Halaman

Senin, 20 Agustus 2018

memahami kejahatan politik Nusantara


memahami kejahatan politik Nusantara

Disebutkan bahwasanya ada manusia politik, manusia sosial dan manusia ekonomi. Endapan konflik terselubung antar ketiga manusia tersebut, menambah khazanah penyakit masyarakat. Tak jelas siapa yang kalah dan pihak mana yang merasa menang.

Kondisi negara yang adem-ayem semakin membuat mereka tetap jaga jarak. Rumus jika negara senyap maka rasa resah, rasa gerah akan mewarnai jiwa mereka. Industri politik paling terkena imbasnya. Tangan gatal untuk menangani lawan politik sampai tetes air kencing terakhir.

Pokoknya menang!!! Menjadikan porsi utama persatuan dan kesatuan Indonesia terpinggirkan, termarjinalkan secara formal kenegaraan. Porsi pemberitaan kasus politik, tersedia dalam berbagai menu dan paket. Mulai dari sekedar ingin tahu, sekedar mau tahu. Atau sampai sekadar tahu saja. 

Antara sistem politik, praktik hukum dan pola ekonomi di Indonesia seolah berdiri sendiri, bermain sendiri, berjalan sendiri. Terasa di mata rakyat, tidak dalam satu kesatuan tatanan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Tidak saling menguatkan, tidak bersinergi. Persaingan  bukan untuk kepentingan, kebutuhan bangsa dan negara.

Memang, tergantung pelakunya. Tepatnya, malah biang keroknya. Potensi dan posisi pelaku manusia ekonomi –  terlebih tingkat multinasional – mampu melakuan komunikasi, koordinasi, kendali dengan pelaku atau manusia politik.

Pasar politik Nasional menjadi ajang kompromi tak pandang asal usul apa pun. Bursa biaya politik bertemu dengan pemodal yang siap memberi dukungan finansial tanpa syarat. Kemufakatan adalah menjalakankan skenario pemodal.

Contoh klasik lain, nyata, eksis dan tidak bisa diperdebatkan, adalah apa itu bentuk ‘kejahatan politik’. Sementara pihak ada yang menyebut bahwa  kemasan kejahatan politik atau delik politik lebih berkonotasi sosiologis daripada yuridis.

Selama proses pembuatan UU, apakah tidak ada pihak – pemerintah maupun wakil rakyat yang notabene orang partai – yang mengusulkan definisi ‘kejahatan politik’. Minimal mengenalkan indikasi yang layak diwaspadai.

Secara awam, rakyat bisa melihat bahwa ‘kejahatan politik’ bisa melekat pada bab, pasal di UU partai politik, UU pesta demokrasi, UU wakil rakyat dan wakil daerah, UU kepala daerah, UU presiden dan wakil presiden, UU pemerintahan daerah. Kurang apa lagi kawan.

Kata ahlinya, perlunya batasan pengertian ‘kejahatan politik’ karena dalam rangka menentukan apakah pelaku kejahatan politik dapat diekstradisi atau tidak. Selama ini masih mengacu UU 1/1979 tentang Ekstradisi. Kebijakan pemerintah bertajuk pengampunan pajak utawa tax amnesty, untuk menganulir ‘kejahatan ekonomi’ yang juga berbasis ekstradisi.

Jika ada niatan Koalisi Indonesia Kerja (KIK) yang menegaskan bahwa kepala daerah akan menjadi bagian kekuatan pemenangan presiden yang masih aktif. Ini bukan kejahatan politik. Cuma bentuk dasar dari cerdas ideologi yang lebih mementingkan . . .  [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar