ketika Jokowi terkontaminasi dan terjebak asas museum-isme
Jargon “Pemimpin Rakyat Lahir
Dari Rakyat” yang pernah terpajang santai di laman metrotvnews.com saat pesta
demokrasi 2014, bersifat multitafsir, mengandung sentilan manis, mengundang
tawa pahit dan nyaris tendensius.. Jika teks ini sebagai asumsi historis,
berarti anak bangsa yang pernah menikmati hidup (bahasa politis dari dilahirkan/dibesarkan)
di istana, keraton, atau tempat bukan untuk rakyat, tidak bisa menjadi pemimpin
rakyat.
Jargon tadi tentu tidak menuding penguasa
tunggal Orde Lama maupun Orde Baru yang bertakhta cukup lama di istana
kepresidenan. Atau, dari satu sisi, banyak fakta yang tidak terkuak. Betapa dampak
tinggal di istana bagi keluarga, anak cucu presiden. Pepatah atau peribahasa “buah jatuh tak jauh
dari pohonnya” secara ekstrem tak berlaku. Walau anak keturunannya merasa bisa, merasa
mampu, merasa layak mendapat warisan negara.
Salah satu warisan penguasa tunggal Orla,
yaitu anaknya merasa hidup di zaman lampau. Merasa betapa berjasanya bapaknya
bagi negara, sebagai Proklamator, sebagai penggali Pancasila, sebagai pencetus
ideologi Marhaenisme. Merasa dirinya cerdas, cantik dan layak menjadi penguasa
seumur hidup partai politik warisan orang tuanya. Merasa anak ideologis, walau
ironis anak garuda melahirkan anak berwatak burung merak.
Kata dalang lebih lanjut, bandar politik
pemenang pesta demokrasi 2014, yang jadi pengendali kepala negara, membanggakan
masa lampau. Memakai asas museum-isme, bukan kampus-isme yang bicara tentang
apa yang ada di depan hidung. Bahkan menembus waktu dan ruang di depan mata,
membeli masa depan dengan harga sekarang.
Babak penutup.dalang bertutur, kisah
Jokowi dimulai dengan mempraktekkan asas museum-isme. Beban masa lampau, atau
tepatnya mewujudkan cita-cita terpendam bandar politik.
Jangan heran, rakyat yang di belakang
Jokowi ingin bangsa dan negara ini melangkah dan maju ke depan. Justru sang
Jokowi malah menoleh ke belakang !!! [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar