Senin, 16/12/2002 11:40
DEWAN PERWAKILAN DAERAH vs ......
KATA ANTAR
Salah tiga (bukan
salah satu) rekayasa cerdas ditambah sepertiga kandungan lokal elegan yang bisa
digulirkan oleh ordo MPR, dengan si komandan Bung Amien Rais, dalam
mengamandemen UUD 1945 adalah melahirkan BAB VIIA. Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
dengan uraian seperti yang tercantum dalam Pasal 22C, 22D, dan pasal lainnya.
DPD sebagai pengganti utusan dari daerah dan golongan. DPD dimanfaatkan secara
nyata sejalan dengan Pemilu 2004. Entah siapa yang dimenangkan atau
disenangkan. Kehadiran DPD bersama DPR (asal jangan menjadi dewan kembar)
menjadi komponen MPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui Pemilu, bersama
dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Keberadaan DPR
dan DPD, seperti kata sambutan Ketua MPR pada acara sosialisasi UUD 1945, 26
November 2002, yaitu diharapkan mampu meningkatkan pemenuhan aspirasi dan
kepentingan rakyat pada tingkat suprastruktur, serta pengawasan yang obyektif
dan kritis terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan. Kiat menghadirkan
DPD antara lain merupakan salah satu jawaban cerdas bangsa kita terhadap isu
otonomi daerah, serta untuk melengkapi keberadaan DPR yakni sebagai lembaga
perwakilan yang menekankan kepada aspirasi dan kepentingan daerah.
OTONOMI
"PEMERINTAH DAERAH"
Mengintip pelaksanaan
otonomi daerah di beberapa Kabupaten dan atau Kota, berdasarkan laporan
intelejen klas lokal/partikeliran yang mengandalkan berita slentingan dari
warung ke warung, menuju kesimpulan bahwa hasilnya lebih mengarah kepada
perwujudan Otonomi Pemerintah Daerah. Daerah selain suatu sebagai sistem tata
ruang dan bangunan gedung juga merupakan kumpulan orang-orang yang memerintah
dan yang diperintah. Barisan orang-orang yang memerintah membentuk jaringan
birokrasi yang kental dengan persaingan bebas. Tak salah kalau disebut penguasa
Kabupaten / Kota adalah raja-raja kecil yang berkibar di kerajaannya.
Perekatnya adalah persamaan hak dan kesempatan dalam hal beridiologi, senasib
dan sepenanggungan dalam mengejar cita-cita yang harus melalui mekanisme politisasi.
Bak Golkar sebelum jadi partai, yaitu sebagai penyalur tunggal aspirasi
masyarakat. Semua saluran "resmi" untuk unjuk diri telah buntu dan
mampet. Prestasi seseorang dalam pemerintah daerah sangat ditentukan oleh kadar
dan status pengkaderannya dalam sebuah partai politik (parpol). Ketergantungan
pada parpol sudah sedemikian akut, dimulai dari proses pencalonan dan
percaloan; tata tertib selama dalam jalur; memahami dan mengamalkan prosedur
kebijakan mempertahankan posisi dan jabatan; sampai memproduk jasa timbal balik
dengan memanfaatkan berbagai tujuan fasilitas secara tak tertulis. Alibi
politis bukan hal yang tabu, untuk menyalahkan keadaan khususnya mengalahkan
kebenaran maupun melegitimasi kondisi perkrisisan yang seolah tak berkesudahan.
Dengan dalih untuk kepentingan politik maka banyak cara yang semula
nganeh-nganehi bisa menjadi masuk akal.
Seperti pariwara ala
pembodohan publik bahwa hanya orang berakallah yang menggunakan cara-cara aneh,
yang penting hasilnya Bung! 30 provinsi, dengan catatan bahwa provinsi adalah
interkabupaten / interkota, maka akan semangkin susah ditebak dan sulit dilacak
- seberapa banyak / besar kandungan muatan lokal DPD yang betul-betul berbasis
dan fungsi rakyat. Kekentalan warna parpol masih akan dominan dan inilah yang
memang diharapkan. Seseorang tokoh bisa jadi menjadi anggota DPD asal warna
politiknya tidak samar-samar, apalagi belang tiga. Itulah yang tersirat dan
tersurat dalam BAB VIIB, Pasal 22E, ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945.
Kesimpulannya, isu Otonomi Daerah telah menjelma menjadi Otonomi
"Pemerintah Daerah".
BOM WAKTU DAN RANJAU
DARAT
Para pelaku tindak
kriminal, menurut versi layar putih mancanegara, jika mendapat order yang
dirasa mudah waktu dilaksanakan, mereka akan curiga bin duga. Jangan-jangan ini
hanya jebakan, atau untuk mengalihkan perhatian dari operasi sebenarnya, bisa
pula mereka dikorbankan untuk dapat tertangkap basah, alternatif lain mereka
merasa dijadikan umpan hidup, tak urung ada skenario dan rencana berlapis, juga
kemungkinan adanya konspirasi politik kambuhan. Kecurigaan mereka memang masuk
nalar, berdasarkan gabungan insting naluri yang seolah memposisikan diri dan
berfikir sebagai aktor intelektual, sebagai mantan napi, sebagai hamba hukum,
sebagai politikus, sebagai konglomerat, sebagai aparat keamanan, sebagai
pejabat negara, sebagai walikota, sebagai anggota parlemen, sebagai senator,
sebagai pengacara - dan masih banyak kemungkinan sebagai-sebagainya. Secara
analogis dengan asas pembuktian terbalik kita pun dengan cepat bisa tanggap
atas kemudahan polisi dalam mengungkap tragedi wabah bom.
Kita sebagai reformis
yang sekaligus Pancasilais, tak boleh semena-mena pasang curiga tanpa asas
praduga, khususnya dalam menyimak beruntutnya kemudahan untuk membangunkan /
membangkitkan / menghidupkan parpol dan tidak mudahnya suatu parpol ikut Pemilu
2004. Semua ini sudah diantisipasi dan diimbangi dengan keberadaan DPD (sekedar
menjawab pihak mana yang dimenangkan atau siapa saja yang akan disenangkan,
termasuk siapa yang akan liwat dalam kenangan sehingga bisa istirahat dengan
tenang, siapa sesungguhnya yang berwenang).
SELINGAN, FAKTA
"POLITIKA"
Bahkan Republika pun,
sebagai koran pada Sabtu 14 Desember 2002 mewartakan tentang DPD dalam paparan
berita "Gedung DPD Selesai Awal 2004", selengkapnya : Sekretaris
Jenderal (Sekjen) MPR, Rahimullah, SH, membantah pendapat bahwa pembangunan
gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dilakukan secara diam-diam. Menurutnya,
pembangunan gedung yang menelan dana Rp 64 miliar tersebut telah direncanakan
sejak tahun anggaran 2001 lalu. "Kalau Pak Amien (Ketua MPR Amien Rais)
tidak tahu ada pembangunan ini, mungkin karena beliau sibuk," ujarnya di
gedung DPR/MPR, Jakarta, Jumat (13/12). Seperti diberitakan sebelumnya, Ketua
MPR Amien Rais, mengaku tidak mengetahui adanya rencana pembangunan DPD yang
terletak di kompleks DPR/MPR itu. "Saya kaget, apalagi tidak ada laporan
dari Sekjen MPR," katanya (Republika, 5/12). Amien juga mengaku heran
karena gedung tersebut sudah dibangun dengan dana APBN tahun 2002, padahal keberadaan
DPD sendiri baru diputuskan Agustus lalu. Lokasi pembangunan gedung DPD
tersebut, terletak di sebuah lapangan kosong di samping Gedung Nusantara V
DPR/MPR. Menurut Rahimullah, gedung tersebut akan menempati tanah seluas 42x56
meter. Di atas tanah itu, kelak akan bediri gedung bertingkat 12. "Gedung
ini akan selesai pada awal tahun 2004, sehingga MPR yang ada sekarang ini masih
tetap bisa ngantor di gedung baru itu," katanya. Bukan hal yang aneh jika
di balik berita ini terkandung berbagai ragam keanehan, namanya saja sudah
"Politika", tidak ada yang aneh. Yang aneh dan memang sangat aneh
justru oknum pembaca yang menganggap aneh berita ini.
KONFLIK, KARMA DAN
KUWALAT POLITIK
Akurasi politis bahwa
sosok Orde Lama (Orla) sebagai masa lampau dan sekaligus sebagai musuh
bebuyutan, harus disikat musnah sampai ke akar-akarnya (kalau perlu sampai ke
cindil abangnya). Itulah kiat Orde Baru (Orba) dalam membius bangsa dan rakyat
Indonesia, dari Repelita ke Repelita, dari Pemilu ke Pemilu. Tak terasa sejarah
berulang, dengan waktu, kedalaman dan intensitas yang berbeda. Menjadi
petualang, biang kerok, pecundang pun sangat susah, apalagi menjadi panutan
bangsa - selain dinobatkan menjadi Bapak Pembangunan - itu yang terjadi dan
ciri di zaman Orba.
Asumsi politis dalam
menilai plus minus era Reformasi, minimal dengan fakta telah ada Pemilu 1999
dan dua presiden yang tidak "meneruskan / menghabiskan masa
jabatannya" sebagai bukti awal bahwa kandungan Reformasi tidak lebih baik
atau kalah buruk di banding Orla + Orba. Anekdot politis, jika Orla (identik
dengan Ir. Soekarno) dan Orba (identik dengan Jenderal Besar HM Soeharto)
merupakan pasangan ganda terkuat, dilanjutkan pasangan ganda bongkar pasang BJ
Habibie dengan Gus Dur, maka seolah kita menunggu duet Mega (sebagai pasangan
ganda ataupun pasangan campuran). Kesimpulannya, penerus ataupun pengganti Mega
akan "bernasib sama" dengan Mega, khususnya dalam hal peringkat dan
popularitasnya. Baru setelah itu kita akan mempunyai pemimpin nasional. Amin
3x.
KATA SIMPUL
"Ndeder koq
ndeder kere." Demikian secuplik bahan lawakan versi dagelan Jawa, atau
guyonan antar orangtua menyoal nasib anaknya, maksudnya jangan sampai
"Menyemai koq menyemai pengemis." Jangan sampai mendidik anak untuk
jadi pengemis. Kendati sekarang pun masih ada orangtua yang mengajak anak
balitanya untuk mengemis atau yang seusia anak sekolah dibiarkan mandiri jadi
pengamen jalanan, dalam bis kota atau jadi pemulung. Dalam kondisi ekonomi yang
semakin rentan maupun adanya rentang kasta konglomerat versus rakyat melarat
yang semakin melebar orang tak banyak pilihan. Menyiapkan anak, dari segi
ekonomi, memang harus siap pakai, siap menghadapi persaingan bebas, siap dan
layak jual, tahan banting dan ulet, bisa berkerja sama dan membuat jejaring
kerja, serta siap gagal.
Dari segi politik,
manfaat reformasi adalah adanya nuansa melek politik, orang sudah tidak buta
politik lagi. Rakyat Indonesia sudah jenuh dibodohi atau ditipu melek-melek
tentang kepartaipolitikan. Sudah tidak ada kekuatan dan cara jitu untuk
meninabobokkan kesadaran berpolitik, berbangsa dan bernegara. Politik bukan
sebagai momok yang selama ini menghantui hati nurani rakyat, yang meracuni
sendi-sendi kehidupan serta yang meretakkan asas persatuan dan kesatuan.
Ternyata yang belum bisa direformasi di bidang politik, atau malah
menjadi-jadi, yaitu politik sebagai alat untuk berkuasa atau alat penguasa agar
langgeng berkuasa. Korea Utara yang merupakan negara komunis masih menghidupkan
penciptaan kader-kader partai. Secara paralel penciptaan kader partai merupakan
penyiapan kader bangsa. Dogma bahwa politik adalah penglima memang jiwanya
komunis, termasuk tujuan menghalalkan segala cara. Menciptakan angkatan ke
lima, setelah ABRI, dengan mempersenjatai kaum buruh merupakan kiat PKI di
zaman Orla - disamping menciptakan kader politik di lingkungan pemuda, pelajar,
sarjana, seniman, buruh, petani, nelayan, wanita, mahasiswa serta berbagai
komponen bangsa. Sejarah selalu berulang, retorika kehidupan menggelinding
bebas. Muncul jargon dan atribut politik. Parpol berbagai warna dan lambang,
mencari lawan tanding atau seolah tanpa lawan, memporakperandakan kehidupan
berbangsa, bernegara dan beragama.
Dosa politik masa
lampau menjadi terkubur. Dosa bawaan, dosa turunan, dosa kiriman dan bakat dosa
para politikus menjadi tak terukur. Masa depan bangsa sudah dikapling untuk
kepentingan partai politik. Kebijakan internal partai menjadi lagu wajib bagi
para kader partai, khususnya yang telah berkesempatan menikmati kursi
eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Rakyat tetap menjadi obyek, bukan
subyek. Rakyat dibutuhkan hanya pada saat perolehan suara dalam pemilu, setelah
itu suara rakyat nyaris tak terdengar. Suara wakil rakyat tak lebih bagaikan
riak-riak gelombang, menandakan bahwa laut tak dalam, bagaimana dan apalagi
wakil daerah yang bak jago kandang!!! Dalam riak gelombang Otonomi
"Pemerintah Daerah" yang demikian bak batu karangnya dalam
melaksanakan aspirasi dan kepentingan daerah. (hn)