berhala reformasi 3K vs
trio tirani minoritas
Potensi sumber daya kebudayaan Indonesia sangat besar setidaknya terdapat
1.519 adat istiadat dan tradisi, 2.010 kemahiran dan kerajinan tradisional, 785
pengetahuan lokal, 1.370 seni pertunjukan, 1.554 tradisi dan ekspresi lisan,
dan 998 cagar budaya (Statistik Kebudayaan, 2017).
Selain itu, upaya penguatan kualitas pembelajaran dan
pengajaran diharapkan dapat menumbuhkan kecakapan berpikir tingkat tinggi (higher
order thinking skills) peserta didik, yang akan menghasilkan lulusan yang
berkualitas, berdaya saing dan berperan penting sebagai pelaku utama pembangunan
nasional dan daerah (RPJMN IV 2020-2024).
Terdapat 4 (empat) pilar dari RPJMN ke IV tahun 2020-2024
yang merupakan amanat RPJPN 2005-2025 untuk mencapai tujuan utama dari rencana pembangunan
nasional periode terakhir. Keempat pilar tersebut:
1.
Kelembagaan
politik dan hukum yang mantap
2.
Kesejahteraan
masyarakat yang terus meningkat
3.
Struktur
ekonomi yang semakin maju dan kokoh
4.
Terwujudnya
keanekaragaman hayati yang terjaga
Saat itulah beban penduduk usia produktif semakin
bertambah. Ketika penduduk usia lanjut menua sebelum kondisi kaya, maka pemuda
menjadi bagian dari sandwich generation. Pemuda menjadi bagian dari
generasi yang harus menanggung beban ganda, di bawah mereka harus membiayai
anak-anaknya sendiri, namun di atas juga harus menanggung biaya orang tuanya
yang tidak lagi punya penghasilan. Tentunya posisi tersebut semakin menempatkan
pemuda sebagai posisi yang penting (Statistik Pemuda Indonesia, BPS 2017)
.
Efek domino
reformasi yang bergulir dari puncaknya 21 Mei 1998. Kran demokrasi terbuka. Manusia
sipil dan atau manusia militer bak kuda liar lepas dari pingitan Orde Baru. Adu
nyali mendirikan partai politik agar bisa ikut pemilu 1999.
Energi bangsa
terserap oleh perilaku manusia politik dengan segala ambisi, pamrih, hajat,
selera merasa bisa mengatur, mengurus, mengendalikan negara. Asal diberi kuasa.
Tak berah antri. Manusia ekonom atau pengusaha, pemodal multinasional langsung
mendirikan bentukan partai politik.
Karena partai
politik bonek atau perpanjangan tangan, ternyata ujung-ujungnya doyan kursi banget. Di negeri sendiri,
suara pemilih pejawat presiden di bawah standar rata-rata nasional (<20%).
Walhasil,
pasar politik dalam negeri memang tak lepas dari skenario investor politik.
Utamanya dari negara paling bersahabat. Memang Indonesia merasa nyaman diayomi
oleh negara yang lebih besar lagi. Populasinya lebih banyak atau bahkan
berlipat.
Nusantara
masih akrab dengan fenomena bahwa kekayaan ekonomi dan kekuasaan politik
terkonsentrasi di tangan beberapa orang. Semangkin runyam, ditambah fakta
kekuatan panglima di tangan pemegang kekuasan yang tertinggi. Pengayom
masyarakat sibuk main anggaran.
Katanya,
bahwa negara yang konfigurasi politiknya demokratis, maka produk hukumnya
berkarakter akomodatif, dinamis, preventif. Jangan sampai pelaku politik –
bahkan setingkat petugas partai – nantinya akan terjebak oleh pasal hukum
produk periodenya.
Biaya politik
sebagai bukti nyata bahwa jaminan atau timbal-balik menjadi yang pertama, utama
dan segala-galanya. Mendukung penguasa, apalagi yang mau lanjut ke periode
terakhir, ibarat menaruh uang muka. Kalkulasi politik tak bisa mengabaikan
dalil manusia ekonomi. Judi politik menjadi taruhan politik yang mempertaruhkan,
mengorbankan masa depan bangsa demi kekuasaan semu.
Bahasa perencana.
Menjaga keberlajnjutan. keberlanjutan adalah memastikan bahwa upaya pembangunan
untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengkompromikan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri pada saatnya nanti (RPJMN IV
2020-2024).
Beda dengan menyiapkan
generasi masa depan dengan harga sekarang.
Jadi, selama
dunia masih ber-rotasi. Kita tak bisa hidup sendiri dan sendirian. Namun jangan
ikut terhanyut dan terbawa arus dunia. Kalah pongah dengan rayuan sejumput
rumput tetangga yang tampak lebih ranum.
Jangan karena garing di luar negeri, lantas garang di dalam negeri sendiri. Wallahu
a’lam bisshawab. [HaéN]