alih zaman vs alih generasi
Senin, 09/05/2011 08:40
ALIH ZAMAN vs ALIH GENERASI
Lepas dari de
facto dan de jure tentang Supersemar 1966 (surat perintah 11 Maret
1966), dalam bahasa awam memang telah terjadi pergantian zaman, dari zaman Orde
Lama (Orla) ke era Orde Baru (Orba). Banyak pihak, instansi maupun individu, begitu
membangga-banggakan, bahkan nyaris mendewa-dewakan Orba. Pokoknya Orba serba
lebih dibanding Orla.
Alih kepemimpinan nasional, saat itu, bangsa Indonesia hanya melihat satu
sisi saja yaitu Soeharto berhasil menumpas pemberontakan atau makar yang dilakukan
oleh PKI yang ke-2 melalui G-30-S1965/PKI. Bahkan, sehari setelah terima
Supersemar 1966, 12 Maret 1996, Letjen
Soeharto sebagai Menpangad membubarkan dan menyatakan PKI sebagai partai
terlarang di Indonesia.
Pidato pengunduran
diri Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 dari kursi kepresidenan RI, orang bilang
lengser keprabon, sebagai reaksi atas tuntutan rakyat dan tekanan internal.
Momen ini sebagai awal Orde Reformasi. Tepatnya, Reformasi dimulai dari
puncaknya saat berhasil melengserkeprabonkan Bapak Pembangunan H.M Soeharto
dari singgsana RI-1 yang ke-2. Wapres BJ Habibie dilantik sebagai RI-1 ke- 3
(21 Mei 1998 - 20 Oktober 1999).
Tak pelak, dekade
pertama Orde Reformasi (1998-2008) telah menghasilkan 2 kali pemilu (7 Juni 1999
dan dua kali putaran 2004) dan 4 presiden (BJ Habibie, Gus Dur, mbak Mega dan
SBY). Setiap zaman menghadirkan pahlawannya sekaligus berbagai karakter tokoh. Tokoh
Reformis karena mengutamakan politik banyak yang kandas di tengah jalan. Sejauh
ini, orang mendirikan partai politik sebagai ikhtiar menuju RI-1. Jelang
pilpres 2014 banyak orang tak sabar menanti. Banyak orang merasa bisa jadi
RI-1. Paling konyol adalah pemikiran bahwa untuk bisa berbuat banyak buat negara
harus jadi kepala negara.
Dari pilpres ke
pilpres memang diharapkan munculnya tokoh muda. Masalahnya, apakah generasi
muda sudah siap alih kepemimpinan nasional?! Tokoh pergerakan, tokoh alih
zaman, begitu masuk ranah politik, langsung tenggelam. Paling tidak, hanya bisa
“bersuara” ketika mempunyai jabatan sejalan dengan Pemerintah, yaitu 5 tahun. Setelah
itu, mulai mantan gubernur, mantan bupati, mantan walikota, sampai mantan wakil
rakyat jadi terpidana kasus tipikor pada periode berikutnya.
ESTAFET POLITIK
Ada perbedaan yang
mendasar antara Bung Karno dengan Pak Harto. Bung Karno mendirikan PNI di zaman
penjajahan Belanda (tahun 1927) sebagai rangkaian cara menuju Indonesia
merdeka. Pak Harto memanfaatkan eksistensi Golkar untuk kendaraan politiknya,
sehingga dalam 6 kali pemilu (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997) atas
kehendak rakyat melalui Tap MPR tetap sebagai RI-1.
Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
sebagai parpol peserta tetap dalam pemilu1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Kran
demokrasi mengucur deras dan luas seolah tanpa batas, ditandai adanya 48 parpol
ikut pemilu 1999. Parpol peserta pileg dan pilpres di 2004 (28 parpol) dan 2009
(36 parpol nasional dan 6 parpol lokal NAD) secara tak langsung menyiratkan
bursa capres melimpah serta banyaknya barisan antrian
Platform parpol yang
sebahasa, lambang yang serupa, visi dan misi sejenis bukan jaminan parpol
tersebut mau koalisi. Petinggi parpol dengan akar rumput bisa terjadi tak satu
kata, tak satu suara. Komando dari atas belum tentu direspon positif di tingkat
kecamatan. Di atas kertas, beberapa calon bupati atau walikota merasa didukung
oleh parpol pemenang Pemilu 2009, berani memprakirakan akan melenggang mulus. Hasil
perhitungan KPUD menyatakan lain atau sebaliknya.
BENCANA DEMOKRASI
Pesta demokrasi lima
tahun sekali, skala nasional : pileg dan pilkada serta skala daerah :
pemilukada, menyebabkan ada semacam kungkungan waktu. Persyaratan dan mekanisme
usulan bakal calon untuk jadi kepala negara maupun kepala daerah malah menjadi
rambu-rambu yang tidak sesuai dengan makna demokrasi. Kejahatan demokrasi sudah
mulai terasa jelang 2014. Beberapa media massa secara transparan menyajikan
berita batas parlemen atau parliamentary threshold
(PT), capres independen sesuatu yang naïf, kutu loncat parpol bentuk
pengkhianatan demokrasi, dsb. NKRI menjadi negara multipartai, salah satu
karakternya adalah mengkultuskan partai politik.
Di Indonesia, PT dengan 2,5% saja dalam
Pemilu 2009, 19 juta (18%) suara rakyat yang sah dalam pemilu tidak terwakili
alias terbuang percuma. 38 parpol hanya 9 parpol yang terwakili dalam parlemen
2009-2014. PT mau dinaikkan jadi 3%. Kesepakatan para politikus Senayan
itu tertulis di Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008: “Partai Politik peserta pemilu
harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3% (tiga
perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikut kan dalam
penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.”
ANOMALI GENERASI MUDA
Penduduk atau warga negara Indonesia bila
telah menginjak usia 16 (enam belas) tahun secara otomatis masuk kategori
sebagai pemuda. Batasan usia pemuda sampai dengan 30 (tiga puluh) tahun
berdasarkan UU No. 40 tahun 2009 tentang “KEPEMUDAAN”. Penetapan batasan usia
tersebut karena merupakan periode penting pertumbuhan dan perkembangan secara biologis dan yuridis. Namun begitu
menyangkut aspek kepemudaan ceritanya jadi lain dan panjang, karena akan
memasuki dimensi penyadaran, pemberdayaan, dan pengembangan pemuda sebagai
bagian dari pembangunan nasional.
Kiprah pemuda memang tidak tipikal dan tidak
bisa diambil benang merahnya. Seolah “tanpa modal” banyak pemuda yang berkibar
dalam karir, dan tak jauh dari gaya hidup mewah. Tak sedikit yang menghabiskan waktu
untuk menggali, memperdalam, menimba, menambah, dan menuntut ilmu. Dibuktikan
dengan sederet gelar keilmuan di depan dan atau di belakang nama. Namun,
ternyata dunia kerja lebih kejam dari bom teror lokal.
Di panggung politik, antara yang boleh dengan
yang tak boleh, tidak ada batas yang jelas. Bahkan aturan main jadi baur. Di
kandang kambing mengembik, di kandang harimau mengaum. Di kandang parpol cara
mengembik/mengaum sudah diatur secara tertulis dan lisan turun-temurun. Tidak
ada kebebasan menyuarakan isi hati. Apalagi melihat kenyataan yang ada di luar
pagar.
PENDIDIKAN POLITIK
Pendidikan politik
melalui media masa layar kaca - sejauh ini - sangat manjur, mujarab, tokcer,
dan ampuh. Mampu menghipnotis pemirsa dan menyihir penonton, terutama yang
ditayangkan berulang dengan berbagai trik dan tips mengaduk-aduk emosi.
Sajiannya dengan bahasa rakyat, walau tak mirip komedian, namun bisa menimbulkan
tawa yang luar biasa. Ironis, tawa yang berbasis hati nurani tak jauh dari makna
mentertawakan si pembicara dan merasa hiba.
Si pembicara (mulai
dari yang mirip mantan kepala negara, politisi kambuhan atau yang numpang
nampang, yang masih aktif sebagai kader parpol yang tidak dikenal di lingkungan
tempat tinggal dapilnya, sampai wong cilik mendadak tenar) - mereka tak ambil
peduli apakah di acara picisan (sekedar pengisi) atau di acara andalan
penyiaran TV swasta - yang penting dimeriahkan dengan dukungan tukang keplok
atau sporter paduan tepuk tangan. Semakin keras aplaus tepuk tangan, berarti
semakin berbobot pidatonya. Di belakang pembicara, biasanya nampak berjajar
rapi rombongan berseragam atribut para pendukungnya, bahkan mungkin sanak
keluarganya ikut tampil bebas.
Tak hanya si
pembicara yang menjadi daya pikat, nuansa atau wacana tragedi yang berbau
politis acap menjadi hiburan! yang sekaligus menjadi daya tarik sebagai
perimbangan hidup sehari-hari. Contoh, politisi dari kumpulan wakil rakyat,
dengan aliran mbambung sesat sering memamerkan statemen di running text.
Padahal ada ketua, yang secara organisastoris yang berhak mengedepankan fakta
dan kata. Ketua dewan redaksi TV swasta yang sering nongol untuk mem-blow up suatu affair menambah maraknya dunia
pendidikan politik.
2014 GENERASI MUDA
SIAP
Pengalaman Pileg dan
Pilpres 2009 membuktikan mau tak mau, generasi muda harus siap estafet
kepemimpinan nasional di 2014. Stigma melalui jalur dan kendaraan parpol orang
baru bisa tampil harus dienyahkan. Terbukti kawanan parpolis bukan jaminan
mutu, posisi tawarnya fluktuatif.
.
Tampilnya generasi
muda sudah keharusan sejarah dan tak boleh ditawar lagi. Orang tak perlu
merepotkan latar belakang pendidikan formal, dikotomi sipil-militer, warna parpol,
sering muncul atau tidaknya di media massa. Terror media massa yang menampilkan
sosok paling dicari lebih dahsyat daripada terror bom. Oknum yang punya
kedekatan dengan media massa (dengan tariff tinggi) wajahnya bisa sering nongol
dan ngobrol, dan bak pariwara akan diputra ulang. Ibarat peristiwa kriminal,
sang tokoh di balik layar akan diwawancarai dalam tempat yang sama, waktu yang
tidak sama dan gaya yang berani beda. Generasi muda tidak harus dari kalangan
penyelenggara negara, atau pengusaha atau dari anasir formal lainnya. Generasi
muda merupakan kehendak sejarah dan yang penting rakyat siap dengan kondisi
tersebut.
Bila bisa dibilang
bahwa 2009-2014 merupakan puncak kebrutalan parpolis di semua lini dan jalur
pemerintahan. Secara internal parpol, antara generasi tua dengan generasi muda
sering terjadi gesekan utawa friksi. Kebijakan pucuk pimpinan parpol tak
sinkron dengan kebutuhan nyata akar rumput. Bahkan di pusat (Jakarta) antar
tokoh tak mau kalah bersaing. Bagi yang punya duit semua akan jadi mudah dalam
tataran dan takaran rupiah.
Gelombang generasi
muda masih punya waktu untuk mematangkan dan memantapkan diri, 5 tahun waktu yang relatif cepat atau lambat
___________________________________________________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar