KORUPSI MERUSAK SATU GENERASI
Secara sadar, manusiawi
dan kodrati kita melakukan korupsi dari strata dan kadar yang paling sederhana.
Kita bisa bangun jelang subuh, karena memperpanjang kenikmatan mimpi, nyenyak
diperpanjang sampai matahari berkibar. Alasannya tidur cukup larut malam, habis
lembur utawa memanfaatkan waktu sisa jelang tengah malam sebagai pemirsa setia.
Jaga kesehatan dengan tidur panjang agar kerja tetap bugar. Setan mengencingi
telinga kita, tak terasa, setan selalu menang. Saat itu kita tidak merasa rugi
waktu, merasa tidak merugikan siapa pun. Korupsi waktu dilakukan sepanjang
waktu, nyaris rutin dan menerus akhirnya kita tak bisa membedakan mana rekayasa
jiwa (niat tidur tapi tanpa niat bangun pagi) mana murni kecelakaan (tidur
bebas dari hukum agama). Korupsi waktu menjadi budaya, terlebih tanpa sanksi.
Korupsi waktu mengilhami
atau menggerakan motivasi untuk korupsi lainnya. Memang tidak ada niat atau
indikasi berbuat tipikor. Akumulasi hidup terasa mudah, kontrol diri sebatas
niat awal (walau Allah menilai perbuatan manusia atas dasar niat) tanpa
meyakini ada yang “melihat”. Sedikit
demi sedikit, akhirnya budaya korupsi terasa menggigit. Semakin digigit semakin
renyah dan gurih rasanya.
Model korupsi di NKRI
sangat bervariasi dan beragam. Mulai skala lokal, skala regional sampai skala
nasional. Mulai dari figuran sampai sutradara di belakang jeruji besi.
Perlakuan hukum atas koruptor, manipulator klas paus yang masuk kategori
terpidana dikatakan malah memuliakannya. Beda dengan tindak kriminal lainnya
yang karena setoran utawa upetinya tidak layak, tidak sesuai dengan standar
jual beli perkara, tidak ada lampirannya langsung diproses, tidak perlu
penyelidikan dan penyidikan yang bertele-tele.
Dimana ada kesempatan dalam kesempitan, koruptor akan
beraksi, secara perorangan maupun berdasarkan asas mufakat. Birokrasi memang
sarang yang mengandung dan mengundang nafsu korupsi. Semula mungkin tak ada
niat berkorupsi, akan tetapi atas desakan keadaan, tekanan politik, permintaan
penggemar, dorongan nafsu, bisikan kawan separtai, sekedar iseng, situsai dan
kondisi yang mendukung, dalam lingkungan yang sudah terkontaminasi secara
sistematis, coba-coba, akhirnya korupsi jadi budaya. Mungkinkah tatanan negara dan
tataran politik NKRI rawan tipikor? Mata rantai tipikor sudah mengakar dan
menggurita sampai pelosok nusantara, dilaksanakan secara seksama dalam tempo
menerus oleh birokrat, aparat kepolisian, jajaran penegak hukum, pebisnis di
dunia militer, parlemen, rekanan, sampai para pemangku kepentingan dari
berbagai unsur dan anasir. Tiap tahun rating atau peringkat sebagai negara yang
melahirkan koruptor, semangkin meningkat. Diimbangi tarif BBM dan UMR termasuk
kategori murah utawa rendah, untuk skala ASEAN sekalipun. Apa kata dunia.
Beda parpol, korupsi tetap nongol. Beda fraksi, komisi,
faksi tetap korupsi. Ironis, dalam satu keluarga bisa menikmati hasil korupsi
bak makan durian runtuh. Dalam satu lingkungan unit kerja utawa unit usaha,
korupsi sudah jadi mata pencaharian utama. Tak terasa, tipikor telah memasuki
babakan megamafia. Aliran idiologi yang hanya mementingkan kepentingan
parpolnya menyuburkan sumber dan aliran dana dari berbagai pihak.
Generasi muda yang sedang menuntut ilmu di perguruan
tinggi, di satu sisi sebagai ahli demo, di sisi yang lain diributkan dengan
status atau sistem pendidikan. Usai wisuda, berhadapan dengan kesulitan untuk
cari pekerjaan.
Hidup tidak bisa dipersamakan dengan persamaan matematis.
Jika melihat keberhasilan, prestasi seorang mahasiswa, bisa dihitung mundur
langkah apa saja yang telah ditempuh; pendekatan apa saja yang sudah
diterapkan; kiat, ikhtiar, upaya, upaya apa saja yang pernah dipraktekkan.
Angka hoki apa saja yang harus dipunyai, rumus ajaib apa saja yang harus
dimiliki, jurus jitu apa saja yang harus dikuasai sampai kemungkinan adanya
formula keberuntungan. Bisa juga nama membawa berkah.
Cukup banyak mahasiswa yang mati-matian, jungkir balik,
banting tulang dalam merencanakan serta mengerahkan berbagai ikhtiar untuk
meraih prestasi (diukur dengan nilai akademis). Berbagai kegiatan dan aktivitas
dilakukan dengan sepenuh hati karena diyakini sebagai jembatan untuk menggapai
dan mewujudkan prestasi juga. Sebanyak itu pula yang telah mempertaruhkan
waktu, tenaga dan pikiran dalam mengukir prestasi, namun prestasi malah
menjauh, alias hasilnya nihil. Bukan prestasi yang diraih, malah frustasi.
Mungkin, karena terjebak dan tidak bisa membedakan mana fantasi, mana sensasi,
mana prestasi.
Sebaliknya, justru tak jarang, mahasiswa dalam ngalakoni
hidupnya kelihatan santai, alami, apa adanya, cuek bebek malah bisa menumpuk
sukses. Seolah sukses bukan sebagai fungsi usaha. Tipe ini bukanlah mahasiswa
yang tak tanggap, tak peduli, tak peka, atau acuh terhadap lingkungannya. Bukan
pula nasib baik yang menjawab. Bisa juga karena garis tangannya tidak ruwet,
lurus-lurus saja. Pengaruh lingkungan (khususnya dari keluarga), gaya hidup,
asupan gizi, pergaulan, bakat serta banyak faktor lainnya yang
mempengaruhi/menentukan suksesi mahasiswa. Tekad, ketekunan, keuletan,
ketabahan jauh dari popularitas yang membuahkan prestasi. Tak sengaja malah
melejitkan nama.
Kewajiban
mahasiswa bukan menebak posisi dari anomali atau penyimpangan tersebut yang
akan mempengaruhi pola pikirnya. Karena
niat untuk berubah, ikhtiar yang dilakukan secara tekun dan menerus, do’a yang
dimohonkan kepada-Nya, harapan mendapat ridho-Nya, dilandasi dengan tawakal
yang akan menentukan keberhasilan. Walau secara formal disebutkan bahwa
“mahasiswa yang berprestasi” adalah setiap mahasiswa yang telah menghasilkan
dan memberikan sesuatu yang berdaya guna serta berhasil guna bagi masyarakat,
bangsa, dan negara. Secara mendasar mahasiswa harus berguna dan bermanfaat bagi
dirinya sendiri.
Medical check-up, uji kelayakan dan
kepatutan, tes DNA, bagi tersangka tipikor agar mereka layak diadili (tidak
mendadak lupa, tiba-tiba sakit, hiba merasa renta, sedang akting bohong), layak
dipidana penjara (sehat jasmani rohani, manusiawi). [ herwin nur ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar