fakta manusiawi penerima berkah Ramadhan
Umat Islam di kompleks kami mengawali menegakkan maghrib 1 Ramadhan
1436 H di lantai 2 masjid hasil renovasi. Walau belum selesai, target tarawih
di tempat yang lebih luas, lapang dan lega terlaksana. Ironis, jika khatib
kultum tarawih hari ke-4 menyindir bahwa daya tampung ruang masjid terasa
sangat besar. Atau karena harus naik tangga, menjadi penyaring dan pensortir
jamaah.
Donatur dan panitia sigap memenuhi keinginan dan tuntutan jamaah
‘wajah baru’. Perut kenyang usai buka puasa, terasa gerah sekaligus mengantuk.
Ingin masjid yang sejuk, adem dan nikmat. Kipas angin dinding segera dipasang.
Ternyata masih ada komen, keluh kesah maupun masukan miring. Ke masjid untuk ngadem
(mendinginkan diri) seperti pengalaman ybs ke pusat belanja modern.
Fakta manusiawi terasa lagi, saat merapikan shaf jelang sholat,
jamaah pembawa sajadah panjang (ingat lagunya Bimbo) tetap pada pendiriannya.
Artinya tetap berdiri di atas sajadahnya, tanpa menyesuaikan diri dengan kerapatan
shaf. Sudah nyaman di lokasi pilihan, merasa menjadi kapling pribadi, tidak mau
tergusur. Atau tidak mau berbagi sajadah.
Di shaf lain, tampak bapak muda, berpakaian orang kantoran swasta,
menggelar sajadah minimalis dalam ukuran. Sajadah mirip hiasan dinding, meriah,
bersulam benang emas. Lipatan masih utuh. Tas bermotif sama dengan sajadahnya.
Duduk manis. Tampak juga, jamaah berbusana seperti ke kondangan sebagai tanda
menghormati rumah Allah, menjadi lazim. Tampil beda dengan busana dan atribut
islami menyemarakkan suasana masjid.
Di jalanan menuju ke masjid, jika kaum hawa menggerombol sambil
mengobrol, jalan santai, dipastikan mereka merasa mendapat kesempatan untuk
bersilaturahmi. Mukena yang standar, konvensional, berwarna putih, dimungkinkan
penggunanya adalah ibu-ibu rumah tangga. Mukena trendy, fashionable, aneka
bahan, corak, motif dan warna, dipakai remaja gaul atau wanita karir.
Bapak-bapak tidak peduli dengan keutamaan dan pahala shaf terdepan.
Mereka lebih pilih lokasi dan posisi yang strategis, dekat pintu dan merasa
aman dan nyaman duduk bersama orang yang sudah dikenalnya. Seolah pindah tempat
begadang. Tidak menyatu saling mengenal dengan jamaah lainnya.
Masyarakat adat dari berbagai etnis lokal masih bermukim di sekitar
kompleks. Mereka masih membunyikan petasan sebagai tanda rasa syukur menyambut
Ramadhan. Walau diledakkan saat isya dan tarawih. Kami penghuni kompleks perumahan
KPR-BTN dianggap penduduk pendatang, yang ‘menyerobot’ tanah mereka. Maklum,
kami memlih lokasi tempat tinggal di sini karena dekat tempat kerja serta
terjangkau dengan daya beli.
Anak-anak berbagai usia, menjadikan masjid sebagai tempat bermain.
Yang bikin hati kita miris, pengalaman marbot masjid, mereka anak-anak yang
bikin gaduh riuh masjid, karena orang tuanya (maksudnya, bapaknya) tidak ke
masjid. Jadi anak ingin berkenalan sendiri dengan masjid. Entah karena
kesibukan atau adanya budaya kerja menjadikan sang pencari nafkah sibuk diri. Kalau
anak-anak dihalau, atau diminta diam agar tidak mengganggu, malah geng lain
yang datang. Bagi anak TPA, mereka sudah punya bekal pengetahuan dan adab di
masjid. Balita yang ikut jamaah, bukan ikut orang tuanya, kebanyakan dibawa
kakeknya, eyang kakungnya, atau mbahnya. Marbot masjid dibikin pusing, karena
tempat wudhu, km/wc kotor akibat ulah anak-anak. Terkadang, masuk tanpa copot
sandal.
Sebagai
penutup, walau belum berakhir, kemarin sore liwat depan rumah salah satu marbot
masjid. Naik motor butut, membawa tabung gas 3 kg serta bungkusan. Dia bersama
marbot yang lain menyiapkan takjilan. Yang bikin saya mengelus dada, dia bilang
: “Saya beli 1 liter beras untuk buka puasa
keluarga. Yang murah pak. 7 ribu”. Bukan 1 lt atau harga beras, karena gaji
marbot sekecil 1,5 juta rupiah perbulan. Anak lima. Dia tetap hepi, ikhlas
menjalankan fitrahnya sebagai marbot, seksi sibuk merangkap muazin. [HaeN]