apa adanya,  tidak menggambarkan realita seutuhnya dan kurang mampu menjangkau perilaku pemilih. Subyek survei hanya untuk kalangan perkotaan dan kelompok masyarakat tertentu saja

Kiprah dan kinerja wakil rakyat dari parpol Islam tergantung pemberitaan media massa, secara tak langsung akan mempengaruhi elektabiltas dan popularitas parpol Islam. Organisasi massa (ormas) Islam punya andil dalam menggerakkan roda parpol Islam. Ormas Islam tidak proaktif dalam menyikapi kondisi kehidupan politik nasional, lebih bersikap menunggu bola liar atau mengeluarkan pernyataan tidak sesuai dengan fitrahnya.

Rakyat Menang
Rakyat dibutuhkan hanya sebagai konstituen, perebutan kekuasaan menjadikan rakyat sebagai obyek saja. Aspirasi rakyat lebih banyak disalurkan melalui mekanisme Rukun Tetangga dalam tahapan musyawarah perencanaan pembangunan, atau turun ke jalan, seolah tidak punya wakil rakyat.

Partisipasi politik sebagai hak warga negara antara lain dalam menyusun kebijakan publik, dalam prakteknya rakyat diposisikan sebagai penggembira. Kebijakan publik sebagai produk hukum di tingkat kabupaten/kota pun tidak sepenuhnya pro-rakyat.(Herwin Nur/Wasathon.com)