racikan menu SDM
nusantara rasa rakyat
Beda latar belakang, masuk area
privat keluarga. Tampilan halaman depan, sebagai etalase, show window atau ruang peragaan. Menunjukkan jati
diri. Bukan sekedar perwajahan. Penampakkan polesan seluas tampang dan setebal
kulit muka.
Bahas SDM utawa Sumber Daya Manusia –
bukan Sumber Daya Masyarakat
– jauh dari makna selamatkan diri masing-masing. Antar periode pemerintah, tak
pernah ketinggalan sebut SDM. Bahasa politik, kajian akademis, pendekatan
pembangunan terasa kurang menggigit jika cantumkan lema SDM.
Sejak itu pula, seolah muncul
status, klas, kasta, lapisan di rakyat. Pokoknya, yang dianggap layak sebagai
bangsa potensial. Bukan pelengkap penderita. Bukan sebagai subyek pembangunan.
Zaman Orde Lama mengenalkan jargon
Amanat Penderitaan Rakyat (ampera), Penyambung Lidah Rakyat serta sebutan
lainnya. Barisan BTN (buruh, tani, nelayan) – pokoknya yang masuk kategori wong
cilik – menjadi kekuatan politik, tulang punggung parpol. Sampai menghadirkan
diri dalam bentuk kudeta, pemberontakan PKI, 30 September 1965. Lanjutan dari
Madiun Affair 1948.
Zaman Orde Baru, ramuan politik
berbasis “memanusiakan manusia seutuhnya”. Apa yang disebut dengan ‘rakyat’ seolah bak
klas teri, papan bawah, akar rumput. Kendati Bapak Pembangunan doyan nasi tiwul
dan sebangsanya. Merasa dilahirkan dari keluarga tani, desa, miskin.
Reformasi yang bergulir mulai dari
puncaknya, 21 Mei 1998. Anak bangsa pribumi nusantara termajinalkan,
terpinggirkan karena tak mampu bersaing dengan sesama. Secara alami masuk klas
yang hanya ngebak-ngebaki
nusantara. Banyak tak menambah bilangan, berkurang tak mempengaruhi jumlah.
Istilah uneducared people, permanent underclass,
masyarakat kurang beruntung atau manusia yang berada di tempat yang salah, pada
waktu yang tak semestinya.
Jadi, sebagai SDM, model apakah
pemirsa. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar