Ketika Anggota Tubuh Kita Pensiun Dini
Sikap umat Islam
terhadap berita akhirat yang tersurat maupun tersirat dalam Al-Qur’an maupun
Sunnah Rasul, wajar dan manusiawi serta bersifat individual. Substansi masa
depan digambarkan standar dan kurang dalam. Surga seluas bumi dan seluas
langit. Neraka dalam bentuk tingkatan lapisan. Kita mengganggap itu urusan
nanti, diperhitungkan, disiapkan dan disiasaati jika sudah berusia lanjut. Jika
sudah senja usia. Di depan mata, de facto dan de jure, manusia selalu
sibuk dengan urusan dunia. Fokus ke persaingan cari sesuap nasi sampai meracik
dan merakit takhta.
Jika ada tayangan
dakwah, kuliah tujuh menit, sareng ustadz di televisi, atau khotbah jumat, bahasan
dan kupasan substansi masa depan sesudah kehidupan dunia bersifat searah.
Sekedar mengingatkan. Sekedar untuk didengar. Sekedar untuk diketahui. Sekedar pelengkap.
Ironisnya, komunitas kajian di masjid pun acap menganggap bedah masa depan
sekedar mengisi waktu dan acara, disimak sambil duduk yang manis bergerombol
mengobrol masalah terkini. Diskusi, dialog dan debat nyaris bergaya matematis,
sudah bisa diduga jawabannya.
Sejak kita mendengar,
memperoleh, menyantap informasi tentang gambaran seperti apa itu surga, serta membayangkan bagaimana wujud, bentuk serta
betapa dahsyat dan ganasnya api neraka, sampai detik ini seolah tidak ada
perubahan redaksional, substansi statis, apalagi hikmah dibalik periwayatan.
Kalau kita cermati, atau
kita mulai dari dasar pengimanan, salah satu
rukun iman yaitu beriman kepada hari akhirat. Kita bisa menghitung
mundur kejadian di kehidupan masa depan ke dalam bentuk kehidupan sekarang di
dunia. Betapa ‘anggota tubuh manusia akan menjadi saksi di hari kiamat’ akan dihadapi sebagai rangkaian proses peradilan Allah,
dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Fushshilat (yang dijelaskan), ayat 19 hingga
ayat 25. Kita simak ada ayat yang walau peruntukkannya bersifat khusus, yaitu
tersurat di Al-Qur’an [Fushshilat (41) : (20)] : “Sehingga apabila mereka sampai ke neraka,
pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang
apa yang telah mereka kerjakan.” Ayat ini menarik kita bedah lebih
lanjut. Jangan diartikan, pendengaran, penglihatan dan kulit bersaksi ketika
manusia sudah berada di neraka. Wallahu a ‘lam bish shawab.
Melacak ayat yang berlaku untuk semua
umat Islam, kita buka Al-Qur’an [An Nuur
(24) : (24)] : “pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi
atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” Lidah dan kulit, tidak sekedar sebagai
salah satu kelengkapan panca indra.. Lidah yang tak bertulang, sanggup
memperlancar mulut kita untuk melahirkan bahasa ucap. Pengobatan mutakhir terkini
sulit menghapus luka akibat ucapan, akibat omongan, akibat pergunjingan, akibat
gosip sebagai hiburan. Sampai akhirat pun, lidah tetap setia mendampingi
keberadaan dan hakikat kita.
Bagaimana merekayasakan anggota tubuh
kita (pendengaran, penglihatan dan kulit), serta lidah, tangan dan kaki kita,
agar menjadi saksi yang meringankan, bukan saksi yang memberatkan diri kita. Tentunya,
bukan hal yang mustahil bisa dilakukan. Kita lanjut simak kandungan Al-Qur’an [Yaasiin (36) : (65)] : “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka;
dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka
terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.”
Tangan berkata, bercerita tentang pengalamannnya. Tangan yang hanya taat,
pasrah dan tudnuk kepada tuannya. Siap melaksanakan kehendak sang majikan. Fungsi
tangan tergantung niat yang empunya. Kaki memberikan kesaksian. Bahkan kaki
jika diberi peluang bersaksi, atau sempat mencacat kemana saja di ajak jalan,
tempat apa saja yang didatangi, akan memberikan bukti tertulis kemana saja
melangkah.
Singkat kata,
pernahkah terbetik di pikiran kita, terlintas di angan-angan kita, andai
anggota tubuh kita, yang seolah di bawah kendali kita, protes atas segala
tindak tanduk, tingkah laku, olah polah, sepak terjang kita. Unjuk rasa
diam-diam atau bahkan mogok kerja. Mengajukan mosi tidak percaya. Pensiun dini
tanpa minta pesangon. Pensiun dini dengan ikhlas, suka rela, tanpa catatatan
apa pun.
Tiba-tiba lidah kita kelu, tertatih-tatih
berucap, tidak lincah memproduk kata.
Tiba-tiba pendengaran kita tidak bisa mendengar
desah nafas diri sendiri.
Tiba-tiba penglihatan kita tidak mampu
mendeteksi keberadaan jari tangan kita.
Tiba-tiba tangan kita lunglai tidak sanggup
menepuk dada, tidak suka main tunjuk.
Tiba-tiba kaki kita lumpuh tanpa daya dan tidak
mau mengajak kita blusukan lagi.
Tiba-tiba kulit kita mengeriput, kisut, susut,
surut tidak sudi mematut diri kita.
Segala aksi anggota
tubuh mereka lakukan agar kita tidak menjadi penduduk ahli neraka, minimal
tidak merintis jalan ke neraka. Justru mereka di dunia menyayangi diri kita.
Atau karena kita kurang peka, tidak tanggap, tak peduli, daya respon rendah
terhadap sinyal yang mereka luncurkan. Jika ilmu agama kita masih bersifat
perintisan, kita pakai akal. Andai ilmu bangku sekolah maupun bangku kuliah
tidak mengajarkan, di kamus tidak ada acuannya, kita tanya dan berkaca pada
pengalaman orang lain. Tiga cara ini masih nihil, tidak bisa membaca rambu-rambu
menapaki jalan yang lurus kita wajib mawas diri.
Tanpa mengenal
batasan usia, tanpa pandang waktu, sering anggota tubuh kita mogok mendadak.
Tidak bisa berfungsi optimal. Tidak normal. Kaki kanan tidak akrab dengan kaki
kiri. Tangan kanan berseteru dengan tangan kiri. Kulit menggigil, merinding,
bergidik. Lidah terasa tak bertulang, lumpuh atau kaku. Berbagai kondisi fisik
yang kita rasakan, kita anggap lumrah. Di balik itu, sebenarnya tersirat sinyal
Allah, sebagai peringatan dini dari Allah. [HaeN].
-----------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar