Halaman

Kamis, 29 Januari 2015

3A Televisi Simbol Dekadensi Bangsa

Humaniora     Dibaca :216 kali , 0 komentar


3A Televisi Simbol Dekadensi Bangsa

 Ditulis : Herwin Nur 31 Januari 2014

Konsekuensi sebagai negara hukum, masyarakat secara proaktif diharapkan minimal mengetahui adanya berbagai produk hukum. Masyarakat diposisikan sebagai subyek hukum, bukan obyek hukum. Dalam prakteknya, malah penguasa maupun pengusaha yang rabun hukum atau seolah-olah merasa kebal hukum. 
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menegur acara di media TV swasta yang bersifat kampanye hitam dan pencitraan diri over dosis jelang pemilu 2014. Pemilik media TV sekaligus oknum ketua umum partai politik peserta pemilu 2014 dengan enteng berkilah, bahwa dia menjunjung tinggi kebebasan pers yang diatur UU. 
Terbukti, syahwat politik bisa membutakan hati nurani terhadap hukum. Pasal 1, butir 13, Undang-Undang 32/2002 tentang “PENYIARAN” menyuratkan :
“Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran.” 
KPI dibentuk untuk menampung aspirasi masyarakat dan mewakili kepentingan publik akan penyiaran serta memberdayakan masyarakat dalam melakukan kontrol sosial dan berpartisipasi dalam memajukan penyiaran nasional. 
Padahal, sebelumnya, pasal 1, butir 4 menyuratkan :
Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan. 
Ironisnya, oknum penguasa/pengusaha media TV  tadi tidak memahami makna ‘kemerdekaan pers’ yang diriwayatkan dalam UU 40/2009 tentang “PERS”, termasuk tidak hafal Kode Etik Jurnalistik. Bahkan sang oknum mengatakan KPI sebagai produk depertemen penerangan. 
Kenyataan nyata di era Reformasi, kemerdekaan pers ditandai dengan dominasi lembaga penyiaran swasta,  media hanya dimiliki individu yang mempunyai segudang niat. Mereka menggunakan frekuensi publik yang sangat terbatas keberadaannya untuk kepentingan pribadi.
Di sisi lain, syarat kehidupan penyiaran televisi yang demokratis mengacu pada keberagaman kepemilikan (diversity of ownership) dan keberagaman isi (diversity of content). Agar dua syarat ini terpenuhi, diperlukan lembaga penyeimbang dan kontrol sosial dari pemirsa atau masyarakat pada umumnya. 
Ironisnya banyak Acara, Adegan dan Atraksi (3A) yang menjadi andalan penyiaran televisi di Indonesia sebagai ‘program yang teratur dan berkesinambungan’ karena menjabarkan kepentingan pemilik, sesuai arahan dan pesan sponsor, serta layak mempertahankan dan meningkatkan peringkat. Soal tidak masuk kategori mendidik dan menghibur, lain pasal.

Bencana Informasi
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, menyebabkan pemirsa bisa melihat siaran langsung di TKP (tempat kejadian perkara). Masalahnya, bumbu penyedap untuk memoles berita, menjadikan berita lebih hebat daripada peristiwanya sendiri. Komentartor merasa ahli tentang bencana alam, kebakaran, penggerebegan sarang teroris, buruh/pekerja unjuk raga dan unjuk rasa, tawuran antar kampung, walhasil menjadikan penonton alergi dan antipati. 
Pakar karbitan, ahli ucap dan cuap, korban kasus direkrut pemilik media TV untuk tampil bareng di acara diskusi, dialog dan debat dengan tema mengkritisi kebijakan pemerintah. Acara sejenis menjadi standar penyiaran televisi swasta, yang menganggap pemirsa dapat dibodohi. Pembawa acara merasa dirinya pemikir dan pandai. 
Kategori hiburan yang dikemas dalam berbagai ADEGAN dan ATRAKSI, semakin menyuburkan budaya instan generasi muda yang modal minimal, ingin hasil yang optimal. Berani tampil norak asal dapat sorak. Ikut berbagai lomba pencari bakat agar nama terangkat, menjadi pesohor biarpun tampilan tekor. 
3A nyaris sebagai lambang dekadensi moral bangsa, menjadi ajang lokalisasi penggerusan budaya masa depan bangsa dan negara. 3A hanya diharapkan kandungan komersialnya, mempunyai nilai ekonomis bagi penguasa/pengusaha media TV swasta. (Herwin Nur/Wasathon.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar