memahami kejahatan
politik Nusantara
Disebutkan bahwasanya ada manusia politik, manusia
sosial dan manusia ekonomi. Endapan konflik terselubung antar ketiga manusia
tersebut, menambah khazanah penyakit masyarakat. Tak jelas siapa yang kalah dan
pihak mana yang merasa menang.
Kondisi negara yang adem-ayem semakin membuat
mereka tetap jaga jarak. Rumus jika negara senyap maka rasa resah, rasa gerah
akan mewarnai jiwa mereka. Industri politik paling terkena imbasnya. Tangan gatal
untuk menangani lawan politik sampai tetes air kencing terakhir.
Pokoknya menang!!! Menjadikan porsi utama persatuan
dan kesatuan Indonesia terpinggirkan, termarjinalkan secara formal kenegaraan. Porsi
pemberitaan kasus politik, tersedia dalam berbagai menu dan paket. Mulai dari
sekedar ingin tahu, sekedar mau tahu. Atau sampai sekadar tahu saja.
Antara sistem politik, praktik hukum dan pola ekonomi
di Indonesia seolah berdiri sendiri, bermain sendiri, berjalan sendiri. Terasa di
mata rakyat, tidak dalam satu kesatuan tatanan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat. Tidak saling menguatkan, tidak bersinergi. Persaingan bukan untuk kepentingan, kebutuhan bangsa dan
negara.
Memang, tergantung pelakunya. Tepatnya, malah biang
keroknya. Potensi dan posisi pelaku manusia ekonomi – terlebih tingkat multinasional – mampu melakuan
komunikasi, koordinasi, kendali dengan pelaku atau manusia politik.
Pasar politik Nasional menjadi ajang kompromi tak
pandang asal usul apa pun. Bursa biaya politik bertemu dengan pemodal yang siap
memberi dukungan finansial tanpa syarat. Kemufakatan adalah menjalakankan
skenario pemodal.
Contoh klasik lain, nyata, eksis dan tidak bisa
diperdebatkan, adalah apa itu bentuk ‘kejahatan politik’. Sementara pihak ada
yang menyebut bahwa kemasan kejahatan
politik atau delik politik lebih berkonotasi sosiologis daripada yuridis.
Selama proses pembuatan UU, apakah tidak ada pihak –
pemerintah maupun wakil rakyat yang notabene orang partai – yang mengusulkan
definisi ‘kejahatan politik’. Minimal mengenalkan indikasi yang layak
diwaspadai.
Secara awam, rakyat bisa melihat bahwa ‘kejahatan
politik’ bisa melekat pada bab, pasal di UU partai politik, UU pesta demokrasi,
UU wakil rakyat dan wakil daerah, UU kepala daerah, UU presiden dan wakil
presiden, UU pemerintahan daerah. Kurang apa lagi kawan.
Kata ahlinya, perlunya batasan pengertian
‘kejahatan politik’ karena dalam rangka menentukan apakah pelaku kejahatan
politik dapat diekstradisi atau tidak. Selama ini masih mengacu UU 1/1979
tentang Ekstradisi. Kebijakan pemerintah bertajuk pengampunan pajak utawa tax
amnesty, untuk menganulir ‘kejahatan ekonomi’ yang juga berbasis ekstradisi.
Jika ada niatan Koalisi Indonesia Kerja (KIK) yang
menegaskan bahwa kepala daerah akan menjadi bagian kekuatan pemenangan presiden
yang masih aktif. Ini bukan kejahatan politik. Cuma bentuk dasar dari cerdas
ideologi yang lebih mementingkan . . . [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar