Selasa, 10/05/2011
11:06
jaminan sosial tak sekedar tengadah tangan
Kendati UUD 1945 melaui Pasal 28H, ayat
(3) menyuratkan : Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat; diperjelas
dengan UU 39/1999 tentang “HAK ASASI MANUSIA”, Pasal 41, ayat 1 menyuratkan
: Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk
hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh, bahkan di Pasal 62
disuratkan bahwa : Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan
jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental
spiritualnya. Jaminan sosial adalah salah satu bentuk
perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan
dasar hidupnya yang layak (Pasal 1 ayat 1, UU 40/2004 tentang “SISTEM JAMINAN
SOSIAL NASIONAL”).
Bukan secara otomatis setiap rakyat atau
bahkan anak berhak mendapatkan jaminan sosial. Mulai kemampuan keuangan negara
sampai bahwa warga juga peduli pada nasib diri sendiri dengan meningkatkan
kemampuan produktif. Bangsa dan rakyat Indonesia terbiasa dimanja oleh
kemakmuran tanah air, terbuai oleh kemalasan bangsa Melayu yang ditanamkan oleh
pihak penjajah Belanda.
Zaman sekarang, jika tanah air terlanda
bencana alam, konflik sosial, kerusuhan berbasis SARA, radikalisme
mengatasnamakan agama, bentrok fisik di lapangan, banyak pihak selalu
menyalahkan Pemerintah. Mulai dikatakan bantuan lambat sampai tingkat
kepedulian yang rendah. Pemerintah provinsi, terlebih pemerintah kota/kabupaten
dengan mudah menyalahkan Pemerintah atas berbagai kasus yang menimpa daerahnya
( a.l. banjir, jalan rusak, limpahan sampah, dll).
Sedang ramai masalah UU Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang tentunya merupakan permainan politik tingkat
tinggi. Sedangkan yang jadi subyek jaminan sosial, memang tidak bisa
berkontribusi dalam penyusunan UU BPJS. Kendati ada dengar pendapat, tetap tak
menyentuh strata rakyat yang butuh jaminan sosial. Strata rakyat sangat
bervariasi, minimal seperti yang ditampilkan dalam sensus penduduk.
Semangat otonomi daerah, sehingga daerah
punya kewenangan a.l. dalam menetapkan Upah Minimum Regional - Upah Minimum
Provinsi, sampai kedalaman tingkat kabupaten/kota, bahkan ada yang dibedakan
dalam kelompok. Kondisi ini mengilhami, kalau dalam artian perlukah negara
memberikan jaminan sosial kepada rakyatnya, diartikan justru menjadi tanggung
jawab pemerintah kota/kabupaten. 2 sisi yang harus diperhatikan dengan seksama,
yaitu :
Sisi pertama : kemampuan Pemerintah
kota/kabupaten dalam menyediakan dana jaminan sosial melalui APBD, serta dapat
menggalang dari berbagai sumber dana (terutama dari zakat, amal sadaqoh).
Jaminan sosial jangan diartikan sebagai tunjangan pengangguran, tepatnya
sebagai program/kegiatan pemerintah kota/kabupaten yang bertujuan memberdayakan
dan meningkatkan kapasitas penduduk. Lapangan kerja memang susah diperbanyak,
tapi masih ada harapan diperluas. Pemkot/pemkab tinggal mensinerjikan
program/kegiatan yang sudah ada, tidak menciptakan yang baru.
Sisi kedua : penduduk, sebagai individu
maupun komunitas, tidak perlu berbelaskasihan dan meratapi nasibnya. Dengan
semangat gotong royong, mau sedikit berkeringat, semua ikhtiar bisa dijalankan.
Generasi muda banyak yang kerja instan, dalam arti kerja ringan tapi bisa
langsung meraup Rp. Inilah yang menjadikan bangsa kita tidak tahan banting,
tidak mau bersusah payah dulu, tidak mau banting tulang peras keringat. Maunya
disuapi. Maunya tinggal tengadah tangan, siap menerima bantuan. Maunya menunggu
uluran tangan belas kasihan pihak lain.
Jadi jamininan sosial bisa berbentuk Rp
(semacam sinterklas bagi hadiah), atau memberi kail/cangkul agar rakyat bisa
melakukan kegiatan produktif [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar