revolusi mental nusantara, perokok aktif vs
korupsi pasif
Pekanbaru, (Antara) -
Pakar Kesehatan Prof dr Tjandra Yoga Aditama mengatakan secara angka mutlak
jumlah perokok aktif usia 10 tahun ke atas Indonesia tercatat sebanyak
57.750.592 orang.
"Terdiri atas 56.860.457 laki-laki dan 1.890.135 perempuan," kata Tjandra
Yoga Aditama, yang juga Kepala Balitbangkes Kemenkes RI di Pekanbaru, Kamis
28/5/2015.
Menurut dia,
kebiasaan merokok berhubungan dengan 25 penyakit di tubuh manusia, dari kepala
sampai kaki, karena rokok berisi 4.000 bahan kimia.
"Selain
mencemari udara bersih, perokok aktif juga berpotensi terjangkit serangan
jantung, kanker, dan lainnya," kata dia.
Ia menyebutkan,
berdasarkan data Balitbangkes yang disadur dari data buku fakta tembakau yang
diterbitkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2015), prevalensi
konsumsi tembakau cenderung meningkat baik pada laki-laki maupun perempuan.
Peningkatan
prevalensi lebih banyak pada perempuan dari 1,7 persen pada tahun 1995 menjadi
2,3 persen pada tahun 2013, sedangkan pada laki-laki dari 53,4 persen pada
tahun 1995 menjadi 66 persen pada tahun 2013.
Bahkan, hasil
Riskesdas 2013 menunjukkan konsumsi rokok rata-rata 10,5 batang per hari (10,7 pada
laki dan 5,4 pada perempuan).
Sementara hasil
Global Adult Tobacco Survey-Indonesia, 2011 (usia 15 tahun ke atas) yang
dikerjakan Balitbangkes bersama WHO dan CDC Atlanta USA menunjukkan prevalensi
merokok pria adalah 67,4 persen dan pada wanita 4,5 persen, total
36,1 persen.
Oleh karena itu,
untuk menghindari gangguan kesehatan, ia menganjurkan bagi yang belum
merokok agar tidak mulai merokok. Bagi para perokok, upayakan berhenti merokok
demi alasan kesehatan diri sendiri, keluarga, dan lingkungan.
"Ciptakan lingkungan dengan udara bersih tanpa asap rokok, rokok
elektronik juga bukan produk yang aman bagi kesehatan. Penelitian membuktikan
rokok elektronik dapat mengandung bahan-bahan yang merugikan kesehatan,"
katanya.
. . . . . . .
Di sisi lain, berdasarkan
UU 20/2001 tentang “PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN
1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI”tersurat dan tersirat tentang batasan korupsi pasif
adalah sebagai berikut :
1.
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima
pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya
yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (2) UU 20/2001).
2.
Hakim
atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau memperngaruhi nasihat atau
pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2) UU 20/2001).
3.
Orang yang menerima penyerahan bahan atau keperluan Tentara
Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membiarkan perbuatan
curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c Undang-Undang
nomor 20 Tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2) UU 20/2001).
. . . . . . .
Adapun korupsi pasif adalah sebagai
berikut:
1.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya
yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (2) UU 20/2001);
2.
Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji
untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2) UU 20/2001);
3.
Orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang
yang menerima penyerahan barang keperluan TNI atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a dan huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2) UU 20/2001);
4.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga,
bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan
dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji
tersebut ada hubungan dengan jabatannya (Pasal 11 UU 20/2001);
5.
Pegawai negeri atau penyelenggara negarayang menerima
hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; atau sebagai
akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 12 huruf a UU
20/2001);
6.
Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 12 huruf c UU
20/2001);
7.
Advokat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui
atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi
nasehat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan
kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 12 huruf d UU 20/2001);
8.
Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (Pasal 12 UU 20/2001 UU 20/2001).
. . . . . . .
Tim
“Korupsi dan Orang Miskin”
Didasarkan
hasil Proyek “Korupsi dan Orang Miskin”
yang
berlangsung di Indonesia pada tahun 2000-2001
Diterbitkan
oleh Kemitraan bagi
Pembaruan
Tata Pemerintahan dan Bank Dunia
Membuat
laporan dengan judul :
Penilaian
terhadap Korupsi
Dengan
cara Partsipatif
(Participatory
Corruption Appraisal)
Metodologi
untuk Mengukur Dampak Korupsi
Terhadap
Orang Miskin di Daerah Perkotaan
Muatan laporannya
berisikan antara lain :
Kerangka Korupsi
Orang
miskin pada dasarnya menderita akibat dua jenis praktek korupsi: yaitu korupsi
aktif dan korupsi pasif.
Korupsi aktif
Dalam hal
ini penduduk yang lebih kaya atau lebih berkuasa dibanding dengan siapa mereka
berhubungan sehari-hari, secara aktif mempraktikkan perilaku berkorupsi yang melibatkan
kaum miskin secara langsung. Maka kaum miskin akan dipaksa untuk membayar-atau
tidak menerima apa yang diinginkan. Perilaku tersebut tergolong kriminal:
misalnya apabila melanggar hukum, mensubversi hukum, atau melibatkan jasa atau
bantuan yang tidak sah. Perilaku tersebut tergolong “tidak perlu” apabila
sogokan diharapkan untuk jasa-jasa yang seharusnya diterima secara cuma-Cuma atau
murah (dan jelas harganya). Ini merupakan macam korupsi yang telah dijelaskan
diatas.
Korupsi pasif
Dalam hal
ini kaum miskin terpaksa hidup dengan akibat korupsi yang dilakukan oleh
orang-orang disekelilingnya walaupun mereka sendiri tidak terlibat secara aktif
didalamnya. Mereka hanyalah menjadi penerima dampak negatif dari korupsi
tersebut.
“Korupsi
oleh aparatur negara” (state capture) -yaitu dimana pelaku yang kuat
berkolusi dengan pemerintah untuk mempengaruhi suatu kebijakan atau alokasi
anggaran di tingkat pusat atau daerah, dan dengan demikian menguntungkan
segelintir orang dengan merugikan yang banyak. Dalam hal ini juga termasuk
pencurian aset-aset negara yang berdampak pada ekonomi makro, seperti menghambat
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan biaya pertumbuhan, dan dengan demikian
akan semakin mengurangi kemampuan ekonomi orang miskin untuk membayar jasa-jasa
sederhana yang diperlukan.
“Korupsi
oleh institusi” (institutional capture)-dimana lembaga-lembaga tertentu
seperti pengadilan atau perusahaan air minum dikelola dengan berkorupsi, dengan
demikian
akan mengurangi kinerja serta efisiensi lembaga dan meningkatkan biaya
kelembagaan. Salah satu akibat langsung. dari keadaan ini, ialah bahwa
lembaga-lembaga tersebut hanya bisa diakses oleh penengah (calo) yang akan
menarik komisi.
“Korupsi
oleh perorangan” (individual capture)-dimana orang miskin dirugikan oleh
orang-orang di sekitar mereka yang menyogok atau memeras. Dalam situasi yang
kompetitif seperti itu, siapa yang tidak mau atau mampu membayar akan kalah
dibanding mereka yang membayar.
. . . . . . .
Bentuk
Korupsi dalam Proses Pengadaan Barang dan Jasa
Dikutip
dan disarikan dari Buku Panduan Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Publik, TII, 2006
Suppy
vs Demand. Biasanya, praktik penyuapan dapat dilakukan
apabila ada pertemuan antara si pemberi suap dengan si penerima suap; kasus
terakhir (juga disebut sebagai pemerasan) seringkali diartikan sebagai “korupsi pasif”, akan tetapi arti istilah ini
menjadi salah pengertian karena pelaku pemerasan akan mampu melakukan apa saja
kecuali bersikap “pasif”.
. . . . . . .
Sedangkan korupsi pasif, antara lain : (a) menerima
pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat, (b) menerima penyerahan
atau keperluan dengan membiarkan perbuatan curang, (c) menerima pemberian
hadiah atau janji, (d) adanya hadiah atau janji diberikan untuk menggerakkan agar
melakukan sesuatu, (e) menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya.
( sumber : “TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF NORMATIF”, oleh : M.
SATRIA, SH., M.Kn, Makalah di sampaikan pada seminar
nasional tentang Anti Korupsi pada tanggal 9 Mei 2009 di Hotel Aden Kendari.)
. . . . . . .
Apa
korelasi antara perokok aktif dengan korupsi pasif. Kita simak ikhwal perokok
pasif :
Perokok
Pasif 3x Lipat Berisiko Daripada Perokok Aktif
Tidak ada yang namanya
bebas risiko bagi para perokok pasif. Meskipun sedikit terkena asap rokok,
tetap ada kimia yang masuk ke dalam tubuh dan bisa memicu masalah kesehatan.
Berikut risikonya:
1.
Penyakit Jantung Berapa pun usia Anda,
menjadi perokok pasif meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke. Sebab,
setiap napas yang dihirup berasal dari asap rokok yang mengganggu pembuluh
darah dalam tubuh.
2.
Kanker Paru-Paru Tahukah Anda, perokok
pasif memiliki risiko serupa. Terutama jika Anda tinggal serumah dengan perokok
aktif atau menghirup rokok setiap hari.
3.
Kematian Dini Rokok mengandung berbagai
bahan kimia berbahaya. Sekali saja seseorang mengisap dan mengeluarkan asapnya,
bahan kimia itu pun terpecah dan membahayakan. Perokok pasif akhirnya memiliki
risiko terkena berbagai penyakit sampai kematian dini.
4.
Bayi Mati Mendadak Jika bayi atau anak
kecil menjadi perokok pasif, mereka berisiko mengalami SIDS atau sudden infant death syndrome atau sindrom mati
mendadak.
5.
Gangguan Pernapasan Perokok pasif ternyata
memiliki risiko gangguan kesehatan seperti memperparah asma, sulit bernapas,
batuk berkepanjangan, sampai dengan alergi.
6.
Sistem Imun Anak Sistem imun mereka masih
lemah. Salah satu risiko anak yang jadi perokok pasif adalah pertumbuhan
paru-paru yang melambat, asma, radang saluran pernapasan, infeksi telinga,
pneumonia, dan batuk berkepanjangan.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
. . . . . . .
Yang perlu kita
renungkan, walau tidak sambil merokok, betapa peluang untuk melakukan korupsi pasif
bisa dilakukan secara terstruktur, masif, berkelanjutan serta berdasarkan asas
tahu sama tahu.
Kita tahu, bahwa
pemerintah tidak mempunyai wewenang, apalagi nyali, untuk mengusir, menghalau,
mengekstradisi asap rokok, apalagi membasmi industri rokok. Ahli hisap rokok,
kalau sudah sampai skala kecanduan, susah dilarang. Menyangkut HAM.
Dengan adanya pasal
yang menyiratkan adanya korupsi pasif, justru akan dimanfaatkan oleh oknum
maupun para penganut sekaligus pengawal Revolusi Mental Nusantara. Lima tahun,
2014-2019, bagi penyelenggara negara karena kebagian kursi balas jasa, balas
budi, akan dimanfaatkan seoptimal mungkin.
Selagi calon pimpinan
KPK sedang disaring, dengan saringan versi pro-pemerintah, mereka merasa aman
untuk bergerak bebas. Soal nanti ketangkap tangan, atau apes lainnya, semua
bisa diatur.
Selamat
menikmati artikel dari berbagai sumber. [HaeN]