Halaman

Minggu, 21 Juni 2015

4 siluman penentu nasib Jokowi saja

4 siluman penentu nasib Jokowi saja

Lazim di pesta demokrasi, terlebih saat pemilihan presiden. Banyak pihak merasa berkepentingan, bahkan kekuatan asing tidak tinggal diam. Setelah dua periode : 2004-2009 dan 209-2014, pihak yang selama ini hanya duduk di bangku cadangan, sudah siap dengan skenarionya.

Bangsa Indonesia memang sedang apes. Pertanda ini sudah terbaca saat rakyat, khususnya yang mempunyai hak pilih, hanya diposisikan sebagai berkweajiban menggunakan hak pilihnya. Timbal balik, 5 menit menentukan nasib bangsa 5 tahun ke depan, atau 5 tahun gonjang-ganjing mementukan nasib rakyat di 5 menit. Rakyat hanya sebagai penggembira.

Ironisnya, banyak komunitas bermental kaos jersey parpol, siap mati-matian, siap berjibaku mendukung idolanya. Dari aksi inilah muncul jenis Siluman Pertama, yaitu siluman tenaga. Berkeringat-keringat asal disambangi idolanya, sudah puas. Merasa diuwongke (dimanusiakan).Artinya untuk mensukseskan pesta demokrasi, konstribusi dalam bentuk tenaga. Entah berbasis gotong royong, dalam paket royong-royong menggotong. Bonus demografi menyuburkan paket padat karya. Diperkuat budaya instan, kerja tanpa modal minimal ingin hasil maksimal.

Komunitas rakyat, yang makan bangku sekolah, minimal tidak buta calistung (baca, tulis , hitung) bisa besar pendapat dan lebih besar pendapatan dibanding Siluman Pertama. Kelompok ini menjadi ciri Siluman Kedua, dengan gelar akademik melebih nama orangnya, mungkin. Atau, walau saat itu kasus ijazah palsu belum marak dan merebak, atau jangan-jangan sebagai sinyal.

Doa politik muncul bareng dukungan dari berbagai elemen keagamaan. Seolah-olah pesta demokrasi adalah bangsa dan rakyat Indonesia sedang melawan kekuatan asing, yang mau menjajah Nusantara. Padahal, sadar diri kita sudah diintervensi secara masif, sistematis dan berkelanjutan. Politisi sipil memang rawan, riskan maupun rentan terhadap hasutan yang berklas, berskala mancanegar. Organisasi kemasyarakatan yang mengatasnamakan agama, dengan sukarela menyediakan kepalanya untuk menjadi pangkalan sekaligus agen utama Siluman Ketiga. Tepatnya, sebagai representatif Siluman Kedua.

Kita baru belajar berdemokrasi, kita baru membaca buku yang menyuratkan sekaligus menyiratkan bahwa untuk meraih kandidat calon presiden, harus liwat status ketua umum partai politik. Tiga serangkai : partai politik-kekuasaan-tipikor (kalau ketangkap basah), menjadikan renternir politik laku keras. Biaya politik di atas daya beli parpol, mau tak mau, pemilik modal memanfaatkan peluang emas pesta demokrasi. Dunia tidak dibatasi ruang dan waktu, maka parpol yang ingin sukses membuka diri menerima uluran atau bantuan dana.

Pengusaha non-pribumi, tapi bukan prilangit, tanpa ragu, malu apalagi sungkan mendudukan dirinya sebagai Siluman Keempat. Walau status sebagai juru kunci dalam proses penentuan siapa yang akan menang di pilpres, namun perannya sebagai penentu. Sudah bukan zamannya jargon ‘atas kehendak rakyat’. Yang ada adalah keinginan asing yang memborong habis kursi pasangan capres dan cawapres. Terlebih jika cawapres hanya sebagai pemantas, pelengkap persyaratan administrasi konstitusional. Membentuk kesebelasan nasional saja sangat susah, apalagi memantaskan dan mementaskan satu orang sebagai cawapres. Kriteria penentu adalah pernah berpengalaman di bidang yang sama atau sederajat.

Ramadhan, saatnya rakyat mawas diri dalam keteduhan jiwa dan hati. Masih banyak rakyat yang tidak masuk kategori 4 Siluman, asal mau sadar dan bangkit, masa depan Indonesia terselamatkan.[HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar