Halaman

Minggu, 18 Januari 2015

2014-2019, Politik Untuk Bangsa vs Bangsa Untuk Politik


2014-2019, Politik Untuk Bangsa vs Bangsa Untuk Politik

Beda Tipis
Media penyiaran televisi dengan gegap gempita, gilang gemilang, dan gitang tak kepalang berhasil mendudukan koruptor dan pesohor dalam satu kuadran, dalam satu kategori, dalam satu strata hak asasi manusia, ujung-ujungnya meningkatkan rating atau peringkat. Berbagai acara berbasis dialog, diskusi dan debat dengan bintang tamu atau nara sumber adalah koruptor atau pesohor.

Mantan Ketua Umum PB-HMI, Anas Urbaningrum, berkoar dan berikrar ingin digantung di Monas. Di pihak lain, Ahok sebagai penjaga Monas tidak menanggapi. Ahok atau pemprov DKI Jakarta lebih gemar mencabut pentil ban mobil yang parkir sembarang tempat, walau sudah bayar ke tukang parkir liar.

Rakyat yang belum mempunyai hak pilih pun, akhirnya bingung menentukan apa bedanya Anas dengan Ahok. Seolah kedua anak bangsa ini menjadi maskot atau nilai jual stasiun tv swasta. Berita tentang Anas dalam kemasan minimal selalu ditayangkan ulang untuk membuat opini. Gebrakan, gaya dan komunikasi Ahok dalam berbagai acara sekitar birokrasi menjadi penyedap stasiun tv swasta.

Tabiat investor media massa adalah ingin agar bangsa Indonesia melihat politik atau partai politik adalah binatang permakan segala, atau multi fungsi, atau hanya sebagai alat belaka. Atau diam-diam mengail di air keruh. Konflik internal parpol, perseteruan antar parpol sampai tingkah laku petinggi parpol tak luput dari bidikan awak pers. Asas yang dipraktekkan kawanan pers adalah kalau tidak pilih kutub menghujat, pilih sisanya yaitu kutub menjilat.

Masyarakat Politik
Para pengamat politik yakin ada korelasi, keterkaitan timbal balik antara demokrasi yang sehat dengan partai politik yang sehat. Pemilu legislatif Rabu, 9 April 2014 dan pilpres Rabu, 9 Juli 2014, tidak hanya merupakan titik kritis bahwa pemilih memilih orang, bukan partai politik. Sekaligus membuktikan industri politik Indonesia didominasi investor politik, khususnya berskala internasional. Secara ekonomi dan politik, Indonesia di bawah tekanan kekuatan, pengaruh bahkan dapat didikte oleh negara adikuasa. Ekonomi dan politik merupakan pasangan tidak resmi yang bisa menentukan nasib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Stigma uneducated people yang diterapkan kepada pemilih Prof.Dr. Haji Rhoma Irama saat pemilu legislatif 9 April 2014, apakah juga berlaku pada pemilih pilpres 9 Juli 2014. Banyak lapisan masyarakat papan bawah, akar rumput sampai rumput liar, wong cilik, merasa terwakili oleh jagoannya yang gemar blusukan. 

Masyarakat politik ditandai dengan tumbuhnya masyarakat kelas menengah yang memiliki akses pada Teknologi Informasi dan Komunikasi yang dikenal sebagai media sosial (medsos). Kendati terbatas di kalangan masyarakat kota, penggunaan medsos telah mampu membentuk opini secara sismatis, masif dan berkelanjutan. Dengan mempengaruhi bahkan mampu mengintervensi atau meracuni berbagai wacana publik, karena pengguna TIK sangat beragam. 

Investor politik melirik Indonesia untuk kepentingan jangka panjang. Ada skenario standar/pesimis, moderat sampai ideal/optimis yang akan dipraktekkan. Secara sadar dan nyata, arah politik Nusantara, bahasa gaulnya politik luar negeri maupun politik dalam negeri, telah keblusuk ke skenario investor politik. Trik dan intrik politik jelang sumpah jabatan RI-1 dan RI-2 sudah membuktikan bahwa banyak pihak di dua kubu yang merasa punya sayap. Belum-belum politik transaksional sudah tertebak aromanya. Semua merasa punya andil, pegang saham, dan merasa telah berkorban tanpa pamrih.

Filosofi Lima Jari
Peraih suara terbanyak pada pemilu legislatif 1999 adalah PDIP yang meraup 33,74%. 2004, Golkar : 21,62%. 2009, Partai Demokrat (PD) : 20,81%. Serta 2014, PDIP : 18,95%. Periode 1999-2004, terbukti bahwa suara terbanyak tidak otomatis unggul dalam pemerintahan, terdapat dua presiden yaitu Gus Dur dan mbak Mega. Satu dekade 2004-2009 dan 2009-2014, terpilih satu presiden yaitu Susilo Bambang Yudhono (SBY), semakin membuktikan dominasi parpol di trias politika.

Berapa kali SBY ditelikung atau digunting dalam lipatan oleh petinggi PD melalui tipikor. Tak terhitung rongrongan dari kawanan koalisi, terlebih upaya melubangi kapal Nusantara oleh oposisi banci, oposisi setengah hati, oposisi sakit hati, oposisi yang buta politik. 

Ibarat jari tangan, satu jari (20%an) jika tidak bisa mengajak 4 jari lainnya, tangan tak akan berfungsi optimal. Tiap jari memang punya tugas khusus, membawa fungsi yang berbeda, mengandung makna tersendiri. Bayangkan, di periode Djokowi-JK, sudah terbaca saat pemilihan pengurus DPR 2014-2019. Satu jari yang tidak utuh (18,95%), tentu tidak ada gunanya. Apalagi selama masa SBY, PDIP memilih sebagai “penonton”, bukan pemain di pemerintah. PDIP yang merasa keluar sebagai juara umum pileg 2014 sekaligus pekerja partainya muncul sebagai pemenang tunggal di pilpres 2014 (53,15%), kembali ke jalan politik yang benar dan baik, sebagai “polisi negara”. 

Simpul Dan saran
Mengacu serta mengutip isi buku “Menyongsong 2014-2019 Memperkuat Indonesia dalam Dunia yang Berubah”, Muhammad AS Hikam (editor), Badan Intelijen Negara (BIN), Maret 2014, sebagai dasar menyusun Simpul dan Saran, yaitu :

Terdapat tiga aspek yang menjadi lingkungan strategis yang akan dihadapi Indonesia pada kurun 2014-2019, antara lain; lingkungan global, regional, serta nasional. Pada lingkungan global terdapat ketidakpastian perekonomian, terutama menyangkut Krisis Eropa serta pemulihan ekonomi Amerika Serikat. Perhatian politik juga bergeser ke Asia Pasifik, meskipun Amerika Serikat, Uni Eropa, serta Rusia masih menjadi aktor besarnya. Di kawasan regional, kebangkitan China dibidang ekonomi dan menjadi perhatian semua kalangan. Ketegangan di kawasan Laut China Selatan meningkat. Sementara itu di lingkup nasional, pergantian kepemimpinan Nasional dengan seluruh implikasinya menjadi hal terpenting untuk dicermati. Rentetan bencana serta keterbatasan dalam energi menjadi faktor lain yang juga perlu diperhitungkan.

Tantangan terberat secara politik adalah menyangkut sistem dan pelaksanaan Otonomi Daerah yang dalam beberapa tahun belum menemukan format yang benar-benar mapan. Hal tersebut ditandai dengan masih banyaknya tarik ulur pemekaran wilayah yang umumnya lebih didasarkan oleh kepentingan sekelompok kecil pihak dengan menggunakan tekanan politik, juga praktik penyelenggaraan pemerintah daerah yang kadang masih merugikan kepentingan nasional seperti politisasi isu ‘putra daerah’.

Kepentingan nasional secara sederhana diartikan sebagai tujuan dan ambisi suatu bangsa yang biasanya terkait dengan power atau kemampuan untuk berpengaruh dalam kegiatan pergaulan global. Pemimpin Nasional 2014-2019 perlu dikondisikan untuk menjaga komitmen secara kuat dalam memberantas korupsi dan menegakkan hukum.

Pada 2014-2019, para aktor non-negara seperti bisnis trans-nasional, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan dan penelitian, serta media massa, akan makin aktif berperan dalam hubungan internasional.

Pada periode 2014-2019, ancaman terbesar bangsa Indonesia dalam persoalan solidaritas kebangsaan setidaknya ada 4 (empat) :

Pertama, menguatnya politik aliran yang dikemas dalam politik identitas atas nama golongan, suku, dan agama. Pembedaan antara pribumi dan asing, antara identitas diri dan liyan semakin diperkuat dengan terakomodasinya politik identitas yang diusung dalam kebijakan dan praktik otonomi daerah.

Kedua, pemanfaatan isu kemiskinan dan kesenjangan sosial dalam praktik politik, terlebih ketika bangsa Indonesia tidak bisa meraih kesempatan Bonus Demografi yang akan hadir pada 2014-2019. 


Ketiga, menguatnya budaya populer, baik dalam wujud sosial media maupun praktik budaya populer, pada ruang publik dalam mengapresiasi kebebasan individu, khususnya yang mempertontonkan penolakannya terhadap kemapanan kehidupan berbangsa. Keberadaan situs sosial media yang menafikan atau merendahkan martabat bangsa, dan kehadiran kelompok Punk, Indies, dan gank motor secara liar tidak dapat dianggap sepele, karena jika dibiarkan terus akan membentuk makna lain dalam mengartikan kebersamaan dan solidaritas sosial kebangsaan yang mengutamakan penghargaan antara satu dan lainnya. 

Keempat, ledakan arus informasi termasuk kebebasan pers dan media yang memberitakan paham yang bertolak belakang dengan ide dasar kebangsaan. Saat ini pemerintah mempraktikkan mazhab ekonomi pasar secara penuh bagi media, --mungkin karena tuntutan demokrasi ala Barat--, bahkan sejumlah persoalan politik dan agama dengan sensivitas tinggi cenderung diserahkan kepada publik. Realitas ini memberi ruang luas bagi media massa dan golongan fanatik agama untuk tampil ke depan menjadi aktor penting penentu kebijakan. Akhirnya, tidak mengejutkan jika masalah moral, perbedaan aliran keagamaan, dan toleransi beragama menjadi ajang keributan dan cenderung dipentaskan secara publik yang dapat memicu konflik sosial dan mengurangi keadaban publik. [HaeN]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar