revolusi mental Nusantara, dari mental
budak politik menjadi mental rakyat merdeka
“Saya ingin warga Muhammadiyah paham akan politik. Politik adalah jalan
mencapai kekuasaan. Dan, ini cara yang sah serta dilindungi oleh konstutusi dan
hukum. Jadi, janganlah alergi terhadap politik,” ujar Zulkifli. (sumber :
Republika, Sabtu 13 Juni 2015, kahazanah hal 12).
Frasa ‘politik adalah jalan mencapai
kekuasaan’, acap diterjemahbebaskan
semasa era Orde Lama dengan jargon ‘politik sebagai panglima’. Kekuatan partai
politik dalam format Nasakom (nasional, agama dan komunis) menjadi senjata
ampuh dan andalan Bung karno. Walau dikhianati dua kali oleh PKI (partai
komunis Indonesia) melalui Madiun Affair September 1948 dan peristiwa G30S
1965/PKI, Bung Karno tidak main menganakemaskan maupun menganaktirikan parpol.
Kisah di zaman Orde Baru : “Sudah ikut AMD (angkatan muda diponegoro)
tetap susah cari pekerjaan”, keluh pemuda lontang-lantung. AMD merupakan
organisasi sayap atau underbow Golkar. Golkar menjadi alat mempertahankan
kekuasaan oleh Presiden RI ke-2. Preman di Yogya, saat itu dikenal dengan
sebutan Gali (gabungan anak liar), direkrut jadi tukang pukul Golkar. Menjadi
ahli intimidasi rakyat agar mencoblos Golkar saat pesta demokrasi. Gali yang
cerdas, minta jatah sebagai wakil rakyat. Dianggap merecoki dan jadi momok bagi
penduduk, akhirnya terjadilah Petrus.
Di era Reformasi, Golkar menyesuaikan diri dengan dinamika aroma irama,
syahwat dan industri politik Nusantara, berubah menjadi Partai Golkar (PG). PG
mengalami proses belah diri, menjadi beberapa parpol. Tak terkecuali SBY dengan
Partai Demokrat mampu mengusungnya selama dua periode menjadi presiden RI. Tak
kalah nyalinya, adalah SP (Surya Paloh), dengan partai Nasdem di periode 2014-2019
sudah memposisikan diri sebagai RI 0,5. Kalau jadi menteri, SP merasa tua,
kalau jadi presiden umur tak jadi halangan. SP merasa berjasa telah menjadikan
Jokowi-JK menang di pilpres Juli 2014.
Sisi asli, watak bawaan Orde Baru, pasca SBY, PG mengalami proses
persaingan internal. Pemegang kartu ketum berhak ikut pilpres, menjadi daya
tarik. Urusan meraih jabatan ketum, sesuai jiwa dan semangat jargon ‘politik
sebagai panglima’. Munculnya kubu, timbulnya loyalis, serta berjajarnya barisan
sakit hati dan . . . PG berpengalaman sebagai partai pemerintah di era Orde
Baru, namun tidak dimotori oleh orang yang berwatak penyelenggara negara yang
benar dan baik, nilai jualnya fluktuatif. Kasus Lapindo menjadi bumerang dan
senjata makan tuan. Terlebih rekam jejak oknum di dua kubu, yang jauh dari
menyejukan mata dan hati rakyat. Rata-rata haus dan rakus kekuasaan.
Singkat kata, PG, PPP dan PDI-P, yang lolos dari kawah Coandradimuka
Orde Baru, ternyata tidak tahan banting, tidak tahan harga, tidak bisa pilih tanding.
Karena ideologi Rp sudah merasuki jiwa raga anggotanya. Mereka menjadi kawanan parpol
karena mengira parpol sebagai ATM, minimal sebagai mata pencarian utama. Kalkulasi
dan ideologi Rp dikemas sebagai mahar politik, aspirasi politik, bantuan sosial
politik.
Jadi, ‘kekuasaan’ dijabarkan mundur dan diketemukan ternyata titik
awalnya adalah menjadi anggota parpol. Artinya berbuat banyak untuk bangsa dan
negara harus jadi penguasa, tidak bisa dilakukan dan dirintis dari bawah.
Periode 2014-2019 melahirkan bandar politik sampai tataran kurir
politik. Secara konstitusi dan hukum muncul jiwa dan semangat ‘budak politik’.
Contoh nyata dan siapa saja sedang terjadi, sehingga tak perlu dibeberkan
secara jujur dan adil. Walau jumlah pelaku politik tak seberapa, atau rationya
kecil dibanding jumlah penduduk Nusantara, namun bisa menentuikan dan mengatur
nasib bangsa, negara dan rakyat Indonesia selama lima tahun. Tak urung dampak
nyata terasa di periode berikutnya.
Jika kondisi sekarang sebagai acuan prediksi ke masa depan, bangsa ini
harus banting stir (kata Bung Karno), balik kanan 180 derajad menuju
mental rakyat merdeka. Sesuai semangat Indonesia Raya yaitu “bangunlah
jiwanya bangunlah badannya”.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar