4
siluman penentu nasib Jokowi saja
Lazim di pesta demokrasi, terlebih saat pemilihan presiden. Banyak pihak
merasa berkepentingan, bahkan kekuatan asing tidak tinggal diam. Setelah dua
periode : 2004-2009 dan 209-2014, pihak yang selama ini hanya duduk di bangku
cadangan, sudah siap dengan skenarionya.
Bangsa Indonesia memang sedang apes. Pertanda ini sudah terbaca saat
rakyat, khususnya yang mempunyai hak pilih, hanya diposisikan sebagai
berkweajiban menggunakan hak pilihnya. Timbal balik, 5 menit menentukan nasib
bangsa 5 tahun ke depan, atau 5 tahun gonjang-ganjing mementukan nasib rakyat
di 5 menit. Rakyat hanya sebagai penggembira.
Ironisnya, banyak komunitas bermental kaos jersey parpol, siap
mati-matian, siap berjibaku mendukung idolanya. Dari aksi inilah muncul jenis
Siluman Pertama, yaitu siluman tenaga. Berkeringat-keringat asal disambangi
idolanya, sudah puas. Merasa diuwongke (dimanusiakan).Artinya untuk
mensukseskan pesta demokrasi, konstribusi dalam bentuk tenaga. Entah berbasis
gotong royong, dalam paket royong-royong menggotong. Bonus demografi
menyuburkan paket padat karya. Diperkuat budaya instan, kerja tanpa modal
minimal ingin hasil maksimal.
Komunitas rakyat, yang makan bangku sekolah, minimal tidak buta
calistung (baca, tulis , hitung) bisa besar pendapat dan lebih besar pendapatan
dibanding Siluman Pertama. Kelompok ini menjadi ciri Siluman Kedua, dengan
gelar akademik melebih nama orangnya, mungkin. Atau, walau saat itu kasus
ijazah palsu belum marak dan merebak, atau jangan-jangan sebagai sinyal.
Doa politik muncul bareng dukungan dari berbagai elemen keagamaan.
Seolah-olah pesta demokrasi adalah bangsa dan rakyat Indonesia sedang melawan
kekuatan asing, yang mau menjajah Nusantara. Padahal, sadar diri kita sudah
diintervensi secara masif, sistematis dan berkelanjutan. Politisi sipil memang
rawan, riskan maupun rentan terhadap hasutan yang berklas, berskala mancanegar.
Organisasi kemasyarakatan yang mengatasnamakan agama, dengan sukarela
menyediakan kepalanya untuk menjadi pangkalan sekaligus agen utama Siluman
Ketiga. Tepatnya, sebagai representatif Siluman Kedua.
Kita baru belajar berdemokrasi, kita baru membaca buku yang menyuratkan
sekaligus menyiratkan bahwa untuk meraih kandidat calon presiden, harus liwat
status ketua umum partai politik. Tiga serangkai : partai
politik-kekuasaan-tipikor (kalau ketangkap basah), menjadikan renternir politik
laku keras. Biaya politik di atas daya beli parpol, mau tak mau, pemilik modal
memanfaatkan peluang emas pesta demokrasi. Dunia tidak dibatasi ruang dan
waktu, maka parpol yang ingin sukses membuka diri menerima uluran atau bantuan
dana.
Pengusaha non-pribumi, tapi bukan prilangit, tanpa ragu, malu apalagi
sungkan mendudukan dirinya sebagai Siluman Keempat. Walau status sebagai juru
kunci dalam proses penentuan siapa yang akan menang di pilpres, namun perannya
sebagai penentu. Sudah bukan zamannya jargon ‘atas kehendak rakyat’. Yang ada
adalah keinginan asing yang memborong habis kursi pasangan capres dan cawapres.
Terlebih jika cawapres hanya sebagai pemantas, pelengkap persyaratan
administrasi konstitusional. Membentuk kesebelasan nasional saja sangat susah,
apalagi memantaskan dan mementaskan satu orang sebagai cawapres. Kriteria
penentu adalah pernah berpengalaman di bidang yang sama atau sederajat.
Ramadhan, saatnya rakyat mawas diri dalam keteduhan
jiwa dan hati. Masih banyak rakyat yang tidak masuk kategori 4 Siluman, asal
mau sadar dan bangkit, masa depan Indonesia terselamatkan.[HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar