Menulis Yang Bukan
Menulis
Pernah punya niat, minat, ketertarikan untuk
menulis. Kesempatan tak kunjung tiba. Gemuruh motifasi tetap membara di hati. Mulailah
dengan membaca. Pakai jasa indera dan radar diri.
Tulislah apa yang ingin ditulis. Soal aturan main,
kode etik menulis yang benar, baik, bagus bisa dirasakan setelah menulis dan
menulis. Kendati menulis itu bebas, salah. Dukungan imu disyaratkan untuk bisa
menulis.
Mulai tulisan dengan bahasa umum, bahasa awam,
bahasa pasaran. Pakai bahasa gaul tidak masalah. Tetap di koridor bahasa tulis
yang menunjukkan daya pikir, olah otak, tindak nalar, ramu logika.
Setiap pokok bahasan, materi, substansi mempunyai
istilah tersendiri. Paling gampang, mau tulis tentang laga bola. Wajib mengenal
istilah dalam dunia sepak bola. Posisi pemain di lapangan, ada sebutan. Sudah ada
standar baku istilah.
Contoh untuk membuat gaya bahasa. Baca laporan
ekonomi. Istilah ekonomi yang baku, yang terkadang tidak bisa diterjemahkan
secara santai. Nyaris semua istilah ada pencetusnya, ada ahli sebagai pelopor. Pernah
tenar, jargon ‘ekonomi Pancasila’. Jangan lupa memperkaya diri dengan membaca adagium
utawa pepatah, peribahasa sampai level daerah.
Penulis mencoba memadukan bahasa antar mazhab. Mazhab
gado-gado yang nyaman di hati. Bahasa plésétan, kata wong Jawa. Mempercepat
pencernaan dan penyerapan makna.
Contoh yang pernah menjadi judul olahkata saya: “ walau
nila sebelanga, revolusi mental jalan terus”. Semangat otonomi daerah,
menjadikan daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota sebagai sumber
penghasilan tambahan. Tanah air-ku kalau bisa dilipat, mengapa dibiarkan
mangkrak. Negara saja bisa menjual kekayaan alam dengan percuma kepada pihak
negara adikuasa. Oknum anak bangsa non-pribumi memarkir kekayaan di luar
negeri, dengan dalih agar aman dari jangkauan tukang palak. Wajar, hasil
kejahatan jangan sampai dijahati pihak lawan.
Memplagiat dua karya tulis yang beda istilah,
dipadupadankan. [HaèN]