Halaman

Kamis, 31 Oktober 2019

Jangan Meninabobokan Papua


Jangan Meninabobokan Papua

Tidak ada yang kurang, tak ada yang salah tulis pada resep pembangunan Papua. Model proaktif, preventif, kuratif, adaptif sampai gaya réprésif sudah pernah dipraktikkan.

Bahkan blusukan, kunjungan kerja Pemerintah diimbangi perencanaan dari bawah nyaris rutin. Secara insidentil, Papua menjadi lokasi tuan rumah kegiatan nasional maupun regional.

Akar permasalahan yang mengakibatkan semua pihak kebakaran jenggot, tetap tak terselesaikan. Insiden demi insiden sampai intervensi pihak asing seolah menjadi agenda.

Betapa anak bangsa di luar Papua, datang langsung membangun. Agar roda perekonomian lokal bergerak. Bersamaan dengan mewujudkan masyarakat sejahtera. Pembauran dengan penduduk setempat menjadikan SDM unggul.

Pemetaan wilayah adat menjadi dasar pemekaran atau penambahan daerah otonom baru. Lepas dari fakta jumlah dan kepadatan penduduk yang berbasis suku-suku, sebagai syarat dibentuknya kabupaten/kota anyar.

Lagi-lagi dengan ulah angin surga. Rencana bijak, niat mulia Pemerintah membangun istana presiden. Bisa-bisa bisa menjadi bumerang, menjadi bom waktu. Malah memacu dan memicu atau membangkitkan masalah.

Karena masa lalu Papua tak pernah berlalu. [HaéN]

Istana Presiden, Kebutuhan Rakyat Papua vs Ambisi Politik Penguasa


Istana Presiden, Kebutuhan Rakyat Papua vs Ambisi Politik Penguasa

Setiap presiden RI mempunyai pendekatan khas terhadap pulau Papua. Berbasis pendekatan politis hanya beda jargon, motto. Pemantapan format, kemasan, bingkai, polesan maupun settingan agar tampak beda.

Kendati RPJPN 2005-2025, artinya RPJMN ke-IV 2020-2024 sebagai yang terakhir. Masalahnya, jika niatan membangun istana presiden di pulau Papua, merupakan janji kampanye politik di pilpres 2019 oleh pasangan 01. Plus janji manis dan pemanis lainnya. Memberikan kesempatan putra-putri terbaik Papua menjadi ‘pembantu presiden’ atau jabatan prestisius lainnya.

Menjadi masalah nasional, karena bak bom waktu. Soal kepentingan politik atau kebutuhan rakyat Papua, menjadi PR bangsa. Menjadi peluang pihak asing untuk intervensi masalah Papua yang berkelanjutan. [HaéN]

berhala reformasi 3K vs trio tirani minoritas


berhala reformasi 3K vs trio tirani minoritas

Potensi sumber daya kebudayaan Indonesia sangat besar setidaknya terdapat 1.519 adat istiadat dan tradisi, 2.010 kemahiran dan kerajinan tradisional, 785 pengetahuan lokal, 1.370 seni pertunjukan, 1.554 tradisi dan ekspresi lisan, dan 998 cagar budaya (Statistik Kebudayaan, 2017).

Selain itu, upaya penguatan kualitas pembelajaran dan pengajaran diharapkan dapat menumbuhkan kecakapan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) peserta didik, yang akan menghasilkan lulusan yang berkualitas, berdaya saing dan berperan penting sebagai pelaku utama pembangunan nasional dan daerah (RPJMN IV 2020-2024).

Terdapat 4 (empat) pilar dari RPJMN ke IV tahun 2020-2024 yang merupakan amanat RPJPN 2005-2025 untuk mencapai tujuan utama dari rencana pembangunan nasional periode terakhir. Keempat pilar tersebut:
1.        Kelembagaan politik dan hukum yang mantap
2.        Kesejahteraan masyarakat yang terus meningkat
3.        Struktur ekonomi yang semakin maju dan kokoh
4.        Terwujudnya keanekaragaman hayati yang terjaga

Saat itulah beban penduduk usia produktif semakin bertambah. Ketika penduduk usia lanjut menua sebelum kondisi kaya, maka pemuda menjadi bagian dari sandwich generation. Pemuda menjadi bagian dari generasi yang harus menanggung beban ganda, di bawah mereka harus membiayai anak-anaknya sendiri, namun di atas juga harus menanggung biaya orang tuanya yang tidak lagi punya penghasilan. Tentunya posisi tersebut semakin menempatkan pemuda sebagai posisi yang penting (Statistik Pemuda Indonesia, BPS 2017)
.
Efek domino reformasi yang bergulir dari puncaknya 21 Mei 1998. Kran demokrasi terbuka. Manusia sipil dan atau manusia militer bak kuda liar lepas dari pingitan Orde Baru. Adu nyali mendirikan partai politik agar bisa ikut pemilu 1999.

Energi bangsa terserap oleh perilaku manusia politik dengan segala ambisi, pamrih, hajat, selera merasa bisa mengatur, mengurus, mengendalikan negara. Asal diberi kuasa. Tak berah antri. Manusia ekonom atau pengusaha, pemodal multinasional langsung mendirikan bentukan partai politik.

Karena partai politik bonek atau perpanjangan tangan, ternyata ujung-ujungnya doyan kursi banget. Di negeri sendiri, suara pemilih pejawat presiden di bawah standar rata-rata nasional (<20%).

Walhasil, pasar politik dalam negeri memang tak lepas dari skenario investor politik. Utamanya dari negara paling bersahabat. Memang Indonesia merasa nyaman diayomi oleh negara yang lebih besar lagi. Populasinya lebih banyak atau bahkan berlipat.

Nusantara masih akrab dengan fenomena bahwa kekayaan ekonomi dan kekuasaan politik terkonsentrasi di tangan beberapa orang. Semangkin runyam, ditambah fakta kekuatan panglima di tangan pemegang kekuasan yang tertinggi. Pengayom masyarakat sibuk main anggaran.

Katanya, bahwa negara yang konfigurasi politiknya demokratis, maka produk hukumnya berkarakter akomodatif, dinamis, preventif. Jangan sampai pelaku politik – bahkan setingkat petugas partai – nantinya akan terjebak oleh pasal hukum produk periodenya.

Biaya politik sebagai bukti nyata bahwa jaminan atau timbal-balik menjadi yang pertama, utama dan segala-galanya. Mendukung penguasa, apalagi yang mau lanjut ke periode terakhir, ibarat menaruh uang muka. Kalkulasi politik tak bisa mengabaikan dalil manusia ekonomi. Judi politik menjadi taruhan politik yang mempertaruhkan, mengorbankan masa depan bangsa demi kekuasaan semu.

Bahasa perencana. Menjaga keberlajnjutan. keberlanjutan adalah memastikan bahwa upaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengkompromikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri pada saatnya nanti (RPJMN IV 2020-2024).

Beda dengan menyiapkan generasi masa depan dengan harga sekarang.

Jadi, selama dunia masih ber-rotasi. Kita tak bisa hidup sendiri dan sendirian. Namun jangan ikut terhanyut dan terbawa arus dunia. Kalah pongah dengan rayuan sejumput rumput tetangga yang tampak  lebih ranum. Jangan karena garing di luar negeri, lantas garang di dalam negeri sendiri. Wallahu a’lam bisshawab. [HaéN]

Rabu, 30 Oktober 2019

demokrasi sub-versi nusantara, bebas kontrol vs di bawah satu kendali


demokrasi sub-versi nusantara, bebas kontrol vs di bawah satu kendali

Demokrasi ekonomi mulai muncul di rimba belantara nusantara. Berkat Perubahan Keempat UUD NRI 1945, yang disahkan pada 10 Agustus 2002, Bab XIV menjadi:
Bab XIV
Perekonomian Nasional
dan Kesejahteraan Sosial

Pasal 33 bertambah ayat, pada ayat (4) dan ayat (5), menjadi:
Pasal 33
(4)      Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5)      Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Demokrasi ekonomi muncul, katanya untuk mengingat rakyat atau  demi kepentingan rakyat. Kesejahteraan sosial sebagai tujuan bangsa memang harus diimbangi dengan kemandirian ekonomi dan pengembalian kedaulatan rakyat atas ekonomi nasional (tafsir MK).

Lanjut dengan karakteristik utama ekonomi kerakyatan. Diukur keeksistensian rakyat berdaulat atas ekonominya. Berdasarkan karakteristik ekonomi kerakyatan, konstitusi memiliki peran sentral untuk menjadi penyeimbang antara negara, masyarakat dan pasar.

Mekanisme ekonomi tidak bisa tergantung pada permintaan pasar, kekuatan pasar apalagi tuntutan penggemar tanpa kontrol. Peran negara dengan seperangkat kewenangannya, bersama masyarakat sipil melakukan pengawasan, control atas ekonomi pasar. Negara justru menjadi kontrol untuk menstabilkan hubungan pasar dan masyarakat.

Jika ekonomi dibiarkan berjalan sendiri sesuai sentimen positif dan seolah bertindak bebas secara alami.  Kondisi ini akan melahirkan sistem monopoli pasar dan otoritarian modal yang akhirnya akan membunuh demokrasi itu sendiri. Kontribusi  warga negara dalam kegiatan produksi, menjadi hakikat dari demokrasi ekonomi.

Namun pada saat rakyat yang belum siap, belum mampu membuat keputusan ekonomi. Pakai jalan tengah untuk mengarah pada sistem pasar bebas dengan dukungan hukum yang disertai dengan kepemimpinan pemerintah yang kuat. Model ini yang memunculkan teknokrat-negarawan.

Praktik free trade area, pasar bebas dunia sampai masyarakat ekonomi ASEAN secara global, regional telah memberikan tekanan nyata kepada NKRI sebagai negara terbesar negara berkembang.

Katanya, bahwa negara yang konfigurasi politiknya demokratis, maka produk hukumnya berkarakter akomodatif, dinamis, preventif. Jangan sampai pelaku politik – bahkan setingkat petugas partai – nantinya akan terjebak oleh pasal hukum produk periodenya.

Nusantara masih akrab dengan fenomena bahwa kekayaan ekonomi dan kekuasaan politik terkonsentrasi di tangan beberapa orang. Semangkin runyam, ditambah fakta kekuatan panglima di tangan pemegang kekuasan yang tertinggi. Pengayom masyarakat sibuk main anggaran. [HaéN]