Halaman

Selasa, 25 Februari 2014

BESAR PASAK DARIPADA TIANG

Senin, 11/07/2011 11:33

Mencari nafkah, rezeki menjadi abdi masyarakat, abdi negara, aparatur negara yang dikemas dalam PNS (PNS Pusat maupun PNS Daerah) menurut hukum negara dan agama adalah sah dan tidak diharamkan. Sebagai PNS mengantongi 17 kewajiban dan 15 larangan serta hukum disiplin yang cukup rinci (lihat PP 53/2010 tentang Disiplin PNS). Gaji tetap dan naik secara berkala plus gaji ke 13 serta adanya uang pensiun menjadi daya tarik orang memilih jadi PNS sebagai mata pencaharian.

Pemerintah terus meningkatkan anggaran belanja pegawai dari tahun ke tahun dalam lima tahun ini. Bahkan, belanja pegawai pemerintah pusat terus meningkat dari Rp 54,254 triliun (2005) menjadi Rp 180,824 triliun (2011). Peningkatan ini karena ada remunerasi dan berbagai bonus bagi PNS. Namun bagi pemerintah provinsi, maupun pemerintah kabupaten/kota akibat dari pemekaran wilayah mempunya segudang masalah dalam hal kinerja SDM dan birokrasi. Pemekaran wilayah merupakan keputusan dan kepentingan politik, kendati PNS wajib netral, dalam prakteknya mempunyai daya dukung bahkan ambisius. Infus Rp ke PNS, misal dalam bentuk remunerasi atas nama reformasi birokrasi, bukan jaminan PNS bebas KKN.

Hukum alam ekonomi yaitu semakin besar pendapatan/penghasilan akan semakin banyak pengeluaran. Di lain pihak banyak birokrasi, khususnya di provinsi, kab/kota yang memanjakan PNS dengan tunjangan jabatan yang berkibat belanja pegawai >60% APBD. Organisasi yang gemuk menambah daya serap terhadap belanja pegawai, lamban dalam berakselerasi, serta tingkat kepekaan, kepedulian dan daya tanggap yang menurun. PNS Daerah bisa diibaratkan katak dalam tempurung atau dalam kondisi jelang bangkrut ibarat katak rebus. Kendati pajak digenjot, sumber PAD lainnya dikuras habis, tapi kalau hanya untuk bayar belanja pegawai jelas sebagai kemubaziran yang bahkan menggerogoti tiang negara. [HaeN].


Senin, 24 Februari 2014

Hormati Juga Calon Pahlawan

Wajar, penerapan nama Pahlawan Nasional Usman dan Harun untuk kapal perang KRI Usman Harun, menimbulkan rasa kontra dari negara tetangga Singapura. Singapura saat kejadian sebagai boneka atau antek Inggris, menganggap Usman dan Harus sebagai teroris.

17 Oktober 1968, keduanya dikeluarkan dari sel tahanan dengan tangan terborgol, dua prajurit itu dibawa ke tiang gantungan. Tepat pukul 06:00 waktu setempat, keduanya tewas di tiang gantungan Singapura yang saat itu masih menjadi bagian negeri jiran.

Ironis, entah sejak kapan Indonesia ke Malaysia dan Singapura bukan mengirim prajurit, tetapi mengirim TKW. Malaysia dengan senang hati mengirim teroris ke Indonesia. Nasib baik, TKW bisa kirim dolar ke suami atau keluarganya di tanah air. Nasib apes, TKW pulang nama dan didaulat sebagai Pahlawan Devisa.


Apakah dengan negara tetangga Malaysia dan Singapura kita akan memperbanyak Pahlawan Devisa. 

Sabtu, 22 Februari 2014

DEWAN PERWAKILAN DAERAH vs OTONOMI PEMERINTAH DAERAH

Beranda » Berita » Opini
Senin, 16/12/2002 11:40
DEWAN PERWAKILAN DAERAH vs ......

KATA ANTAR
Salah tiga (bukan salah satu) rekayasa cerdas ditambah sepertiga kandungan lokal elegan yang bisa digulirkan oleh ordo MPR, dengan si komandan Bung Amien Rais, dalam mengamandemen UUD 1945 adalah melahirkan BAB VIIA. Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dengan uraian seperti yang tercantum dalam Pasal 22C, 22D, dan pasal lainnya. DPD sebagai pengganti utusan dari daerah dan golongan. DPD dimanfaatkan secara nyata sejalan dengan Pemilu 2004. Entah siapa yang dimenangkan atau disenangkan. Kehadiran DPD bersama DPR (asal jangan menjadi dewan kembar) menjadi komponen MPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui Pemilu, bersama dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Keberadaan DPR dan DPD, seperti kata sambutan Ketua MPR pada acara sosialisasi UUD 1945, 26 November 2002, yaitu diharapkan mampu meningkatkan pemenuhan aspirasi dan kepentingan rakyat pada tingkat suprastruktur, serta pengawasan yang obyektif dan kritis terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan. Kiat menghadirkan DPD antara lain merupakan salah satu jawaban cerdas bangsa kita terhadap isu otonomi daerah, serta untuk melengkapi keberadaan DPR yakni sebagai lembaga perwakilan yang menekankan kepada aspirasi dan kepentingan daerah.

OTONOMI "PEMERINTAH DAERAH"
Mengintip pelaksanaan otonomi daerah di beberapa Kabupaten dan atau Kota, berdasarkan laporan intelejen klas lokal/partikeliran yang mengandalkan berita slentingan dari warung ke warung, menuju kesimpulan bahwa hasilnya lebih mengarah kepada perwujudan Otonomi Pemerintah Daerah. Daerah selain suatu sebagai sistem tata ruang dan bangunan gedung juga merupakan kumpulan orang-orang yang memerintah dan yang diperintah. Barisan orang-orang yang memerintah membentuk jaringan birokrasi yang kental dengan persaingan bebas. Tak salah kalau disebut penguasa Kabupaten / Kota adalah raja-raja kecil yang berkibar di kerajaannya. Perekatnya adalah persamaan hak dan kesempatan dalam hal beridiologi, senasib dan sepenanggungan dalam mengejar cita-cita yang harus melalui mekanisme politisasi. Bak Golkar sebelum jadi partai, yaitu sebagai penyalur tunggal aspirasi masyarakat. Semua saluran "resmi" untuk unjuk diri telah buntu dan mampet. Prestasi seseorang dalam pemerintah daerah sangat ditentukan oleh kadar dan status pengkaderannya dalam sebuah partai politik (parpol). Ketergantungan pada parpol sudah sedemikian akut, dimulai dari proses pencalonan dan percaloan; tata tertib selama dalam jalur; memahami dan mengamalkan prosedur kebijakan mempertahankan posisi dan jabatan; sampai memproduk jasa timbal balik dengan memanfaatkan berbagai tujuan fasilitas secara tak tertulis. Alibi politis bukan hal yang tabu, untuk menyalahkan keadaan khususnya mengalahkan kebenaran maupun melegitimasi kondisi perkrisisan yang seolah tak berkesudahan. Dengan dalih untuk kepentingan politik maka banyak cara yang semula nganeh-nganehi bisa menjadi masuk akal.

Seperti pariwara ala pembodohan publik bahwa hanya orang berakallah yang menggunakan cara-cara aneh, yang penting hasilnya Bung! 30 provinsi, dengan catatan bahwa provinsi adalah interkabupaten / interkota, maka akan semangkin susah ditebak dan sulit dilacak - seberapa banyak / besar kandungan muatan lokal DPD yang betul-betul berbasis dan fungsi rakyat. Kekentalan warna parpol masih akan dominan dan inilah yang memang diharapkan. Seseorang tokoh bisa jadi menjadi anggota DPD asal warna politiknya tidak samar-samar, apalagi belang tiga. Itulah yang tersirat dan tersurat dalam BAB VIIB, Pasal 22E, ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945. Kesimpulannya, isu Otonomi Daerah telah menjelma menjadi Otonomi "Pemerintah Daerah".

BOM WAKTU DAN RANJAU DARAT
Para pelaku tindak kriminal, menurut versi layar putih mancanegara, jika mendapat order yang dirasa mudah waktu dilaksanakan, mereka akan curiga bin duga. Jangan-jangan ini hanya jebakan, atau untuk mengalihkan perhatian dari operasi sebenarnya, bisa pula mereka dikorbankan untuk dapat tertangkap basah, alternatif lain mereka merasa dijadikan umpan hidup, tak urung ada skenario dan rencana berlapis, juga kemungkinan adanya konspirasi politik kambuhan. Kecurigaan mereka memang masuk nalar, berdasarkan gabungan insting naluri yang seolah memposisikan diri dan berfikir sebagai aktor intelektual, sebagai mantan napi, sebagai hamba hukum, sebagai politikus, sebagai konglomerat, sebagai aparat keamanan, sebagai pejabat negara, sebagai walikota, sebagai anggota parlemen, sebagai senator, sebagai pengacara - dan masih banyak kemungkinan sebagai-sebagainya. Secara analogis dengan asas pembuktian terbalik kita pun dengan cepat bisa tanggap atas kemudahan polisi dalam mengungkap tragedi wabah bom.

Kita sebagai reformis yang sekaligus Pancasilais, tak boleh semena-mena pasang curiga tanpa asas praduga, khususnya dalam menyimak beruntutnya kemudahan untuk membangunkan / membangkitkan / menghidupkan parpol dan tidak mudahnya suatu parpol ikut Pemilu 2004. Semua ini sudah diantisipasi dan diimbangi dengan keberadaan DPD (sekedar menjawab pihak mana yang dimenangkan atau siapa saja yang akan disenangkan, termasuk siapa yang akan liwat dalam kenangan sehingga bisa istirahat dengan tenang, siapa sesungguhnya yang berwenang).

SELINGAN, FAKTA "POLITIKA"
Bahkan Republika pun, sebagai koran pada Sabtu 14 Desember 2002 mewartakan tentang DPD dalam paparan berita "Gedung DPD Selesai Awal 2004", selengkapnya : Sekretaris Jenderal (Sekjen) MPR, Rahimullah, SH, membantah pendapat bahwa pembangunan gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dilakukan secara diam-diam. Menurutnya, pembangunan gedung yang menelan dana Rp 64 miliar tersebut telah direncanakan sejak tahun anggaran 2001 lalu. "Kalau Pak Amien (Ketua MPR Amien Rais) tidak tahu ada pembangunan ini, mungkin karena beliau sibuk," ujarnya di gedung DPR/MPR, Jakarta, Jumat (13/12). Seperti diberitakan sebelumnya, Ketua MPR Amien Rais, mengaku tidak mengetahui adanya rencana pembangunan DPD yang terletak di kompleks DPR/MPR itu. "Saya kaget, apalagi tidak ada laporan dari Sekjen MPR," katanya (Republika, 5/12). Amien juga mengaku heran karena gedung tersebut sudah dibangun dengan dana APBN tahun 2002, padahal keberadaan DPD sendiri baru diputuskan Agustus lalu. Lokasi pembangunan gedung DPD tersebut, terletak di sebuah lapangan kosong di samping Gedung Nusantara V DPR/MPR. Menurut Rahimullah, gedung tersebut akan menempati tanah seluas 42x56 meter. Di atas tanah itu, kelak akan bediri gedung bertingkat 12. "Gedung ini akan selesai pada awal tahun 2004, sehingga MPR yang ada sekarang ini masih tetap bisa ngantor di gedung baru itu," katanya. Bukan hal yang aneh jika di balik berita ini terkandung berbagai ragam keanehan, namanya saja sudah "Politika", tidak ada yang aneh. Yang aneh dan memang sangat aneh justru oknum pembaca yang menganggap aneh berita ini.

KONFLIK, KARMA DAN KUWALAT POLITIK
Akurasi politis bahwa sosok Orde Lama (Orla) sebagai masa lampau dan sekaligus sebagai musuh bebuyutan, harus disikat musnah sampai ke akar-akarnya (kalau perlu sampai ke cindil abangnya). Itulah kiat Orde Baru (Orba) dalam membius bangsa dan rakyat Indonesia, dari Repelita ke Repelita, dari Pemilu ke Pemilu. Tak terasa sejarah berulang, dengan waktu, kedalaman dan intensitas yang berbeda. Menjadi petualang, biang kerok, pecundang pun sangat susah, apalagi menjadi panutan bangsa - selain dinobatkan menjadi Bapak Pembangunan - itu yang terjadi dan ciri di zaman Orba.

Asumsi politis dalam menilai plus minus era Reformasi, minimal dengan fakta telah ada Pemilu 1999 dan dua presiden yang tidak "meneruskan / menghabiskan masa jabatannya" sebagai bukti awal bahwa kandungan Reformasi tidak lebih baik atau kalah buruk di banding Orla + Orba. Anekdot politis, jika Orla (identik dengan Ir. Soekarno) dan Orba (identik dengan Jenderal Besar HM Soeharto) merupakan pasangan ganda terkuat, dilanjutkan pasangan ganda bongkar pasang BJ Habibie dengan Gus Dur, maka seolah kita menunggu duet Mega (sebagai pasangan ganda ataupun pasangan campuran). Kesimpulannya, penerus ataupun pengganti Mega akan "bernasib sama" dengan Mega, khususnya dalam hal peringkat dan popularitasnya. Baru setelah itu kita akan mempunyai pemimpin nasional. Amin 3x.

KATA SIMPUL
"Ndeder koq ndeder kere." Demikian secuplik bahan lawakan versi dagelan Jawa, atau guyonan antar orangtua menyoal nasib anaknya, maksudnya jangan sampai "Menyemai koq menyemai pengemis." Jangan sampai mendidik anak untuk jadi pengemis. Kendati sekarang pun masih ada orangtua yang mengajak anak balitanya untuk mengemis atau yang seusia anak sekolah dibiarkan mandiri jadi pengamen jalanan, dalam bis kota atau jadi pemulung. Dalam kondisi ekonomi yang semakin rentan maupun adanya rentang kasta konglomerat versus rakyat melarat yang semakin melebar orang tak banyak pilihan. Menyiapkan anak, dari segi ekonomi, memang harus siap pakai, siap menghadapi persaingan bebas, siap dan layak jual, tahan banting dan ulet, bisa berkerja sama dan membuat jejaring kerja, serta siap gagal.

Dari segi politik, manfaat reformasi adalah adanya nuansa melek politik, orang sudah tidak buta politik lagi. Rakyat Indonesia sudah jenuh dibodohi atau ditipu melek-melek tentang kepartaipolitikan. Sudah tidak ada kekuatan dan cara jitu untuk meninabobokkan kesadaran berpolitik, berbangsa dan bernegara. Politik bukan sebagai momok yang selama ini menghantui hati nurani rakyat, yang meracuni sendi-sendi kehidupan serta yang meretakkan asas persatuan dan kesatuan. Ternyata yang belum bisa direformasi di bidang politik, atau malah menjadi-jadi, yaitu politik sebagai alat untuk berkuasa atau alat penguasa agar langgeng berkuasa. Korea Utara yang merupakan negara komunis masih menghidupkan penciptaan kader-kader partai. Secara paralel penciptaan kader partai merupakan penyiapan kader bangsa. Dogma bahwa politik adalah penglima memang jiwanya komunis, termasuk tujuan menghalalkan segala cara. Menciptakan angkatan ke lima, setelah ABRI, dengan mempersenjatai kaum buruh merupakan kiat PKI di zaman Orla - disamping menciptakan kader politik di lingkungan pemuda, pelajar, sarjana, seniman, buruh, petani, nelayan, wanita, mahasiswa serta berbagai komponen bangsa. Sejarah selalu berulang, retorika kehidupan menggelinding bebas. Muncul jargon dan atribut politik. Parpol berbagai warna dan lambang, mencari lawan tanding atau seolah tanpa lawan, memporakperandakan kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama.

Dosa politik masa lampau menjadi terkubur. Dosa bawaan, dosa turunan, dosa kiriman dan bakat dosa para politikus menjadi tak terukur. Masa depan bangsa sudah dikapling untuk kepentingan partai politik. Kebijakan internal partai menjadi lagu wajib bagi para kader partai, khususnya yang telah berkesempatan menikmati kursi eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Rakyat tetap menjadi obyek, bukan subyek. Rakyat dibutuhkan hanya pada saat perolehan suara dalam pemilu, setelah itu suara rakyat nyaris tak terdengar. Suara wakil rakyat tak lebih bagaikan riak-riak gelombang, menandakan bahwa laut tak dalam, bagaimana dan apalagi wakil daerah yang bak jago kandang!!! Dalam riak gelombang Otonomi "Pemerintah Daerah" yang demikian bak batu karangnya dalam melaksanakan aspirasi dan kepentingan daerah. (hn)


Jumat, 21 Februari 2014

RABUN POLITIK

Beranda » Berita » Opini
Selasa, 23/09/2003 11:25
RABUN POLITIK

Walau kidung angin surgawi dihembuskan gratis bersama sembako, masih tak akan menggoyang kiblat anak jalanan. Walau pedang roh jinawi ditebaskan ke tengah lingkaran kemelaratan, masih tak akan sanggup menggadaikan akidah kepastian hati anak bangsa di kolong langit. Ketika pekik reformasi menumbangkan peradaban Orde Baru, mengganti dimensi kekuasaan dengan berhala politik. Semula yang nampak relijius dan agamais ketika berurusan dengan angka-angka politik semua menjadi berbalik langkah dan berubah arah serta salah tingkah. Ketajaman mata menjadi buram, kepekaan hati menjadi suram, kepedulian nurani menjadi temaram, daya tanggap akan kebenaran menjadi kelam, kejernihan jiwa menjadi muram. Kaca mata politik berbagai ukuran tersedia bebas, kaca mata kuda menjadi laris, rambu-rambu politik masih berbasis KKN sebagai prasyarat untuk pentas di panggung politik, sebagai kebutuhan dasar untuk manggung di arena politik. Pendulum nasib selalu bergerak bebas, tak pandang waktu, tak lirik pelaku politik - yang di atas bisa terhempas bebas, yang di bawah bisa kandas tanpa landas - itulah retorika politik. Kesadaran memang selalu datang terlamat. Kebenaran selau datang diakhir cerita. Ketika politik tak mampu menjawab tantangan zaman, semua menjadi terlambat, semua menjadi penghambat sesama pergerakan politik. Habis gelap terbitlah terang, kata ibu kita. (hn)


BUDAK TEKNOLOGI vs TEKNOLOGI BUDAK

Beranda » Berita » Opini
Jumat, 30/11/2007 07:43

BUDAK TEKNOLOGI vs TEKNOLOGI BUDAK

Daripada kita manusia Indonesia, semenjak Sumpah Amukti Palapa Mahapatih Gadjah Mada sampai diluncurkannya Satelit Palapa, perkembangan kemajuan teknologi menanjak tajam dan berlonjak-lonjak kegirangan. Jangan lupa, kita hanya sebatas sebagai pengguna dan pemanfaat akhir. Kita mampu membeli, tidak jauh dari mampu untuk merawat.

Contoh, larangan terbang dari berbagai maskapai penerbangan RI oleh UE ke Eropa sebagai bukti sederhana. Atau kita kewatir kejatuhan serpihan badan pesawat terbang. Kita bisa bangga, angkutan Bajaj jumlahnya bukan menurun malah bertambah, walau sudah tidak ada impor lagi. Industri pesawat terbang Nusantara entah bagaimana nasibnya. Belum lagi kita termasuk pembeli telpon genggam terbanyak sedunia, apalagi dibanding populasi total poenduduk. Coba bayangkan, kata Pak Harto, nanti Pemilu 2009 daripada bangsa ini silahkan beli HP bekas. Biaya pemilu bisa ditekan habis, sisanya masuk kantong bolong. Mulai anak TK/SD sudah pakai HP. PSK (pedagang sayur keliling) tak mau ketinggalan, menerima order. TKI dan atau TKW yang kita daulat sebagai Pahlawan Tanpa Devisa, berangkatnya sudah berhutang, pulangnya dipalak. Di negeri majikan tenaga terkuras. Hayo kurang apa mereka.

Bangsa ini koq tidak bisa menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka, tetapi kita malah bangga membantu kemajua bangsa lain dengan otot dan tenaga. Seolah dunia tanpa batas wilayah dan waktu. Kejadian di negara bisa kita saksikan langsung via media eletronika. Kejadian di negeri sendiri, mulai orang hilang sampai koruptor kabur tak bisa kita ketahui. Budaya asing yang menggiurkan masuk melalui berbagai tayangan dan media. Makanya, terlebih kemacetan lalulintas di negara Batavia membuktikan kita sebagai budak teknologi, mulai dari ekonomi sampai politik terjajah siang malam. Daripada memikirkan dosa saya, kata Pak Harto, lebih baik kembali ke jalan yang benar, benar-benar jalan sesuai asas tunggal yang saya unggulkan (hn).



Kamis, 20 Februari 2014

RAMALAN WAJAH POLITIK INDONESIA TAHUN 2003

Beranda » Berita » Opini
Senin, 30/12/2002 08:39

Selama "tobil anak kadal", selagi "bajul anak buaya" dan semasih "cemeng anak kucing" maka wajah politik Indonesia, skala nasional, masih didominasi oleh kerut-merut raut yang menggambarkan citra emosi labil nyaris kekanak-kanakannya 225 partai politik (parpol). Ada per yang ada, kita kupas perwajahan tersebut.

TRIDAYA
Seperti kata pepatah "tak ada rotan akar pun jadi" itulah yang sedang dipikirkan, diperjuangkan dan diperebutkan oleh parpol se Indonesia, baik parpol pemenang Pemilu 1999, parpol yang belum kebagian kursi ataupun parpol bayi kemarin sore. Belajar sambil berbuat merupakan basis praktek parpol dengan rambu-rambu pengaman adalah selamatkan diri masing-masing. Paling tidak parpol memakai ucapan Dr. Gunning yang dikutip Langeveld (1955) : "Praktek tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila, sedangkan teori praktek hanya untuk orang-orang jenius". Seperti di arena pertarungan bebas, maka aturan yang dianut adalah "tak ada aturan". Siapa nekat akan dapat, siapa lambat akan dibabat, siapa cepat akan disikat, siapa dekat akan dilaknat, siapa dapat akan diembat.

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN
Secara historis tidak ada perbedaan di antara 225 parpol. Baik secara landasan idiologis maupun operasionalnya. Dalam persamaan terdapat perbedaan yang bersifat intensitas atau kedalaman yaitu menyoal "mari Bung rebutan balung!". Semangat 1945 sudah luntur, semangat 1966 dicontohi oleh Bung Akbar Tandjung dengan status terpidananya, semangat Reformasi sudah menjadi bagian terbelakang. Semangat Orde Baru masih diwarisi secara terkendali, sistematis dan nyaris sesuai skenario politik dan keamanan.

PEMURTADAN POLITIS
Serangan fajar dalam Pemilu 2004 akan tetap menggebu, jauh tahun bagi rakyat Indonesia yang masuk kategori pramiskin akan jadi sasaran empuk pemurtadan politis. Politik uang akan dibagikan oleh Romo Sinterklas bersama si Hitam, selain iming-iming duniawi lainnya. Hunian kaum papa, lokalisasi korban bencana alam, tampungan pengungsi akan jadi incaran si Romo "Mo Romo ono maling alok maling".

TINGGAL PALAGAN
Menghadapi sesama parpol bak pejuang mengusir penjajah di zaman revolusi. Semua bereaksi dan beraksi dengan mulus karena fulus. Banyak pengusaha jadi rebutan parpol, dielus-elus untuk jadi juru bayar. Banyak orang bijak diajak mendongkrak pamor. Jauh semangkin jauh, para pemuka parpol saling unjuk muka, menjauhi palagan sebenarnya. Keuntungan tak terduga, tahun 2003 akan memperlihatkan siapa yang belang tiga, mana yang bermuka dua, pihak mana yang membakar dalam lipatan, golongan siapa yang menohok lawan politik sejenis. Yang sangat perlu diwaspadai adalah adanya pemurtadan politis. (hn).


PENDIDIKAN POLITIK = TEPUK TANGAN YANG KERAS

Beranda » Berita » Opini
Kamis, 19/08/2010 06:38
PENDIDIKAN POLITIK = TEPUK TANGAN YANG KERAS

Pendidikan politik melalui media masa layar kaca sangat manjur, mujarab, tokcer, dan ampuh. Mampu menghipnotis pemirsa dan menyihir penonton, terutama yang ditayangkan berulang dengan berbagai trik dan tips mengaduk-aduk emosi. Sajiannya dengan bahasa rakyat, walau tak mirip komedian, namun bisa menimbulkan tawa yang luar biasa. Ironis, tawa yang berbasis hati nurani tak jauh dari makna mentertawakan si pembicara.

Si pembicara (mulai dari yang mirip mantan kepala negara, politisi kambuhan atau yang numpang nampang, yang masih aktif sebabagai kader parpol yang tidak dikenal di lingkungan tempat tinggal dapilnya, sampai wong cilik mendadak tenar) - mereka tak ambil peduli apakah di acara picisan (sekedar pengisi) atau di acara andalan penyiaran TV swasta - yang penting dimeriahkan dengan dukungan tukang keplok atau sporter paduan tepuk tangan. Semakin keras aplaus tepuk tangan, berarti semakin berbobot pidatonya.

Di belakang pembicara, biasanya nampak berjajar rapi rombongan berseragam atribut para pendukungnya. Tak hanya si pembicara yang menjadi daya pikat, nuansa atau wacana tragedi yang berbau politis acap menjadi hiburan! yang sekaligus menjadi daya tarik sebagai perimbangan hidup sehari-hari. Contoh, politisi dari kumpulan wakil rakyat, dengan aliran mbambung sesat sering memamerkan statemen di running text. Padahal ada ketua, yang secara organisastoris yang berhak mengedepankan fakta dan kata. Ketua dewan redaksi TV swasta yang sering nongol untuk memblow up suatu affair menambah maraknya dunia pendidikan politik.

Ada persamaan sekaligus perbedaan mendasar antara selebritis dan politikus utawa politisi, paling tidak seperti yang ditayangkan di media masa. Sebagai contoh, aib yang menimpa keluarga seleb, semisal urusan cerai berai utawa adegan dengan pelaku mirip artis, dikemas jadi tontontan yang menarik di TV swasta, sebagai hiburan. Tak jarang satu peristiwa dikemas berbeda oleh TV swasta, tujuan cuma meningkatkan peringkat. Orang menjadi tak terharu, iba kasihan, dan empati bila derita seseorang jadi bahan lelucon, banyolan. Celakanya yang diwawancarai, dengan casting berbeda, malah jual tampang tak ada kesan menderita, malah bangga muncul di layar kaca. Penjahat yang sering muncul, pejabat yang rajin nongol, politisi yang acap tampil sampai berita bencana alam, tak ada bedanya. Sudah saatnya kita punya acara TV yang santun, beradab, bermartabat tidak terkontaminasi apapun yang terjadi, jangan aji mumpung, dengan dalih terselubung demi mendulang uang

DISKUSI, DIALIGOG, DEBAT
Memasuki era Reformasi dekade 2, kran demokrasi terbuka deras, tanpa sensor dan tanpa pesanan dari sponsor. Banyak orang merasa bisa. Puncaknya, ketika RI-2 2004-2009 merasa lebih cepat, lebih bisa daripada RI-1. Jika manusia Indonesia dimintai pendapatnya, jangankan diminta, tidak dimintapun dengan girang menyampaikan daya akalnya. Komentar, analisa, ulasan yang disampikan tidak jauh dari model ndelok (bhs Jawa, artinya kendel alok atau berani teriak). Seperti penonton sepak bola.

Kebijakan pemerintah paling banyak menjadi sasaran tembak. Penampil, pembicara atau penyaji dalam acara diskusi, dialog dan debat di TV swasta, dipandu oleh super ahli terkadang tak beda jauh dengan acara hiburan Super Family. Persamaannya, pemain lebih menonjolkan urat berfikir yang lama, mencari jawaban sambil pura-pura putar otak, pura-pura mengalami kesulitan mencari kata yang tepat, walau pertanyaan selalu diulang-ulang untuk mengulur waktu atau memberi waktu namun tetap butuh waktu untuk mencerna (apalagi mencari jawaban), jawaban spontan ada yang mengulang jawaban salah teman satu famili atau lawan main, agar kelihatan lebih cerdas pemain minta pertanyaan dibacakan. Jika jawabannya benar, girang alang kepalang atas kecerdasan ESQnya. Kalau jawabannya tak ada, kecewanya sambil menyalahkan yang disurvei.

TAK ADA YANG LEBIH JELEK
Pendidikan politik, melalui pidato, maupun acara diskusi, dialog dan debat dengan tema terkini maupun tema terlampau sudah sampai pada titik nadir. Rakyat terkadang sudah bisa menebak akhir cerita atau jalannya cerita. Secara awam dapat disimpulkan :

Pertama, banyak orang dan manusia Nusantara yang tidak buta politik merasa bisa jadi RI-1;

Kedua, tahun 2009-2014 merupakan puncak kebrutalan parpolis yang manggung di legislatif, eksekutif dan yudikatif mulai dari tingkat daerah kabupaten/kota, provinsi sampai pentas nasional;

Ketiga, tahun 2014 generasi muda harus siap alih pimpinan nasional, untuk itu generasi muda harus bebas alkoho dan NKRI bebas dari ambisi parpol;

Keempat, para pembicara selama ini menyelesaikan pembicaraannya saja susah, apalagi untuk menyelesaikan masalah;

Kelima, berhala Reformasi yang bernama 3K (kuat, kuasa, kaya) sebagai dasar dan tujuan perjuangan politik yang akan tetap marak karena sebagai platform parpol peserta pemilu dan pilpres;

Keenam, biarkan semua makhluk tampil di pentas dan panggung politik, ada yang diuntungkan bak kucing keluar dari karung sehingga rakyat pemilih tak seperti membeli gerombolan kucing satu karung;

Ketujuh, pendidikan politik untuk yang buta politik atau untuk yang melek politik; untuk rakyat yang punya hak pilih agar tak salah pilih atau untuk oknum rakyat yang merasa berhak dipilih;

Kedelapan, pembicara atau orator kendati sekaliber dedengkot parpolis, pendengar walau tak 100% propemerintah, merasa tak terwakili; serta yang terakhir atau

Kesembilan, apa tak ada yang lebih jelek lagi yang patut tampil untuk pamer bego! (HaeN).


tanah airku vs air tanahku

Beranda » Berita » Opini
Rabu, 05/12/2007 05:11
tanah airku vs air tanahku

Dari tanah kembali ke tanah, itulah manusia seutuhnya. Selama hidupnya atau selama hidup manusia di atas tanah bisa berbuat kerusakan atas tanah, air, udara yang berakibat bencana. Bencana alam adalah senjata makan tuan, bumerang hasil perilaku ummat manusia. Campur tangan manusia terhadap alam semesta memuat misi yang sangat beragam, mulai menjalankan fitrah sampai untuk kemaslahatan bersama. Bencana alam selain mengutuhkan kembali persatuan dan kesatuan, juga memperlihatkan urusan wajib dan urusan pilihan.

Siapa harus melakukan dan berbuat apa saja.
Siapa yang harus selalu siap siaga dalam menghadapi kondisi yang sulit diprediksi. Siapa yang berhak was-was dan waspada mengantisipasi berbagai kemungkinan yang serba tak mungkin.
Siapa yang harus dikambinghitamkan atau dikorbankan demi bahwa pertama, pimpinan jelas tak salah. Kedua, kalau pimpinan melakukan kesalahan sesaat, lihat diktum pertama.

Rembesan air laut atau berkurangnya daratan Jakarta menjadi polemik pantang mundur. Belum amblasnya tanah yang melebihi daya dukung dan daya tampungnya, polusi yang melampaui ambang batas wajar dan aman, kepadatan penduduk yang sudah tidak bisa ditolerir lagi. Saat jam kerja, jam sibuk, Jakarta banjir mobil, motor dan berbagai moda angkutan umum. Dalam menjalani kehidupan warga Jakarta penuh stres serta tidak bisa rileks, seolah memburu waktu yang tak akan habis ditelan zaman. Ratio kehidupan di jakarta, dibutuhkan satu orang untuk melayani dan mengawasi satu orang lainnya.

Sumur resapan atau lubang lain, untuk menampung air hujan agar tak lari ke sungai. Sisa tanah terbuka banyak yang ditutup dengan pengerasan dengan berbagai alasan, mulai dari agar tidak becek sampai praktis membersihkannya, terlebih yang tanahnya relatif tidak luas.


Perjuangan bisa dimulai dari diri sendiri, mulai dari keluarga, mulai dari rumah tangga. Andai tiap rumah bisa punya satu pohon produktif, sampah organis bisa ditimbun jadi humus. Belum efek karbonnya. Air isi ulang pun bisa bikin mencret peminumnya. Andai tiap rumah bisa memanfaatkan sinar dan tenaga matahari. Bisa memanfaatkan daya dorong dan daya hisap angin yang masih gratis. Kuburan masih lapang dan lega, karena penghuninya tak bisa protes apalagi unjuk raga. Lazim, kalau penyesalan datangnya paling belakang, setelah tak ada siapa-siapa (hn).

Rabu, 19 Februari 2014

budaya politisir vs budaya pelintir

Rabu, 10/01/2007 09:46
budaya politisir vs budaya pelintir

ketika huruf bisa menjadi kata.
ketika kata bisa menjadi kalimat.
ketika kita bisa mengatakan apa saja melalui kalimat.
ketika kita bisa mengutarakan arah mata angin sesuai koordinat.
ketika kita bisa menjabarkan provinsi yang ada di lintang bujur derajat.
ketika kita bisa mengetengahkan segala posisi kehidupan dunia akhirat.
ketika kita bisa mengesampingkan berbagai sisi persoalan hidup kaya melarat.
ketika kita bisa mengedepankan kedudukan menurut martabat.
ketika kita bisa mengatasnamakan ambisi demi rakyat.
ketika kita bisa mengatasnamakan kursi demi raih jabat.
ketika kita bisa mengatasnamakan politik demi martabat.
ketika kita sudah tidak bisa mengatakan mana kuning mana cokelat.
ketika kita sudah tidak bisa merasakan mana dingin mana hangat.
ketika kita sudah tidak bisa mendengar mana kata fakta mana kata jilat
ketika kita sudah tidak bisa membedakan mana kawan jauh mana kawan dekat.
ketika kita sudah tidak bisa memilah mana amanah mana khianat.
ketika kita sudah tidak bisa memilih mana amal mana laknat.
ketika kita sudah tidak bisa melihat mana lurus mana sesat.
ketika kita sudah tidak bisa mengakui mana nurani mana jerat.
ketika kita sudah tidak bisa melakukan mana mumpung mana taubat.
ketika kita sudah tidak bisa melaksanakan mana ringan mana berat.
ketika kita sudah tidak bisa mengerjakan mana lupa mana ingat.
ketika kita sudah tidak bisa mengingat mana sekarang mana akhirat.
ketika kita sudah tidak bisa ....................... (hn)


AJI MUMPUNG vs MUMPUNG AJI

Beranda » Berita » Opini
Rabu, 23/04/2008 04:11

AJI MUMPUNG vs MUMPUNG AJI

Fenomena golput dalam pilkada Jabar-1 dan Sumut-1 atau di provinsi, kabupaten dan atau kota lainnya, membuktikan bahwa pemilih pemula sudah mempunyai pilihan. Paling tidak acuannya banyak, walau lebih banyak lagi yang tak terlacak oleh media massa. Simpati atau antipati tergantung pada siapa jagonya dan siapa yang menjagokan.

Banyak yang merasa menang di atas kertas. Karena merasa menang pengalaman, menang jam terbang, menang lahir duluan, menang tua, menang pengaruh, menang kuasa, menang massa, menang jumlah, menang dukungan dana, menang penguasaan medan, menang taktik, menang strategi, menang berani malu, menang suara, menang tanpa tanding. Bukan kekuatan lawan yang diperhitungkan, justru kemampuan diri yang harus ditakar. Bukan memamerkan deretan jasa atau rangkaian ceritera sukses yang dipajang, justru kenalilah kelemahanmu.

Orang memulai segala sesuatu dari kekurangan dan kelemahan. Manfaatkan waktu sehatmu, sebelum datang sakit. Manfaatkan waktu mudamu, sebelum tua. Manfaatkan waktu luangmu, sebelum sempit. Manfaatkan kekayaanmu, sebelum miskin. Manfaatkan sisa nafasmu, sebelum kehabisan nafas. Manfaatkan masa lampaumu, sebelum datang masa depan. Manfaatkan masa kinimu, sebelum tertelan zaman. Manfaatkan kemenanganmu, seolah-olah kamu hidup selamanya (hn).



Perjuangan Cinta Lelaki Mencari Calon Ibu Untuk Anaknya

Perjuangan Cinta Lelaki Mencari Calon Ibu Untuk Anaknya
 oleh : Herwin Nur

Misteri Hidup
Pasangan suami isteri (pasutri) sudah sekian tahun tidak dikaruniai keturunan, ada yang pasrah merasa belum dipercaya Allah, karena anak adalah amanah, anak sebagai titipan Allah. Pasutri melihat dirinya belum layak menerima titipan dari-Nya. Banyak pasutri yang secara profesi, finansial, maupun fasilitas fisik siap dan layak mempunyai momongan.

Kalau seorang lelaki dalam kategori layak dan siap nikah, tetapi belum menemukan pasangan hidupnya, apakah Allah belum mempercayainya? Atau apakah ybs belum percaya diri dan yakin untuk memilah dan memilih siapa calon pendamping hidupnya! Ataukah karena banyak pilihan, ataukah karena faktor lain yang bersifat khusus pribadi.

Islam tidak mengenal istilah terlambat nikah, Islam bahkan tidak “merestui” faham : gagal adalah kesuksesan yang tertunda. Sebagai lelaki wajib usaha mencari jodoh, kalau perlu seperti menuntut ilmu, kemanapun dikejar. Kalau sudah jodoh hendak ke mana, dekat tidak terlihat, jauh segala upaya ditempuh.

Tidak salah kaum Adam mengacu petuah sederhana orang tua zaman doeloe : “Kalau mau jodoh yang baik, harus jadi orang yang baik”. Terdapat dua kata kunci yaitu jodoh dan orang baik.

Rumusan “jodoh” sudah diformulasikan dalam primbon Jawa berisikan perhitungan memilih calon pasangan. Berangkat dari batasan : mencari ‘bojo’(suami/istri) itu mudah, tetapi memilih ‘jodho’(jodoh) itu susah, perlu pertimbangan, perhitungan dan penalaran yang cermat. Formulasi babat, bibit, bobot, bebet acap menjadi acuan untuk memilah dan memilih calon jodoh. Jodoh wajib diminta dari-Nya, dengan doa dan ikhtiar.

Rumusan “orang baik” dalam tataran dan tatanan suku Jawa, diwarnai oleh budi pekerti. Memahami rambu-rambu “becik ketitik, olo ketoro” (yang baik maupun yang jahat pasti akan terungkap juga) sebagai rangkaian proses menuju dan menjadi orang baik. Islam menggariskan bahwa orang baik terkait dengan akhlak.

Langkah Relijius
Lelaki dengan modal ijazah SMA berani mencari kerja, berani nikah, berani menumpang hidup di rumah orang tua atau berani tinggal di pondok mertua indah. Lelaki pemberani ini bisa masuk kuadran “dengan ijazah SMA bekerja, berharap anaknya lulus SMA sudah cukup”.  Seolah hidup hanya meng-copy paste dirinya ke anaknya. Tidak ada salahnya, seperti anak tentara menjadi tentara. Masalah bangsa muncul, jika anak petani tidak meneruskan tradisi jadi petani, memilih profesi lain yang nampak lebih menjanjikan.

Menghadapi persaingan hidup, banyak lelaki melakoni perjalanan hidupnya didominasi kegiatan menimba ilmu, melatih kepekaan terhadap lingkungan, mengikuti berbagai kegiatan sosial dan organisasi, melakukan interaksi sosial untuk bekal hidup, sambil mencari lawan jenis.

Lelaki mencari rezeki sampai meninggalkan rumah, jauh dari orang tua, bahkan pindah kota. Atau cukup berkutat di sekitar lingkungan, asal makan tidak makan yang penting kumpul. Lelaki pemberani bekerja, dengan hasil untuk menghidupi dirinya sendiri saja pas-pasan apalagi membantu orang tua atau menopang ekonomi keluarga.

Perjuangan hidup lelaki dimulai ketika dia “dengan kapak mencari kayu bakar di hutan untuk dijual”, dengan modal ilmu dan nama baik, sambil melirik mencari calon pasangan hidup. Jodoh memang harus dikejar, diusahakan dengan berbagi kiat, wajib diminta kepada-Nya, sambil berikhtiar tetap di koridor ‘orang baik’. Kehidupan kerja dibarengi berbagai tantangan karena sudah mempunyai penghasilan, bisa melenakan.

Ketetapan Allah
Perjuangan cinta lelaki tak akan pernah berakhir, ketika Allah mengkabulkan perjuangannya, akan memasuki babakan selanjutnya.

Lelaki jangan lupa dengan asas ber-rumah tangga, membentuk keluarga islami, menyiapkan keturunan yang  tidak sekedar sebagai penerus silsilah, tetapi sebagai generasi masa depan dalam prespektif Islam, bahkan sebagai investasi akhirat. Perjalanan hidup dan masa depan anak diwarnai oleh akumulasi, gabungan maupun resultan dari emosi dan karakter ibu bapaknya.



-----------------






7 Penyakit Umat yang Harus Diantisipasi

7 Penyakit Umat yang Harus Diantisipasi

IslamView     Dibaca :82 kali , 0 komentar
Ditulis : Herwin Nur, 06 Desember 2013 | 13:43

Selain pengaruh eksternal terhadap pembentukan karakter umat Islam, ternyata dari tataran internal ada sifat turunan yang malah bisa menghancurkan umat secara sistematis. Sifat turunan yang masuk kategori sifat buruk disebut dengan penyakit umat.

Kondisi ini mungkin saja terjadi pada umat Islam dan masyarakat pada umumnya, karenanya Rasulullah saw memperingatkannya: “Penyakit umat-umat (lain) akan mengenai umatku, (yaitu) mengingkari nikmat, sombong, bermegah-megahan, bermusuhan dalam (perkara) dunia, saling membenci, saling mendengki hingga melampaui batas.” (HR Hakim).

Berdasarkan hadits di atas, ada tujuh penyakit umat yang harus diwaspadai oleh umat Islam. Sebagai penduduk, umat Islam menghadapi penyakit masyarakat (pekat) yang seolah tak ada obatnya. Pekat adalah kegiatan yang dilakukan oleh sebagian orang di tengah-tengah lingkungan masyarakat yang sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan kehidupan sosial masyarakat karena menimbulkan dampak negatif sehingga menjadi penyakit bagi masyarakat.

Ironisnya, kenyataannya bahwa berbagai kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan yang telah berakar dan telah lama dilakukan oleh masyarakat, telah menjadi kebiasaan masyarakat setempat atau bagian budaya lokal (misal, membuat minuman keras dari bahan baku lokal, sekaligus menenggaknya).

Kegiatan yang dikategorikan Pekat yaitu  : Perjudian; Narkoba (Narkotika, Obat Berbahaya); Minuman keras; Toto Kuda/Toto Gelap; VCD Porno; Wanita Tuna Sosial (WTS)/Pekerja Seks Komersial (PSK); Perampokan/Pencurian/Penodongan.

Artinya, setiap pemerintah kabupaten/kota mengambil langkah nyata dalam memberantas Pekat. Substansi, muatan atau hal yang diatur dalam peraturan daerah tergantung kondisi lokal.

Antisipasi Penyakit Umat
Tersurat ada 7 penyakit umat yang perlu diantispasi :

1.       Mengingkari nikmat.
Umat Islam sebagai warga negara terbanyak, ternyata tidak berdaulat secara politik, hukum, dan ekonomi sehingga hanya jadi penonton hiruk-pikuknya berbangsa dan bernegara.

2.       Sombong.
Manusawi, banyak yang merasa bisa, khususnya karena sebagai pemimpin umat merasa bisa jadi pemimpin rakyat. Sombong karena ilmu pengetahuan yang tak seimbang dengan ilmu agama. Puncak kesombongan, Allah akan mengunci mata hati manusia. Bentuk lain ketidakpedulian akan mengakibatkan seseorang tidak memandang adanya hak orang lain pada dirinya.

3.       Bermegah-megahan.
Kurang menjaga keseimbangan hidup, terbuai sukses dunia, menggunakan ‘aji mumpung’. Padahal selagi mendapat amanah, atau sedang di puncak kejayaan adalah waktu untuk berbuat banyak buat umat.

4.       Bermusuhan dalam (perkara) dunia.
Menghadapi musuh yang sama, yaitu kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan, atau saat menanggulangi dampak bencana alam, umat Islam tidak bisa saling bersinergi. Terlebih saat berjuang mencapai tujuan yang sama, yang ada adalah semangat persaingan.

5.       Saling membenci.
Beda warna politik, seolah menjadi seteru, menjadi pesaing yang harus dilibas. Bahkan dalam satu barisan pun, sah-sah saja untuk saling menjegal.  Baku kata di acara TVswasta pun malah menjadi adegan komersial.

6.       Saling mendengki.
Penyakit yang timbul dari diri sendiri dan akan menggerogoti dirinya sendiri. Tabungan pahala pun  akan terkikis habis. Ukhuwah menjadi berantakan tanpa bekas.

7.       Melampaui batas.
Umat Islam, demikian menurut Buya Hamka, adalah umat yang menempuh jalan tengah, menerima hidup dalam keadaannya. Percaya kepada akhirat, lalu beramal di dalam dunia ini. Mencari kekayaan untuk membela keadilan, mementingkan kesehatan ruhani dan jasmani karena kesehatan yang lain bertalian dengan yang lain. Mementingkan kecerdasan pikiran, tapi dengan menguatkan ibadah untuk menghaluskan perasaan.

Jangan lupa ada penyakit yang mungkin sedang kita rasakan. Mengacu : seorang sahabat bertanya: ‘Ya Rasulallah, apa penyakit al wahan itu?.’ Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: “Al Wahan adalah penyakit cinta dunia dan takut mati“.  (HR Abu Dawud, Ahmad, dan lainnya) (Herwin Nur/Wasathon.com)