Halaman

Jumat, 02 Januari 2015

JAMINAN SOSIAL TAK SEKEDAR TENGADAH TANGAN

Beranda » Berita » Opini
Selasa, 10/05/2011 11:06

jaminan sosial tak sekedar tengadah tangan


Kendati UUD 1945 melaui Pasal 28H, ayat (3) menyuratkan : Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat; diperjelas dengan UU 39/1999 tentang “HAK ASASI MANUSIA”, Pasal 41, ayat 1 menyuratkan : Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh, bahkan di Pasal 62 disuratkan bahwa : Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya. Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak (Pasal 1 ayat 1, UU 40/2004 tentang “SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL”).

Bukan secara otomatis setiap rakyat atau bahkan anak berhak mendapatkan jaminan sosial. Mulai kemampuan keuangan negara sampai bahwa warga juga peduli pada nasib diri sendiri dengan meningkatkan kemampuan produktif. Bangsa dan rakyat Indonesia terbiasa dimanja oleh kemakmuran tanah air, terbuai oleh kemalasan bangsa Melayu yang ditanamkan oleh pihak penjajah Belanda.

Zaman sekarang, jika tanah air terlanda bencana alam, konflik sosial, kerusuhan berbasis SARA, radikalisme mengatasnamakan agama, bentrok fisik di lapangan, banyak pihak selalu menyalahkan Pemerintah. Mulai dikatakan bantuan lambat sampai tingkat kepedulian yang rendah. Pemerintah provinsi, terlebih pemerintah kota/kabupaten dengan mudah menyalahkan Pemerintah atas berbagai kasus yang menimpa daerahnya ( a.l. banjir, jalan rusak, limpahan sampah, dll).

Sedang ramai masalah UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang tentunya merupakan permainan politik tingkat tinggi. Sedangkan yang jadi subyek jaminan sosial, memang tidak bisa berkontribusi dalam penyusunan UU BPJS. Kendati ada dengar pendapat, tetap tak menyentuh strata rakyat yang butuh jaminan sosial. Strata rakyat sangat bervariasi, minimal seperti yang ditampilkan dalam sensus penduduk.

Semangat otonomi daerah, sehingga daerah punya kewenangan a.l. dalam menetapkan Upah Minimum Regional - Upah Minimum Provinsi, sampai kedalaman tingkat kabupaten/kota, bahkan ada yang dibedakan dalam kelompok. Kondisi ini mengilhami, kalau dalam artian perlukah negara memberikan jaminan sosial kepada rakyatnya, diartikan justru menjadi tanggung jawab pemerintah kota/kabupaten. 2 sisi yang harus diperhatikan dengan seksama, yaitu :

Sisi pertama : kemampuan Pemerintah kota/kabupaten dalam menyediakan dana jaminan sosial melalui APBD, serta dapat menggalang dari berbagai sumber dana (terutama dari zakat, amal sadaqoh). Jaminan sosial jangan diartikan sebagai tunjangan pengangguran, tepatnya sebagai program/kegiatan pemerintah kota/kabupaten yang bertujuan memberdayakan dan meningkatkan kapasitas penduduk. Lapangan kerja memang susah diperbanyak, tapi masih ada harapan diperluas. Pemkot/pemkab tinggal mensinerjikan program/kegiatan yang sudah ada, tidak menciptakan yang baru.

Sisi kedua : penduduk, sebagai individu maupun komunitas, tidak perlu berbelaskasihan dan meratapi nasibnya. Dengan semangat gotong royong, mau sedikit berkeringat, semua ikhtiar bisa dijalankan. Generasi muda banyak yang kerja instan, dalam arti kerja ringan tapi bisa langsung meraup Rp. Inilah yang menjadikan bangsa kita tidak tahan banting, tidak mau bersusah payah dulu, tidak mau banting tulang peras keringat. Maunya disuapi. Maunya tinggal tengadah tangan, siap menerima bantuan. Maunya menunggu uluran tangan belas kasihan pihak lain.


Jadi jamininan sosial bisa berbentuk Rp (semacam sinterklas bagi hadiah), atau memberi kail/cangkul agar rakyat bisa melakukan kegiatan produktif [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar