Halaman

Jumat, 16 Januari 2015

alih zaman vs alih generasi

alih zaman vs alih generasi
Senin, 09/05/2011 08:40

ALIH ZAMAN vs ALIH GENERASI

Lepas dari de facto dan de jure tentang Supersemar 1966 (surat perintah 11 Maret 1966), dalam bahasa awam memang telah terjadi pergantian zaman, dari zaman Orde Lama (Orla) ke era Orde Baru (Orba). Banyak pihak, instansi maupun individu, begitu membangga-banggakan, bahkan nyaris mendewa-dewakan Orba. Pokoknya Orba serba lebih dibanding Orla.   

Alih kepemimpinan nasional, saat itu, bangsa Indonesia hanya melihat satu sisi saja yaitu Soeharto berhasil menumpas pemberontakan atau makar yang dilakukan oleh PKI yang ke-2 melalui G-30-S1965/PKI. Bahkan, sehari setelah terima Supersemar 1966, 12 Maret 1996, Letjen Soeharto sebagai Menpangad membubarkan dan menyatakan PKI sebagai partai terlarang di Indonesia.

Pidato pengunduran diri Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 dari kursi kepresidenan RI, orang bilang lengser keprabon, sebagai reaksi atas tuntutan rakyat dan tekanan internal. Momen ini sebagai awal Orde Reformasi. Tepatnya, Reformasi dimulai dari puncaknya saat berhasil melengserkeprabonkan Bapak Pembangunan H.M Soeharto dari singgsana RI-1 yang ke-2. Wapres BJ Habibie dilantik sebagai RI-1 ke- 3 (21 Mei 1998 - 20 Oktober 1999).

Tak pelak, dekade pertama Orde Reformasi (1998-2008) telah menghasilkan 2 kali pemilu (7 Juni 1999 dan dua kali putaran 2004) dan 4 presiden (BJ Habibie, Gus Dur, mbak Mega dan SBY). Setiap zaman menghadirkan pahlawannya sekaligus berbagai karakter tokoh. Tokoh Reformis karena mengutamakan politik banyak yang kandas di tengah jalan. Sejauh ini, orang mendirikan partai politik sebagai ikhtiar menuju RI-1. Jelang pilpres 2014 banyak orang tak sabar menanti. Banyak orang merasa bisa jadi RI-1. Paling konyol adalah pemikiran bahwa untuk bisa berbuat banyak buat negara harus jadi kepala negara.

Dari pilpres ke pilpres memang diharapkan munculnya tokoh muda. Masalahnya, apakah generasi muda sudah siap alih kepemimpinan nasional?! Tokoh pergerakan, tokoh alih zaman, begitu masuk ranah politik, langsung tenggelam. Paling tidak, hanya bisa “bersuara” ketika mempunyai jabatan sejalan dengan Pemerintah, yaitu 5 tahun. Setelah itu, mulai mantan gubernur, mantan bupati, mantan walikota, sampai mantan wakil rakyat jadi terpidana kasus tipikor pada periode berikutnya.

ESTAFET POLITIK
Ada perbedaan yang mendasar antara Bung Karno dengan Pak Harto. Bung Karno mendirikan PNI di zaman penjajahan Belanda (tahun 1927) sebagai rangkaian cara menuju Indonesia merdeka. Pak Harto memanfaatkan eksistensi Golkar untuk kendaraan politiknya, sehingga dalam 6 kali pemilu (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997) atas kehendak rakyat melalui Tap MPR tetap sebagai RI-1.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sebagai parpol peserta tetap dalam pemilu1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Kran demokrasi mengucur deras dan luas seolah tanpa batas, ditandai adanya 48 parpol ikut pemilu 1999. Parpol peserta pileg dan pilpres di 2004 (28 parpol) dan 2009 (36 parpol nasional dan 6 parpol lokal NAD) secara tak langsung menyiratkan bursa capres melimpah serta banyaknya barisan antrian

Platform parpol yang sebahasa, lambang yang serupa, visi dan misi sejenis bukan jaminan parpol tersebut mau koalisi. Petinggi parpol dengan akar rumput bisa terjadi tak satu kata, tak satu suara. Komando dari atas belum tentu direspon positif di tingkat kecamatan. Di atas kertas, beberapa calon bupati atau walikota merasa didukung oleh parpol pemenang Pemilu 2009, berani memprakirakan akan melenggang mulus. Hasil perhitungan KPUD menyatakan lain atau sebaliknya.

BENCANA DEMOKRASI
Pesta demokrasi lima tahun sekali, skala nasional : pileg dan pilkada serta skala daerah : pemilukada, menyebabkan ada semacam kungkungan waktu. Persyaratan dan mekanisme usulan bakal calon untuk jadi kepala negara maupun kepala daerah malah menjadi rambu-rambu yang tidak sesuai dengan makna demokrasi. Kejahatan demokrasi sudah mulai terasa jelang 2014. Beberapa media massa secara transparan menyajikan berita batas parlemen atau parliamentary threshold (PT), capres independen sesuatu yang naïf, kutu loncat parpol bentuk pengkhianatan demokrasi, dsb. NKRI menjadi negara multipartai, salah satu karakternya adalah mengkultuskan partai politik.

Di Indonesia, PT dengan 2,5% saja dalam Pemilu 2009, 19 juta (18%) suara rakyat yang sah dalam pemilu tidak terwakili alias terbuang percuma. 38 parpol hanya 9 parpol yang terwakili dalam parlemen 2009-2014. PT mau dinaikkan jadi 3%. Kesepakatan para politikus Senayan itu tertulis di Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008: “Partai Politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3% (tiga perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikut kan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.”

ANOMALI GENERASI MUDA
Penduduk atau warga negara Indonesia bila telah menginjak usia 16 (enam belas) tahun secara otomatis masuk kategori sebagai pemuda. Batasan usia pemuda sampai dengan 30 (tiga puluh) tahun berdasarkan UU No. 40 tahun 2009 tentang “KEPEMUDAAN”. Penetapan batasan usia tersebut karena merupakan periode penting pertumbuhan dan perkembangan secara biologis dan yuridis. Namun begitu menyangkut aspek kepemudaan ceritanya jadi lain dan panjang, karena akan memasuki dimensi penyadaran, pemberdayaan, dan pengembangan pemuda sebagai bagian dari pembangunan nasional.

Kiprah pemuda memang tidak tipikal dan tidak bisa diambil benang merahnya. Seolah “tanpa modal” banyak pemuda yang berkibar dalam karir, dan tak jauh dari gaya hidup mewah. Tak sedikit yang menghabiskan waktu untuk menggali, memperdalam, menimba, menambah, dan menuntut ilmu. Dibuktikan dengan sederet gelar keilmuan di depan dan atau di belakang nama. Namun, ternyata dunia kerja lebih kejam dari bom teror lokal.

Di panggung politik, antara yang boleh dengan yang tak boleh, tidak ada batas yang jelas. Bahkan aturan main jadi baur. Di kandang kambing mengembik, di kandang harimau mengaum. Di kandang parpol cara mengembik/mengaum sudah diatur secara tertulis dan lisan turun-temurun. Tidak ada kebebasan menyuarakan isi hati. Apalagi melihat kenyataan yang ada di luar pagar.

PENDIDIKAN POLITIK
Pendidikan politik melalui media masa layar kaca - sejauh ini - sangat manjur, mujarab, tokcer, dan ampuh. Mampu menghipnotis pemirsa dan menyihir penonton, terutama yang ditayangkan berulang dengan berbagai trik dan tips mengaduk-aduk emosi. Sajiannya dengan bahasa rakyat, walau tak mirip komedian, namun bisa menimbulkan tawa yang luar biasa. Ironis, tawa yang berbasis hati nurani tak jauh dari makna mentertawakan si pembicara dan merasa hiba.

Si pembicara (mulai dari yang mirip mantan kepala negara, politisi kambuhan atau yang numpang nampang, yang masih aktif sebagai kader parpol yang tidak dikenal di lingkungan tempat tinggal dapilnya, sampai wong cilik mendadak tenar) - mereka tak ambil peduli apakah di acara picisan (sekedar pengisi) atau di acara andalan penyiaran TV swasta - yang penting dimeriahkan dengan dukungan tukang keplok atau sporter paduan tepuk tangan. Semakin keras aplaus tepuk tangan, berarti semakin berbobot pidatonya. Di belakang pembicara, biasanya nampak berjajar rapi rombongan berseragam atribut para pendukungnya, bahkan mungkin sanak keluarganya ikut tampil bebas.

Tak hanya si pembicara yang menjadi daya pikat, nuansa atau wacana tragedi yang berbau politis acap menjadi hiburan! yang sekaligus menjadi daya tarik sebagai perimbangan hidup sehari-hari. Contoh, politisi dari kumpulan wakil rakyat, dengan aliran mbambung sesat sering memamerkan statemen di running text. Padahal ada ketua, yang secara organisastoris yang berhak mengedepankan fakta dan kata. Ketua dewan redaksi TV swasta yang sering nongol untuk mem-blow up suatu affair menambah maraknya dunia pendidikan politik.

2014 GENERASI MUDA SIAP
Pengalaman Pileg dan Pilpres 2009 membuktikan mau tak mau, generasi muda harus siap estafet kepemimpinan nasional di 2014. Stigma melalui jalur dan kendaraan parpol orang baru bisa tampil harus dienyahkan. Terbukti kawanan parpolis bukan jaminan mutu, posisi tawarnya fluktuatif.
.
Tampilnya generasi muda sudah keharusan sejarah dan tak boleh ditawar lagi. Orang tak perlu merepotkan latar belakang pendidikan formal, dikotomi sipil-militer, warna parpol, sering muncul atau tidaknya di media massa. Terror media massa yang menampilkan sosok paling dicari lebih dahsyat daripada terror bom. Oknum yang punya kedekatan dengan media massa (dengan tariff tinggi) wajahnya bisa sering nongol dan ngobrol, dan bak pariwara akan diputra ulang. Ibarat peristiwa kriminal, sang tokoh di balik layar akan diwawancarai dalam tempat yang sama, waktu yang tidak sama dan gaya yang berani beda. Generasi muda tidak harus dari kalangan penyelenggara negara, atau pengusaha atau dari anasir formal lainnya. Generasi muda merupakan kehendak sejarah dan yang penting rakyat siap dengan kondisi tersebut.

Bila bisa dibilang bahwa 2009-2014 merupakan puncak kebrutalan parpolis di semua lini dan jalur pemerintahan. Secara internal parpol, antara generasi tua dengan generasi muda sering terjadi gesekan utawa friksi. Kebijakan pucuk pimpinan parpol tak sinkron dengan kebutuhan nyata akar rumput. Bahkan di pusat (Jakarta) antar tokoh tak mau kalah bersaing. Bagi yang punya duit semua akan jadi mudah dalam tataran dan takaran rupiah.

Gelombang generasi muda masih punya waktu untuk mematangkan dan memantapkan diri, 5 tahun waktu yang relatif cepat atau lambat



___________________________________________________________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar