Halaman

Kamis, 29 Januari 2015

3A Televisi Simbol Dekadensi Bangsa

Humaniora     Dibaca :216 kali , 0 komentar


3A Televisi Simbol Dekadensi Bangsa

 Ditulis : Herwin Nur 31 Januari 2014

Konsekuensi sebagai negara hukum, masyarakat secara proaktif diharapkan minimal mengetahui adanya berbagai produk hukum. Masyarakat diposisikan sebagai subyek hukum, bukan obyek hukum. Dalam prakteknya, malah penguasa maupun pengusaha yang rabun hukum atau seolah-olah merasa kebal hukum. 
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menegur acara di media TV swasta yang bersifat kampanye hitam dan pencitraan diri over dosis jelang pemilu 2014. Pemilik media TV sekaligus oknum ketua umum partai politik peserta pemilu 2014 dengan enteng berkilah, bahwa dia menjunjung tinggi kebebasan pers yang diatur UU. 
Terbukti, syahwat politik bisa membutakan hati nurani terhadap hukum. Pasal 1, butir 13, Undang-Undang 32/2002 tentang “PENYIARAN” menyuratkan :
“Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran.” 
KPI dibentuk untuk menampung aspirasi masyarakat dan mewakili kepentingan publik akan penyiaran serta memberdayakan masyarakat dalam melakukan kontrol sosial dan berpartisipasi dalam memajukan penyiaran nasional. 
Padahal, sebelumnya, pasal 1, butir 4 menyuratkan :
Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan. 
Ironisnya, oknum penguasa/pengusaha media TV  tadi tidak memahami makna ‘kemerdekaan pers’ yang diriwayatkan dalam UU 40/2009 tentang “PERS”, termasuk tidak hafal Kode Etik Jurnalistik. Bahkan sang oknum mengatakan KPI sebagai produk depertemen penerangan. 
Kenyataan nyata di era Reformasi, kemerdekaan pers ditandai dengan dominasi lembaga penyiaran swasta,  media hanya dimiliki individu yang mempunyai segudang niat. Mereka menggunakan frekuensi publik yang sangat terbatas keberadaannya untuk kepentingan pribadi.
Di sisi lain, syarat kehidupan penyiaran televisi yang demokratis mengacu pada keberagaman kepemilikan (diversity of ownership) dan keberagaman isi (diversity of content). Agar dua syarat ini terpenuhi, diperlukan lembaga penyeimbang dan kontrol sosial dari pemirsa atau masyarakat pada umumnya. 
Ironisnya banyak Acara, Adegan dan Atraksi (3A) yang menjadi andalan penyiaran televisi di Indonesia sebagai ‘program yang teratur dan berkesinambungan’ karena menjabarkan kepentingan pemilik, sesuai arahan dan pesan sponsor, serta layak mempertahankan dan meningkatkan peringkat. Soal tidak masuk kategori mendidik dan menghibur, lain pasal.

Bencana Informasi
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, menyebabkan pemirsa bisa melihat siaran langsung di TKP (tempat kejadian perkara). Masalahnya, bumbu penyedap untuk memoles berita, menjadikan berita lebih hebat daripada peristiwanya sendiri. Komentartor merasa ahli tentang bencana alam, kebakaran, penggerebegan sarang teroris, buruh/pekerja unjuk raga dan unjuk rasa, tawuran antar kampung, walhasil menjadikan penonton alergi dan antipati. 
Pakar karbitan, ahli ucap dan cuap, korban kasus direkrut pemilik media TV untuk tampil bareng di acara diskusi, dialog dan debat dengan tema mengkritisi kebijakan pemerintah. Acara sejenis menjadi standar penyiaran televisi swasta, yang menganggap pemirsa dapat dibodohi. Pembawa acara merasa dirinya pemikir dan pandai. 
Kategori hiburan yang dikemas dalam berbagai ADEGAN dan ATRAKSI, semakin menyuburkan budaya instan generasi muda yang modal minimal, ingin hasil yang optimal. Berani tampil norak asal dapat sorak. Ikut berbagai lomba pencari bakat agar nama terangkat, menjadi pesohor biarpun tampilan tekor. 
3A nyaris sebagai lambang dekadensi moral bangsa, menjadi ajang lokalisasi penggerusan budaya masa depan bangsa dan negara. 3A hanya diharapkan kandungan komersialnya, mempunyai nilai ekonomis bagi penguasa/pengusaha media TV swasta. (Herwin Nur/Wasathon.com).

Sabtu, 24 Januari 2015

USAHA PEMERINTAH vs PERINTAH PENGUSAHA utawa PEMERINTAH PENGUSAHA

Beranda » Berita » Opini
Rabu, 03/12/2008 01:49

USAHA PEMERINTAH vs PERINTAH PENGUSAHA utawa PEMERINTAH PENGUSAHA

Kendati bangsa ini diruwat, mulai dari tingkat pejabat sampai sosok rakyat melarat, agaknya berbagai petilan Bharata Yudha mulai dari tingkat lokal sampai nasional tak akan surut. Dalih ajang pesta demokrasi lima tahunan, merupakan konflik potensial. Siapa melawan siapa, karena beda idiologi. Antar generasi bisa saling rebutan kursi. Yang tua karena tak pernah dewasa, tak mau disaingi apalagi disalip oleh generasi penerus. Enak duduk tentu lupa berdiri, takut diserobot penumpang lain.

Walhasil, tabungan nasional untuk generasi mendatang, sudah diambil uang muka atau bahkan modalnya oleh generasi sekarang, generasi tua. Generasi penerus tinggal menikmati sisa, ampas, bahkan sederetan hutang plus bunganya utawa tinggal kebagian cuci piring.

Ada pejabat yang menandaskan walau fenomena golput 2009 dan sengketa pilkada tak akan memecah persatuan NKRI. Ujar ini ada benarnya, tetapi kalau ditelusuri, diselidiki siapa aktor di balik batu sudah ketahuan mana emas asli mana emas imitasi. Modus operandinya dengan menguasai media massa. Dengan menguasai media massa dijamin akan menguasai masyarakat, seolah dunia dalam genggaman.

Ada berapa banyak hal yang seharusnya bersifat pribadi menjadi rahasia umum. Bayangkan, orang mancing hanya dapat ikan setelapak, setelah diproses melalui pemberitaan yang atraktif seolah ybs menangkap ikan sedada. Sebaliknya, ada yang seharusnya diketahui khalayak agar dapat belajar banyak malah dipetieskan. Adat bilang tabu, tata krama sebagai wong Timur bilang tak sopan, tak layak karena keinginan pemirsa, kehendak penonton malah menjadi tayangan dan hiburan favorit. Dukungan sponsor, acara untuk orang dewasa bisa dikemas, ditata menjadi acara untuk semua umur dan mendongkrak peringkat.

Atau pengusaha ikan teri, tauge, telur cecak, dengan omzet serta mampu merambah ke kecamatan akan jadi pengusaha bukan klas teri. Pengusaha sukses dan sejenisnya pada gilirannya akan mendominasi dan memonopoli perekonomian bangsa. Harga pasar bisa aman dan terkendali dibawah otoritas pengusaha maupun peusaha alias manusia yang berusaha. Ingat, Belanda pertama kali menapak di NKRI sebagai pedagang! VOC Atau karena kebal hukum.

Mereka yang sedang kuasa atau mengemban hukum malah memperjualbelikan pasal hukum. Hukum menjadi ladang rupiah. Hukum buatan manusia malah menjebak utawa bisa menjadi bumerang makan tuan. Jangan salahkan kalau semisal usah mencari Polisi yang ramah warga, atau semacam angkatan lainnya.

Atau karena punya kekayaan apa pun bisa dibeli atau ditukar dan ditakar dengan Rp. Bahkan nyawa nyaris tak ada harganya. Salah tembak, salah tangkap, salah prosedur administrasi atau bentrok antar kepentingan bisa merenggut nyawa dengan percuma bin sia-sia.

Atau karena pemicu dan pemacu konflik termasuk kategori teroris, dengan bom rakitan atau upaya makar bisa mengarah ke kerugian Negara di mata apa kata dunia.

Atau karena beriringan dengan sejarah NKRI upaya menyempalkan diri atau gerakan separatis menjadi konflik horizontal tanpa akhir ceritera. Bukannya pernah menjadi proyek perang, kalau tidak bagaimana militer dapat bintang jasa.

Atau kita jangan lupa, Betara Kalla dengan ekses ruwatan memang ada dalam babad Jawa. Jangan pula lupa kalau Dasamuka bisa hadir di antara kita. Dalam bentuk yang lebih sederhan, yaitu bermuka dua, alias Dwimuka.


Atau memang jelang pilpres banyak orang turun gunung, banyak wajah bermuka baru muncul dari dalam tanah, banyak tokoh yang semula kabur kanginan merasa layak hinggap di istana, banyak orang mengira dengan pengalaman mendirikan partai politik berarti layak mengelola Negara, banyak

Jumat, 23 Januari 2015

Keropos Dari Dalam

Keropos Dari Dalam

 Apa pun kejadian di periode 2014-2019, akibat dari politik balas jasa, balas budi vs politik balas dendam. Banyak pihak merasa berjasa menjadikan Jokowi-JK sebagai RI-1 dan RI-2 dengan prinsip no free lunch. Di media televisi, muncul manusia tanpa malu bergaya bak strata RI-1,5 (atau bahkan ada yang mematut diri jadi RI-0,5) mengumbar kata, fatwa bak orator ulung. Atau bandar politik menjadi dalang mengandalkan dinasti, silsilah dan trah, tinggal main tunjuk, tinggal terima bonus politik. Kurir politik pasang badan sebagai tandai kesetiaan, loyalitas total.

Legislatif, eksekutif dan yudikatif sebagai ajang rebut kursi, menjadi wahana adu kuat, menjelma menjadi palagan antar kepentingan. Panggung politik, industri politik berbasis utamakan keselamatan diri sendiri. argo politik, asumsi politis, kaca mata politik, kalkulasi politis menjadikan politik sebagai panglima. 3K (Kuas, Kuat, dan Kaya) menjadi berhala resmi. Ada DPR tandingan, ada . . . sampai jabatan karir di kementerian/lembaga yang dilelang serta jabatan struktural dipangkas agar mudah dikendalikan aliran Rp-nya.

Evaluasi tiga bulan atau 100 hari Jokowi-JK, tetap nyaring bunyinya, cuma denting dan dentangnya membuktikan keropos dari dalam. Nada suara sudah tidak harmonis. Banyak yang membuka kedoknya, topengnya. Banyak yang mempertontonkan watak aslinya, tidak perlu pura-pura. Bagaimana di tingkat provinsi, kabupaten/kota? Akan terjadi replikasi atau peniruan. Karena mencontoh yang di atas [HaeN].

Kamis, 22 Januari 2015

ANTARA PEMIMPIN DAN PEMIMPI

Beranda » Berita » Opini
Selasa, 21/02/2006 01:37

ANTARA PEMIMPIN DAN PEMIMPI

Acap kita lupa, kita sedang berada dimana.
Sering kita alpa, kita sedang melakukan apa.
Selalu kita lalai, kita habis memikirkan apa.

Begitu kita ketinggalan kursi, habis kebakaran jenggot, habis manis tetangga dibuang

Dicari, wakil wakilrakyat

Beranda » Berita » Opini
Kamis, 27/03/2008 10:43

dicari, wakil rakyat


gonjang-ganjing para wakil rakyat yang nongkrong di DPR kabupaten, kota, provinsi terlebih di tingkat nasional tak lebih dari bagaimana mereka melaksanakan haknya.

mulai hak sebagai anggota dewan, sebagai wakil partai politik, hak kekebalan hukum, hak kekebalan diplomatik, hak nonbujeter, hak pensiun, hak jaminan pasca, sampai hak DPR yang tak bisa disebutkan satu-persatu.

tak heran, antar mereka, antar angota, antar fraksi bisa bisa-bisa sebagai bahan tontonan di layar kaca atau media cetak.

di sini berlaku pepatah karena nila setitik rusak susu sebelanga.

tepatnya, karena nila sebelangga susu setitik tak ada artinya.

banyaknya peraturan perundangan yang digoalkan merupakan kinerja dan prestasi dewan.

bagaimana dengan pelaksanaan kewajiban, baik tertulis maupun tak tertera, apa tolok ukur kinerjanya.

kalau rakyat jelang sekarat, penduduk hobi batuk, warga ditimpa harga, masyarakat semakin nekat, yang dipersalahkan malah kepala negara.

jadi, apa guna wakil rakyat yang nangkring sambil makan nasi aking, menunggu kursi dibanting (hn).


pilkada / pilkara vs simalakama

Beranda » Berita » Opini
Senin, 30/07/2007 12:14

pilkada / pilkara vs simalakama

memang, kata orang hikmah pasca lengser keprabon Bapak Pembangunan H.M. Soeharto, Jenderal Besar Bintang Lima, adalah angin segar dan darah segar bagi kehidupan berpolitik di Nusantara.

di jalanan, yang merasa biasa kongkow-kongkow untuk menjaring pengaruh, massa, pekerjaan, akhirnya merasa bisa untuk mengkelompokkan diri.

artinya, dengan dukungan legalitas dan peningkatan status, kelompok jalanan yang berbasis sependeritaan, senasib melebarkan sayapnya.

terlebih bagi mereka yang punya modal jas, dasi maupun baju safari akan mematut diri di depan cermin.

ditambah yang mengantongi ijazah, sertifikat, surat tanda tamat belajar termasuk persyaratan administrasi lainnya (bebas narkoba, tidak terlibat orba, anggota golkar turun-temurun, semua yang ada) merasa berhak untuk menjadi pemimpin.

singkat cerita, kawanan politikus / politisi menduduki kursi legisllatif, eksekutif, dan atau yudikatif.

ada yang jalur lambat (dikenal dengan karir), kebanyakan jalur cepat atau jalan pintas.

akhir cerita, platform parpol bisa seolah memihak rakyat atau merakyat.

parpol besar utawa langganan pemenang pemilu / pilpres bak garang garing (ma


BUDIPEKERTI versi 3K

BUDIPEKERTI versi 3K

herwin nur, on 4 September 2006 at 6:39 am said:

Pergantian zaman menyebabkan perubahan di pola pikir, pola ucap dan pola tindak. Puncaknya, ketika terjadi akumulasi krisis kepercayaan nasional, tak ada panutan, tak ada lembaga yang dihormati dan disegani – semua orang merasa bebas. Demokrasi diartikan sebagai kebebasan dalam segala bentuk.

Interaksi yang terjadi sesuai kontak, ada interaksi sosial, interaksi politik, interaksi usaha, dsb. Landasan hukum interaksi nyaris hukum rimba. Terlebih dalam interaksi politik, siapa yang memiliki modal 3K (kaya, kuat, dan kuasa) akan mendominasi jalannya politik.

Sebagai contoh, bencana alam lokal berupa semburan, luapan, luberan lumpur panas di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 29 Mei 2006 – dampaknya berkelanjutan sampai pihak berkepentingan mau turun tangan.

Produk volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 meter kubik per hari. Bahkan pernah mencapai 50 ribu meter kubik per hari. Produk ini nyaris sama dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar. Jika stamina dan kinerja semburan lumpur Banjar Panji-1 terus bertahan pada kisaran 50 ribu itu, pada 31 Oktober, jumlah lumpur akan mencapai 7,1 juta meter kubik. Pada pergantian tahun, volumenya bakal menembus angka 10 juta meter kubik. Ini dua kali lebih banyak dari volume kubah lava di puncak Merapi saat letusan.

Artinya jika produk lumpur ini dibuang ke laut, bisa untuk membuat tanggul yang menghubungkan Jawa dengan Madura atau Jawa dengan Bali. Kalau kurang, tunggu waktu peridoe 2004-2009.

Kesimpulan, siapa pelaku berbasis budipekerti yang seperti apa. (hn)


Rabu, 21 Januari 2015

Ketika Anggota Tubuh Kita Pensiun Dini

Ketika Anggota Tubuh Kita Pensiun Dini


Sikap umat Islam terhadap berita akhirat yang tersurat maupun tersirat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasul, wajar dan manusiawi serta bersifat individual. Substansi masa depan digambarkan standar dan kurang dalam. Surga seluas bumi dan seluas langit. Neraka dalam bentuk tingkatan lapisan. Kita mengganggap itu urusan nanti, diperhitungkan, disiapkan dan disiasaati jika sudah berusia lanjut. Jika sudah senja usia. Di depan mata, de facto dan de jure, manusia selalu sibuk dengan urusan dunia. Fokus ke persaingan cari sesuap nasi sampai meracik dan merakit  takhta.

Jika ada tayangan dakwah, kuliah tujuh menit, sareng ustadz di televisi, atau khotbah jumat, bahasan dan kupasan substansi masa depan sesudah kehidupan dunia bersifat searah. Sekedar mengingatkan. Sekedar untuk didengar. Sekedar untuk diketahui. Sekedar pelengkap. Ironisnya, komunitas kajian di masjid pun acap menganggap bedah masa depan sekedar mengisi waktu dan acara, disimak sambil duduk yang manis bergerombol mengobrol masalah terkini. Diskusi, dialog dan debat nyaris bergaya matematis, sudah bisa diduga jawabannya.

Sejak kita mendengar, memperoleh, menyantap informasi tentang gambaran seperti apa itu surga,  serta membayangkan bagaimana wujud, bentuk serta betapa dahsyat dan ganasnya api neraka, sampai detik ini seolah tidak ada perubahan redaksional, substansi statis, apalagi hikmah dibalik periwayatan.

Kalau kita cermati, atau kita mulai dari dasar pengimanan, salah satu  rukun iman yaitu beriman kepada hari akhirat. Kita bisa menghitung mundur kejadian di kehidupan masa depan ke dalam bentuk kehidupan sekarang di dunia. Betapa  ‘anggota tubuh manusia  akan menjadi saksi di hari kiamat’ akan dihadapi sebagai rangkaian proses peradilan Allah, dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Fushshilat (yang dijelaskan), ayat 19 hingga ayat 25. Kita simak ada ayat yang walau peruntukkannya bersifat khusus, yaitu tersurat di Al-Qur’an [Fushshilat (41) : (20)] : “Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan.” Ayat ini menarik kita bedah lebih lanjut. Jangan diartikan, pendengaran, penglihatan dan kulit bersaksi ketika manusia sudah berada di neraka. Wallahu a ‘lam bish shawab.

Melacak ayat yang berlaku untuk semua umat Islam, kita buka Al-Qur’an [An Nuur (24) : (24)] : “pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” Lidah dan kulit, tidak sekedar sebagai salah satu kelengkapan panca indra.. Lidah yang tak bertulang, sanggup memperlancar mulut kita untuk melahirkan bahasa ucap. Pengobatan mutakhir terkini sulit menghapus luka akibat ucapan, akibat omongan, akibat pergunjingan, akibat gosip sebagai hiburan. Sampai akhirat pun, lidah tetap setia mendampingi keberadaan dan hakikat kita.

Bagaimana merekayasakan anggota tubuh kita (pendengaran, penglihatan dan kulit), serta lidah, tangan dan kaki kita, agar menjadi saksi yang meringankan, bukan saksi yang memberatkan diri kita. Tentunya, bukan hal yang mustahil bisa dilakukan. Kita lanjut simak kandungan Al-Qur’an [Yaasiin (36) : (65)] : “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.”  Tangan berkata, bercerita tentang pengalamannnya. Tangan yang hanya taat, pasrah dan tudnuk kepada tuannya. Siap melaksanakan kehendak sang majikan. Fungsi tangan tergantung niat yang empunya. Kaki memberikan kesaksian. Bahkan kaki jika diberi peluang bersaksi, atau sempat mencacat kemana saja di ajak jalan, tempat apa saja yang didatangi, akan memberikan bukti tertulis kemana saja melangkah.

Singkat kata, pernahkah terbetik di pikiran kita, terlintas di angan-angan kita, andai anggota tubuh kita, yang seolah di bawah kendali kita, protes atas segala tindak tanduk, tingkah laku, olah polah, sepak terjang kita. Unjuk rasa diam-diam atau bahkan mogok kerja. Mengajukan mosi tidak percaya. Pensiun dini tanpa minta pesangon. Pensiun dini dengan ikhlas, suka rela, tanpa catatatan apa pun.

Tiba-tiba lidah kita kelu, tertatih-tatih berucap, tidak lincah memproduk kata.
Tiba-tiba pendengaran kita tidak bisa mendengar desah nafas diri sendiri.
Tiba-tiba penglihatan kita tidak mampu mendeteksi keberadaan jari tangan kita.
Tiba-tiba tangan kita lunglai tidak sanggup menepuk dada, tidak suka main tunjuk.
Tiba-tiba kaki kita lumpuh tanpa daya dan tidak mau mengajak kita blusukan lagi.
Tiba-tiba kulit kita mengeriput, kisut, susut, surut tidak sudi mematut diri kita.

Segala aksi anggota tubuh mereka lakukan agar kita tidak menjadi penduduk ahli neraka, minimal tidak merintis jalan ke neraka. Justru mereka di dunia menyayangi diri kita. Atau karena kita kurang peka, tidak tanggap, tak peduli, daya respon rendah terhadap sinyal yang mereka luncurkan. Jika ilmu agama kita masih bersifat perintisan, kita pakai akal. Andai ilmu bangku sekolah maupun bangku kuliah tidak mengajarkan, di kamus tidak ada acuannya, kita tanya dan berkaca pada pengalaman orang lain. Tiga cara ini masih nihil, tidak bisa membaca rambu-rambu menapaki jalan yang lurus kita wajib mawas diri.

Tanpa mengenal batasan usia, tanpa pandang waktu, sering anggota tubuh kita mogok mendadak. Tidak bisa berfungsi optimal. Tidak normal. Kaki kanan tidak akrab dengan kaki kiri. Tangan kanan berseteru dengan tangan kiri. Kulit menggigil, merinding, bergidik. Lidah terasa tak bertulang, lumpuh atau kaku. Berbagai kondisi fisik yang kita rasakan, kita anggap lumrah. Di balik itu, sebenarnya tersirat sinyal Allah, sebagai peringatan dini dari Allah. [HaeN].


-----------------


Selasa, 20 Januari 2015

PARTAI GOLKAR DAN TURUN GUNUNG

Beranda » Berita » Opini
Senin, 15/01/2007 08:43

PARTAI GOLKAR DAN TURUN GUNUNG

Berbekal pengalaman masa lampau, seseorang akan lebih berhati-hati untuk mengulang perbuatannya. Pengalaman adalah guru yang bijak. Pengalaman sebagai presiden atau apapun sebutannya, menyebabkan Bapak Pembangunan H.M. Soeharto bisa melenggang sebagai pemenang tunggal dalam pemilu 6 (enam) kali berturut-turut.

Golkar sebagai penggiring dan pengiring, sampai menjelma menjadi Partai Golkar (PG), jelas akan muncul dalam pemilu dan pilpres 2009 dengan segala tujuannya. Minimal akan mendulang ulang zaman keemasannya semasa Orde Baru. Zaman selalu berubah dan tak akan terulang. Sejarah hitam putih yang dikantongi PG menyebabkan mereka dewasa dalam hal boleh tidaknya menentukan nasib, lepas dari kungkungan dan pelukan orangtua. Hidup mandiri tanpa dikebiri.

Konflik internal PG sebagai cara untuk menyingkirkan saingan potensial. Yang punya nyali, atau strategi terselubung komandan PG, boleh membuat parpol tandingan. PG berkembang bak gurita pemakan segala. Hanya satu hal yang tak diperhitungkan, atau sudah diprediksi dan sudah menyiapkan antibodinya. Semakin mereka merangkul tokoh potensial untuk dijadikan kader PG, semakin banyak dan panjang antrian menuju kursi.

Kumpulan kader selain membuka persaingan terbuka, juga akan menampakkan siapa yang belang tiga, siapa yang bak kader dalam karung, dsb.

Masyarakat dan rakyat kebanyakan yakin, nantinya, tidak hanya berharap adanya satria piningit. Jelasnya akan ada satria turun gunung. Bisa tokoh muda. Bisa tokoh tak diperhitungkan. Bisa juga suatu tatanan yang tak permah dirumuskan akan muncul. (hn)


SELINGKUH NDANKDHUT

Beranda » Berita » Opini
Selasa, 09/01/2007 12:36

SELINGKUH NDANKDHUT

Selang-seling tata bahasa
Kolang-kaling buka puasa
Bolang-baling santap biasa

Selangkah mulai kaki kanan
Selingkuh buka kaki kiri kanan
Selang-seling aroma irama
Gaya bebas aliran budaya
Goyang pinggul pamer dada

Pelantun lagu jual ayat agama
Tampang setan tawar fatwa
Asal laris dagang selera

Selang-seling tak perlu modal moral
Kata budaya senyum diobral
Bangsa ramah jauh kenal
Biar bokek asal
Tak soal haram halal (hn)


TIGA SERANGKAI

Beranda » Berita » Opini
Jumat, 21/11/2008 01:19

TIGA SERANGKAI

Di sebuah negara, tetangga dari negara tetangga kita, sedang sibuk menghadapi pesta demokrasi Pilpres abad XXI. Banyak bakal calon yang mempromosikan dirinya, liwat media massa atau berbagai cara yang aktraktif. Mulai dari cara yang paling sederhana sampai upaya dengan mengandalkan dana tak terkira. Nuansa politik terasa kental di lingkungan dan komunitas bakal capres maupun bakal cawapres. Mekanisme pencalonan liwat parpol tak menyurutkan minat segepok orang untuk tampil.

Salah semua parpol lokal berlogo nasional, punya stok 3 (telu) calon presiden sekaligus. Dimulai dari mantan bakal capres periode sebelumnya; yang merasa telah membidani parpol; dan yang terakhir yang sedang punya masa pemilih. Tiga serangkai, dalam hikayat dikenal :

Pertama, manusia dengan sebutan bekennya Samin Kais bin Komat Kamit, sosok ini memang suka mengkais-kais kesalahan orang lain, terutama yang sedang berkuasa. Termasuk mengkomatkamiti kekurangan orang lain. Prinsipnya, buruk diri primbon tetangga diobral. Dengan modal ambisi, oknum ini maju sendirian. Dulu ya dulu, malu ya malu. Jangan keok sebelum penyok. Biar babak belur yang penting tidak terbujur.

Kedua, manusia ini cerminan zaman ceritera 1001 malam, nama kondangnya Sutris nan Bachil. Suka makan kikil. Tampilan mengundang rasa kasihan para penyandang sakit jiwa. Mencicil bak buta Cakil, ngemut gula keliru kerikil. Tak heran, oknum ini sedang menebar kerikil untuk dirinya. Untungnya, model seperti ini sudah yang paling baik, karena yang lebih buruk sudah habis diborong. Modalnya banyak merasa bisa.

Ketiga, manusia dengan julukan komersial Didin Sudin bin Tengahudin. Tengahudin memang saudaranya Awaludin dan Akhirudin. Bukan dari kalangan suku dinas, walau mirip cecak-cecak di dinding, diam-diam memang diam. Datang kesempatan, siapa saja dilibas. Bekal massa, atau pengalaman di kerajaan menyebabkan dengan rasa bangga berlebih maju ke pentas Negara. Modal pernah merasakan Abidin utawa atas biaya dinas. Memang enak hidup dibiayai oleh dinas. Kalau tidak ada mereka, mungkin panggung politik akan sepi, bak kuburan di malam hari (hn).


Ketika Politik Jadi Berhala

Ketika Politik Jadi Berhala

 Apa pun kejadian di periode 2014-2019, kita fahami sebagai perwujudan nyata dan akumulasi dampak dari akibat bandar politik di belakang layar menyetir kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasang surut perjalanan bangsa dan negara ini menjadi ajang permainan para kurir politik.


Negara dikapling-kapling untuk kepentingan politik, sesuai kemauan bandar politik. Di semua tatatan dan tataran penyelengara negara didominasi oleh kurir politik. Rangkaian permasalahan bangsa akibat praktek balas jasa, balas budi sekaligus balas dendam pemenang tunggal Pemilu Legislatif 2014 dan Pilpres 2014.[HaeN]

Minggu, 18 Januari 2015

2014-2019, Politik Untuk Bangsa vs Bangsa Untuk Politik


2014-2019, Politik Untuk Bangsa vs Bangsa Untuk Politik

Beda Tipis
Media penyiaran televisi dengan gegap gempita, gilang gemilang, dan gitang tak kepalang berhasil mendudukan koruptor dan pesohor dalam satu kuadran, dalam satu kategori, dalam satu strata hak asasi manusia, ujung-ujungnya meningkatkan rating atau peringkat. Berbagai acara berbasis dialog, diskusi dan debat dengan bintang tamu atau nara sumber adalah koruptor atau pesohor.

Mantan Ketua Umum PB-HMI, Anas Urbaningrum, berkoar dan berikrar ingin digantung di Monas. Di pihak lain, Ahok sebagai penjaga Monas tidak menanggapi. Ahok atau pemprov DKI Jakarta lebih gemar mencabut pentil ban mobil yang parkir sembarang tempat, walau sudah bayar ke tukang parkir liar.

Rakyat yang belum mempunyai hak pilih pun, akhirnya bingung menentukan apa bedanya Anas dengan Ahok. Seolah kedua anak bangsa ini menjadi maskot atau nilai jual stasiun tv swasta. Berita tentang Anas dalam kemasan minimal selalu ditayangkan ulang untuk membuat opini. Gebrakan, gaya dan komunikasi Ahok dalam berbagai acara sekitar birokrasi menjadi penyedap stasiun tv swasta.

Tabiat investor media massa adalah ingin agar bangsa Indonesia melihat politik atau partai politik adalah binatang permakan segala, atau multi fungsi, atau hanya sebagai alat belaka. Atau diam-diam mengail di air keruh. Konflik internal parpol, perseteruan antar parpol sampai tingkah laku petinggi parpol tak luput dari bidikan awak pers. Asas yang dipraktekkan kawanan pers adalah kalau tidak pilih kutub menghujat, pilih sisanya yaitu kutub menjilat.

Masyarakat Politik
Para pengamat politik yakin ada korelasi, keterkaitan timbal balik antara demokrasi yang sehat dengan partai politik yang sehat. Pemilu legislatif Rabu, 9 April 2014 dan pilpres Rabu, 9 Juli 2014, tidak hanya merupakan titik kritis bahwa pemilih memilih orang, bukan partai politik. Sekaligus membuktikan industri politik Indonesia didominasi investor politik, khususnya berskala internasional. Secara ekonomi dan politik, Indonesia di bawah tekanan kekuatan, pengaruh bahkan dapat didikte oleh negara adikuasa. Ekonomi dan politik merupakan pasangan tidak resmi yang bisa menentukan nasib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Stigma uneducated people yang diterapkan kepada pemilih Prof.Dr. Haji Rhoma Irama saat pemilu legislatif 9 April 2014, apakah juga berlaku pada pemilih pilpres 9 Juli 2014. Banyak lapisan masyarakat papan bawah, akar rumput sampai rumput liar, wong cilik, merasa terwakili oleh jagoannya yang gemar blusukan. 

Masyarakat politik ditandai dengan tumbuhnya masyarakat kelas menengah yang memiliki akses pada Teknologi Informasi dan Komunikasi yang dikenal sebagai media sosial (medsos). Kendati terbatas di kalangan masyarakat kota, penggunaan medsos telah mampu membentuk opini secara sismatis, masif dan berkelanjutan. Dengan mempengaruhi bahkan mampu mengintervensi atau meracuni berbagai wacana publik, karena pengguna TIK sangat beragam. 

Investor politik melirik Indonesia untuk kepentingan jangka panjang. Ada skenario standar/pesimis, moderat sampai ideal/optimis yang akan dipraktekkan. Secara sadar dan nyata, arah politik Nusantara, bahasa gaulnya politik luar negeri maupun politik dalam negeri, telah keblusuk ke skenario investor politik. Trik dan intrik politik jelang sumpah jabatan RI-1 dan RI-2 sudah membuktikan bahwa banyak pihak di dua kubu yang merasa punya sayap. Belum-belum politik transaksional sudah tertebak aromanya. Semua merasa punya andil, pegang saham, dan merasa telah berkorban tanpa pamrih.

Filosofi Lima Jari
Peraih suara terbanyak pada pemilu legislatif 1999 adalah PDIP yang meraup 33,74%. 2004, Golkar : 21,62%. 2009, Partai Demokrat (PD) : 20,81%. Serta 2014, PDIP : 18,95%. Periode 1999-2004, terbukti bahwa suara terbanyak tidak otomatis unggul dalam pemerintahan, terdapat dua presiden yaitu Gus Dur dan mbak Mega. Satu dekade 2004-2009 dan 2009-2014, terpilih satu presiden yaitu Susilo Bambang Yudhono (SBY), semakin membuktikan dominasi parpol di trias politika.

Berapa kali SBY ditelikung atau digunting dalam lipatan oleh petinggi PD melalui tipikor. Tak terhitung rongrongan dari kawanan koalisi, terlebih upaya melubangi kapal Nusantara oleh oposisi banci, oposisi setengah hati, oposisi sakit hati, oposisi yang buta politik. 

Ibarat jari tangan, satu jari (20%an) jika tidak bisa mengajak 4 jari lainnya, tangan tak akan berfungsi optimal. Tiap jari memang punya tugas khusus, membawa fungsi yang berbeda, mengandung makna tersendiri. Bayangkan, di periode Djokowi-JK, sudah terbaca saat pemilihan pengurus DPR 2014-2019. Satu jari yang tidak utuh (18,95%), tentu tidak ada gunanya. Apalagi selama masa SBY, PDIP memilih sebagai “penonton”, bukan pemain di pemerintah. PDIP yang merasa keluar sebagai juara umum pileg 2014 sekaligus pekerja partainya muncul sebagai pemenang tunggal di pilpres 2014 (53,15%), kembali ke jalan politik yang benar dan baik, sebagai “polisi negara”. 

Simpul Dan saran
Mengacu serta mengutip isi buku “Menyongsong 2014-2019 Memperkuat Indonesia dalam Dunia yang Berubah”, Muhammad AS Hikam (editor), Badan Intelijen Negara (BIN), Maret 2014, sebagai dasar menyusun Simpul dan Saran, yaitu :

Terdapat tiga aspek yang menjadi lingkungan strategis yang akan dihadapi Indonesia pada kurun 2014-2019, antara lain; lingkungan global, regional, serta nasional. Pada lingkungan global terdapat ketidakpastian perekonomian, terutama menyangkut Krisis Eropa serta pemulihan ekonomi Amerika Serikat. Perhatian politik juga bergeser ke Asia Pasifik, meskipun Amerika Serikat, Uni Eropa, serta Rusia masih menjadi aktor besarnya. Di kawasan regional, kebangkitan China dibidang ekonomi dan menjadi perhatian semua kalangan. Ketegangan di kawasan Laut China Selatan meningkat. Sementara itu di lingkup nasional, pergantian kepemimpinan Nasional dengan seluruh implikasinya menjadi hal terpenting untuk dicermati. Rentetan bencana serta keterbatasan dalam energi menjadi faktor lain yang juga perlu diperhitungkan.

Tantangan terberat secara politik adalah menyangkut sistem dan pelaksanaan Otonomi Daerah yang dalam beberapa tahun belum menemukan format yang benar-benar mapan. Hal tersebut ditandai dengan masih banyaknya tarik ulur pemekaran wilayah yang umumnya lebih didasarkan oleh kepentingan sekelompok kecil pihak dengan menggunakan tekanan politik, juga praktik penyelenggaraan pemerintah daerah yang kadang masih merugikan kepentingan nasional seperti politisasi isu ‘putra daerah’.

Kepentingan nasional secara sederhana diartikan sebagai tujuan dan ambisi suatu bangsa yang biasanya terkait dengan power atau kemampuan untuk berpengaruh dalam kegiatan pergaulan global. Pemimpin Nasional 2014-2019 perlu dikondisikan untuk menjaga komitmen secara kuat dalam memberantas korupsi dan menegakkan hukum.

Pada 2014-2019, para aktor non-negara seperti bisnis trans-nasional, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan dan penelitian, serta media massa, akan makin aktif berperan dalam hubungan internasional.

Pada periode 2014-2019, ancaman terbesar bangsa Indonesia dalam persoalan solidaritas kebangsaan setidaknya ada 4 (empat) :

Pertama, menguatnya politik aliran yang dikemas dalam politik identitas atas nama golongan, suku, dan agama. Pembedaan antara pribumi dan asing, antara identitas diri dan liyan semakin diperkuat dengan terakomodasinya politik identitas yang diusung dalam kebijakan dan praktik otonomi daerah.

Kedua, pemanfaatan isu kemiskinan dan kesenjangan sosial dalam praktik politik, terlebih ketika bangsa Indonesia tidak bisa meraih kesempatan Bonus Demografi yang akan hadir pada 2014-2019. 


Ketiga, menguatnya budaya populer, baik dalam wujud sosial media maupun praktik budaya populer, pada ruang publik dalam mengapresiasi kebebasan individu, khususnya yang mempertontonkan penolakannya terhadap kemapanan kehidupan berbangsa. Keberadaan situs sosial media yang menafikan atau merendahkan martabat bangsa, dan kehadiran kelompok Punk, Indies, dan gank motor secara liar tidak dapat dianggap sepele, karena jika dibiarkan terus akan membentuk makna lain dalam mengartikan kebersamaan dan solidaritas sosial kebangsaan yang mengutamakan penghargaan antara satu dan lainnya. 

Keempat, ledakan arus informasi termasuk kebebasan pers dan media yang memberitakan paham yang bertolak belakang dengan ide dasar kebangsaan. Saat ini pemerintah mempraktikkan mazhab ekonomi pasar secara penuh bagi media, --mungkin karena tuntutan demokrasi ala Barat--, bahkan sejumlah persoalan politik dan agama dengan sensivitas tinggi cenderung diserahkan kepada publik. Realitas ini memberi ruang luas bagi media massa dan golongan fanatik agama untuk tampil ke depan menjadi aktor penting penentu kebijakan. Akhirnya, tidak mengejutkan jika masalah moral, perbedaan aliran keagamaan, dan toleransi beragama menjadi ajang keributan dan cenderung dipentaskan secara publik yang dapat memicu konflik sosial dan mengurangi keadaban publik. [HaeN]