Halaman

Minggu, 14 Juni 2015

revolusi mental Nusantara, dari mental budak politik menjadi mental rakyat merdeka (revisi 15 juni 2015)

revolusi mental Nusantara, dari mental budak politik menjadi mental rakyat merdeka

“Saya ingin warga Muhammadiyah paham akan politik. Politik adalah jalan mencapai kekuasaan. Dan, ini cara yang sah serta dilindungi oleh konstutusi dan hukum. Jadi, janganlah alergi terhadap politik,” ujar Zulkifli. (sumber : Republika, Sabtu 13 Juni 2015, kahazanah hal 12).

Frasa ‘politik adalah jalan mencapai kekuasaan’, acap diterjemahbebaskan semasa era Orde Lama dengan jargon ‘politik sebagai panglima’. Kekuatan partai politik dalam format Nasakom (nasional, agama dan komunis) menjadi senjata ampuh dan andalan Bung karno. Walau dikhianati dua kali oleh PKI (partai komunis Indonesia) melalui Madiun Affair September 1948 dan peristiwa G30S 1965/PKI, Bung Karno tidak main menganakemaskan maupun menganaktirikan parpol.

Kisah di zaman Orde Baru : “Sudah ikut AMD (angkatan muda diponegoro) tetap susah cari pekerjaan”, keluh pemuda lontang-lantung. AMD merupakan organisasi sayap atau underbow Golkar. Golkar menjadi alat mempertahankan kekuasaan oleh Presiden RI ke-2. Preman di Yogya, saat itu dikenal dengan sebutan Gali (gabungan anak liar), direkrut jadi tukang pukul Golkar. Menjadi ahli intimidasi rakyat agar mencoblos Golkar saat pesta demokrasi. Gali yang cerdas, minta jatah sebagai wakil rakyat. Dianggap merecoki dan jadi momok bagi penduduk, akhirnya terjadilah Petrus.

Di era Reformasi, Golkar menyesuaikan diri dengan dinamika aroma irama, syahwat dan industri politik Nusantara, berubah menjadi Partai Golkar (PG). PG mengalami proses belah diri, menjadi beberapa parpol. Tak terkecuali SBY dengan Partai Demokrat mampu mengusungnya selama dua periode menjadi presiden RI. Tak kalah nyalinya, adalah SP (Surya Paloh), dengan partai Nasdem di periode 2014-2019 sudah memposisikan diri sebagai RI 0,5. Kalau jadi menteri, SP merasa tua, kalau jadi presiden umur tak jadi halangan. SP merasa berjasa telah menjadikan Jokowi-JK menang di pilpres Juli 2014.

Sisi asli, watak bawaan Orde Baru, pasca SBY, PG mengalami proses persaingan internal. Pemegang kartu ketum berhak ikut pilpres, menjadi daya tarik. Urusan meraih jabatan ketum, sesuai jiwa dan semangat jargon ‘politik sebagai panglima’. Munculnya kubu, timbulnya loyalis, serta berjajarnya barisan sakit hati dan . . . PG berpengalaman sebagai partai pemerintah di era Orde Baru, namun tidak dimotori oleh orang yang berwatak penyelenggara negara yang benar dan baik, nilai jualnya fluktuatif. Kasus Lapindo menjadi bumerang dan senjata makan tuan. Terlebih rekam jejak oknum di dua kubu, yang jauh dari menyejukan mata dan hati rakyat. Rata-rata haus dan rakus kekuasaan.

Singkat kata, PG, PPP dan PDI-P, yang lolos dari kawah Coandradimuka Orde Baru, ternyata tidak tahan banting, tidak tahan harga, tidak bisa pilih tanding. Karena ideologi Rp sudah merasuki jiwa raga anggotanya. Mereka menjadi kawanan parpol karena mengira parpol sebagai ATM, minimal sebagai mata pencarian utama. Kalkulasi dan ideologi Rp dikemas sebagai mahar politik, aspirasi politik, bantuan sosial politik.

Jadi, ‘kekuasaan’ dijabarkan mundur dan diketemukan ternyata titik awalnya adalah menjadi anggota parpol. Artinya berbuat banyak untuk bangsa dan negara harus jadi penguasa, tidak bisa dilakukan dan dirintis dari bawah.

Periode 2014-2019 melahirkan bandar politik sampai tataran kurir politik. Secara konstitusi dan hukum muncul jiwa dan semangat ‘budak politik’. Contoh nyata dan siapa saja sedang terjadi, sehingga tak perlu dibeberkan secara jujur dan adil. Walau jumlah pelaku politik tak seberapa, atau rationya kecil dibanding jumlah penduduk Nusantara, namun bisa menentuikan dan mengatur nasib bangsa, negara dan rakyat Indonesia selama lima tahun. Tak urung dampak nyata terasa di periode berikutnya.


Jika kondisi sekarang sebagai acuan prediksi ke masa depan, bangsa ini harus banting stir (kata Bung Karno), balik kanan 180 derajad menuju mental rakyat merdeka. Sesuai semangat Indonesia Raya yaitu “bangunlah jiwanya bangunlah badannya”.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar