Halaman

Rabu, 31 Desember 2014

isteri adopsi

Beranda » Berita » Opini
Senin, 10/01/2005 13:29

ISTERI ADOPSI
ISTERI ADOPSI Tuhan duduk berpangku Tangan terpentang kaku Bermahkota jalinan paku Di Tuhan duduk berpangku
Tangan terpentang kaku
Bermahkota jalinan paku
Di tumpukan salju
Di puncak bukit batu
Diiringi gelak serdadu

Liwat kafilah menderu
Mengacungkan pedang kayu
Menyisakan kepulan debu
Ratusan iblis berseru Tuhan tidak satu!?
Ribuan setan bersatu Tuhan tidak satu!?
Jutaan jin berpadu Tuhan tidak satu!?

Anak gembala memanggul seruling bambu
Terusik berita kalbu
Tuhan menahan senyum pilu
Kawanan ahli kutu buku
Merekayasa dalih semu

Bayangkan Tuhan beranak cucu
Pada hari ke satu
Telah terkorban anak ke satu

Anak gembala memanggul seruling bambu
Terusik berita bisu
Bayangkan Tuhan beranak cucu
Siapa yang lelaki, siapa yang bergincu
Tuhan dapat isteri yang perawan lugu
Diadopsi dari korban permurtadan hari minggu (hn)


Hargailah wakil rakyat

Beranda » Berita » Opini
Senin, 29/01/2007 01:21

hargailah wakil rakyat

Hanya bangsa besar yang bisa menghargai pahlawannya, cetus Bung Karno. Ketika itu, semasa Orde Lama memang revolusi belum selesai dan siap melibas anak kandungnya sendiri. Hanya bangsa berijiwa lapang dada yang mampu menghargai para wakil rakyatnya. Kini, memang korupsi belum usai, bahkan tak ada tanda-tanda surut. Sisihkan rezeki kita, misal Rp 1.000,00 (seribu rupiah) per bulan

TEROR HARGA

Beranda » Berita » Opini
Rabu, 15/01/2003 07:41
TEROR HARGA
Sejauh ini teror bom karbit telah mampu mengelabui daya pikir, daya nalar dan daya logik kita. Berkaitan dengan sistem hankamrata melahirkan kesenjangan antara teori dan praktek. Bagaimana bom itu dirakit, di mana mendapatkan bahan bakunya, siapa saja pelakunya, jaringan internasional yang terkait, skenario peledakan, koordinator lapangan, sasaran ledakan, kaitan antar bom yang meledak - demikian nyaring berdenting nyaris tanpa cacat - mempengaruhi alam khayal rakyat NKRI. Akhirnya rakyat bingung untuk menentukan antara siapa yang bohong dengan siapa yang omomg kosong.


Di awal tahun 2003, syukur tahun barunya hanya satu hari, bom harga meledak serentak di NKRI. Berkekuatan BBM, TDL dan telepon. Korbannya rakyat yang bukan pejabat. Antar pejabat negara adu teori tentang skenario harga. Sedangkan di lapangan harga sembako tak mau kalah bersaing. Para pengujuk rasa dan pengunjuk raga silih berganti berjuang di jalanan. Sang Ibu hanya manggut-manggut terharu. Salah sendiri koq mau jadi orang miskin, komentar Pak Presiden. Mau-maunya jadi kaum papa, sudah melarat keserakat. Enak kan jadi presiden!!! Ternyata senyata-nyatanya bahwa nyatanya daya ledak teror harga lebih dahsyat dibanding teror bom karbit. (hn)

MALAYSIA SERUMPUN TAK RUKUN

Beranda » Berita » Opini
Rabu, 01/09/2010 10:30

Malaysia, serumpun tak rukun

Malaysia walau negara serumpun
Jangan diberi ampun
Malaysia selalu tak mau rukun
Jadi seteru turun-temurun

Jangan lemah terhadap penyamun
Jaga emosi jangan ke ubun

Malaysia puas kalau NKRI jadi gurun
Babat habis hutan rimbun
Geser batas negara bak cabut daun
Kuras isi laut dan timbun
Budaya nasional Nusantara diklaim sebagai harta karun
Cakap kata main sabun
Kirim TKI pulang melamun
Jangan lawan teror dengan santun

Kita sabar dikira pikun
Kita bungkam dikirim racun
Kita diam dianggap dukun
Kita bisu disangka timun
Kita lengah diduga rabun

Ganyang Malaysia tanpa kata pantun
Malaysia bak setan bersusun
Mati satu lapis maju satu alun-alun
Mereka siap tiap tahun
Kalah gertak jangan manyun
Jangan naik turun jakun

Ayo kita bangkit bangun
Ayo kita kumpul himpun
Satukan langkah tangan ayun
Satukan tekad tanpa lantun
Satukan daya dengan tekun

Dari kampung hingga rusun
Dari tukang ojek sampai tukang kebun
Dari pagi hingga terbit embun
Lawan arogansi Malaysia dengan anggun
Buktikan kita bangsa kampiun
Unjuk rasa dengan lantun
Jangan nyalakan api unggun
Kita bukan ayam dusun

(ingat semboyan Malaysia : BERSETERU BERTAMBAH MUTU vs BERMUTU BERTAMBAH SETERU)


FAMILI 100 BINTANG-BINTANG : AGAMA ADALAH MATA PELAJARAN YANG MENJEMUKAN

Beranda » Berita » Opini
Senin, 29/09/2003 07:39

FAMILI 100 BINTANG-BINTANG : AGAMA ADALAH MATA PELAJARAN YANG MENJEMUKAN

Babak utama Famili 100 Bintang-Bintang, Sabtu malam 27 September 2003 di Indosiar, pewakil pertama "Cowok Gaul" menjawab matematika atas pertanyaan mata pelajaran yang menjemukan di sekolahan. Sedangkan pewakil kedua dengan riang spontanitasnya menjawab :"Agama!!!". Memang begitulah dunia bintang-bintang yang diwakili kontingen "Cowok Gaul". (hn)


sampah vs sampah

Beranda » Berita » Opini
Selasa, 22/08/2006 04:36
sampah vs sampah

Bukan saja pemulung yang mengais dan mengantongi rezeki dari sampah. Celebritis pun dengan mengolah sampah keluarga utawa aib keluarga menjadi tontonan yang menarik. Celebritis bukan buaya sebagai komoditas politik, yang penting untung. Perkara buruk muka, cermin tetangga dijual tak jadi soal.


NKRI sudah merdeka Bung! Merdeka dari penjajahan bangsa asing, penjajah oleh bangsa sendiri masih terasa. Media massa sebagai salah satu sarana pembuktian betapa orang bisa hidup di atas penderitaan orang lain. Bukannya mengentaskan kemiskinan, tepatnya menggusur orang miskin. Itulah Indonesia Raya!!! (hn)

DOT dan penjahat perpolitikan

Beranda » Berita » Opini
Rabu, 12/03/2003 12:02

KOBARKAN SEMANGAT "AA GYM" : DOT DAN ........

Celaka duabelas, sial tigabelas – Daftar Orang Tercela (DOT) hanya diperuntukkan bagi penjahat perbankan, eloknya mekanisme DOT bisa ditarik, diulur, dibuat permisif, atau menjadi sangat fleksibel. Seharusnya ketentuan DOT bersifat kaku. Padahal banyak penjahat di NKRI, mulai dari penjahat kambuhan sampai biang penjahat.

Mulai penjahat kebal hukum sampai kebal peluru.
Mulai penjahat kelas teri sampai penjahat berdasi.
Mulai penjahat jalanan sampai penjahat gedongan.
Mulai penjahat sesuap nasi sampai penjahat tujuh turunan.

Keterpaduan politik dengan ekonomi bak dua sisi mata uang, saling memberi makna dan arti. Kejahatan perbankan sebagai bentuk kejahatan nyata di bidang ekonomi. Kejahatan perpolitikan pada umumnya merupakan fungsi dari kejahatan dalam asas karena, oleh, sebab dan untuk uang. Kalau penjahat perpolitikan sulit dikategorikan sebagai Orang Tercela, karena sifat kejahatannya multi dimensi dan multi efek. Bahkan tolok ukur secara agamais nan relijius pun susah mendefinisikan kategori orang tercela untuk penjahat perpolitikan.

Modus operandinya sulit dilacak ketercelaannya, contoh :

þ    Pagi hari merampok uang negara secara seksama, malamnya berdo’a minta kesempatan untuk bertobat sehari saja dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.

þ        Malam hari maling uang negara secara paripurna, pagi hari pemerataan bagi hasil terutama bagi upeti sebagai upaya penyelamatan diri dan muka tetangga dari berita misteri kisah nyata.

þ             Siang hari menggarong uang negara secara terencana, sore hari ngopi sambil melobi koordinasi dengan aparat keamanan.

þ    Sore hari menyedot uang negara secara tuntas, pulang ke rumah kipas-kipas menghitung dosa dan mempersiapkan rencana penilepan skala partai.

þ      Sekarang berkesempatan memanfaatkan uang negara secara rombongan, besok ramai-ramai menentukan skala prioritas pemanfaatan lebih lanjut.

þ          Kemarin hanya menghitung uang negara secara tersamar, nanti menyiapkan nama dan nomer rekening terselubung atas nama rakyat kecil yang sulit terdeteksi oleh sistem pemeriksaan.

þ        Sekarang menguras uang negara secara sapu bersih, besok menggantinya dengan dana nonbujeter sebagai penyelamatan hidung ketua dari sodokan petugas kebersihan.

þ         Hari ini dengan dalih apapun mencoba mengamankan uang negara secara elegan, lusa dengan pasal asal-asalan mengamalkan uang negara ke kroni-kroninya atau menggulirkan politik uang demi memenangkan Pemilu 2004.

þ        Kesempatan pertama untuk menggelapkan uang negara secara berkesewenangan, kesempatan berikutnya sesuai kewenangan untuk mencuci uang negara. Masih banyak lagi wacana yang bisa ditelurkan. (hn)


Selasa, 30 Desember 2014

citra politik vs politik citra

Beranda » Berita » Opini
Rabu, 23/01/2008 04:13

citra politik vs politik citra

Konon, kata yang empu keris, para penyelenggara negara ini lebih mengacu pada kredibilitas politik daripada kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, penduduk, rakyat. Kredibilitas politik - khususnya di kacamata asing alias mancanegara, terlebih para investor, badan dan atau negara pemberi hutang jangka pendek maupun jangka panjang, penyandang dana teroris internasional


ALIRAN DANA vs ALIRAN SESAAT

Beranda » Berita » Opini
Jumat, 25/01/2008 09:36

ALIRAN DANA vs ALIRAN SESAAT
Mau untung malah buntung. Untung tak dapat diraih tapi bisa ditunggu kehadirannnya, Malang dapat didatangi dari segenap penjuru tanah air. Pasca manusia Pancasilais hasil cetak Orde Baru menjelma menjadi Reformis di segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Di zaman yang serba transparan ini kita harus main jelas-jelasan. Semua bisa dikompromikan. Mau resmi sesuai peraturan tertulis, prosedural malah kapiran, lambat, lama, butuh waktu, birokratif, sakit hati, bertele-tele, menguras energi, berharga atau bernilai rupiah alias harus keluar biaya ekstra, terkadang harus diulang dari awal, menunggu sang pengambil keputusan


Senin, 29 Desember 2014

Waktu Produktif, Hilang di Jalan atau di Rumah?

Waktu Produktif, Hilang di Jalan atau di Rumah?



Perjalanan Waktu
Firman, peringatan dan ketetapan Allah tentang waktu, diabadikan di Al-Qur’an, dengan menyebutkan pandanan waktu di ayat pertama di beberapa surat, seperti : “Demi fajar,” Al Fajr (fajar), “Demi malam apabila menutupi (cahaya siang),” Al Lail (malam), “Demi bintang ketika terbenam.” An Najm (bintang), “Demi waktu matahari sepenggalahan naik,” Ad Dhuhaa (waktu matahari sepenggalan naik), dan “Demi masa”,  Al ’Ashr (masa).

Pada umumya manusia melihat waktu secara maknawi, belum pada tataran hakekat. Perjalanan dan pergantian waktu sebagai fungsi berbagai kesempatan. Waktu dikaitkan dengan pertambahan umur dan sisa perjalanan hidup di dunia.  Evaluasi dilakukan atas keberhasilan mewujudkan keinginan, meraih cita-cita, mendapatkan sasaran, menyelesaikan target, memperoleh harapan atau sesuatu yang terukur secara duniawi.

Semakin kita melangkah, seolah semakin jauh dari tujuan dan harapan hidup. Kehidupan dunia semakin dilacak, dicari, diburu, dikejar, diuber, diudak, malah semakin jauh dan menjauh. Terlebih jika kita memakai kaca mata dunia yang menakar dan mengukur waktu berdasarkan faham ‘waktu adalah uang’ (time is money).

Waktu Produktif
Kemacetan di perkotaan telah menyedot tingkat pemborosan sampai 2-5% dari PDB negara-negara Asia, karena hilangnya waktu produktif dan tingginya biaya transportasi yang harus ditanggung (ADB, 2013). Kajian Bank Pembangunan Asia ini membuktikan betapa waktu produktif bisa hilang atau berkurang selama kita berada di perjalanan, berangkat/pulang kerja. Kita lebih akrab dengan istilah ‘tua di jalan’. Anak sekolah pun harus berjuang agar masuk sekolah pagi tidak terlambat. 

Kalau tidak macet, berarti bukan kota. Belum sampai di tempat kerja, sudah mandi keringat. Emosi dipacu waktu, enerji tergerus di jalan. Pulang kerja tepat waktu, berjuang melawan waktu di jalan, menjadi santapan harian. Karena terbiasa, kita tak merasa rugi jika ada waktu sholat terliwati. Tingkat keamanan, kepadatan penumpang di kendaraan umum, menjadikan waktu hanya terbuang percuma. Pasrah pada kondisi tanpa punya hak tawar. Naik kendaraan pribadi, bisa menjadi budak roda, menjadi pengkonsumsi BBM yang menjadi beban pemerintah.

Pada awal tahun 2013, jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 121,2 juta orang dengan TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) atau persentase jumlah angkatan kerja yang bekerja dan mencari kerja dibandingkan dengan penduduk usia kerja yang ada sebesar 69,2% dan tingkat pengangguran terbuka sebesar 5,9%. Jika dilihat dari status pekerjaan, 35,7 juta bekerja tidak penuh, dengan rincian 22,2 juta bekerja paruh waktu dan 13,6 juta setengah menganggur.

Usaha Produktif
Hubungan timbal balik antara waktu produktif dengan bekerja, sangat dinamis, fluktuatif dan kondisional, terlebih ada batasan formal yaitu ‘bekerja tidak penuh’ dan ‘setengah menganggur’. Jangan ditafsirkan kalau ibu rumah tangga, yang menghabiskan waktunya di rumah, tidak mampu produktif. Mimimal jika pekerjaan rumah tangga diserahkan ke pihak ketiga atau penyedia jasa, yaitu pramuwisma, terjadi penghematan yang signifikan.

Waktu produktif memang menjadi hak milik manusia usia produktif (15-64). Tantangan kehidupan, generasi muda atau pemuda (16-30 tahun) lebih menyukai budaya instan. Bekerja bak seekor burung, berangkat pagi pulang sore menenteng rupiah. Di rumah, tak peduli dengan urusan rumah tangga. Pulang untuk makan, tidur, dan bangun untuk berangkat kerja. Kegiatan yang nampak sibuk, melakukan sosialisasi alias kumpul dengan senasib. Membunuh waktu dengan berbagai cara.


Sementara ini, manusia yang lanjut usia (lansia) dikaitkan dengan angka harapan hidup, berpotensi memperkuat kohesi atau modal sosial (social capital) antar kelompok penduduk maupun lintas generasi. Para penikmat usia pensiun, walau sudah tidak mempunyai pekerjaan tetap, tetapi tetap bekerja. Walau sudah mempunyai penghasilan tetap, tetap sibuk menjemput rezeki dari Allah. Kegiatan sosial sampai kegiatan profesional bisa dikerjakan oleh para lansia. Sebagai usaha produktif.dalam rentang skala finansial maupun skala amaliah. [HaeN]

Minggu, 28 Desember 2014

STOP, PAMER BODOH !!!

Beranda » Berita » Opini
Selasa, 09/06/2009 09:37

STOP, PAMER BODOH !!!
Memang enak jadi rakyat, tinggal contreng siapa dari 3 kandidat RI-1 dan RI-2 yang akan masuk istana sampai lima tahun ke depan. Zaman edan,dengan berhala baru versi Reformasi yaitu kekayaan, kekuatan dan kekuasaaan. Media massa dengan jeli dan cermat menayangkan dan mewartakan sosok kandidat sampai visi, misi tanpa risi. Ternyata, dalam sesaat mereka menampilkan citra yang menurut bahasa rakyat adalah tak jauh dari pamer kebodohan.

Pertama, bayangkan kadar agama seorang oknum capres ditentukan karena ayahnya pendiri NU di provinsinya, ibunya anggauta Aisyiah Muhamaddiyah. Padahal secara politis Gus Dur dan Bung Amien Rais tak menyejukan bangsa, apalagi menyejahterakan ummat.

Kedua, turun gunung dengan beraksi di bantaran sungai, tempat pembuangan akhir sampah, pasar tradisional, bahkan sampai melongok LP Wanita, yang secara seremonial lima tahun sekali.

Ketiga, mereka terpengaruh bahwa untuk berbuat banyak untuk rakyat harus jadi presiden. Terlebih dengan kekayaan mereka kemungkinan besar kurang peka, tidak tanggap, tidak ambil pusing dan daya pedulinya sebatas kata terhadap wong cilik.

Rakyat sudah bisa menerawang bagaimana mereka sebenarnya. Namun pilihan berpulang kepada kita untuk memilih yang santun, tidak cengangas-cengenges, omong asal buka mulut, memamerkan keakuan, yang notabene adalah menonjolkan kebodohan (hn).


Berdirinya Parpol di Indonesia bagaikan tumbuhnya jamur di musim hujan

Beranda » Berita » Opini
Selasa, 15/07/2008 02:24

FENOMENA BERDIRINYA PARPOL BAGAIKAN JAMUR TUMBUH DI MUSIM HUJAN

Tidak bisa dibayangkan begitu banyaknya Parpol yang muncul kalau tidak salah ada 34 Parpol dan Parpol baru ada wajah baru tapi stok lama. Berdirinya Parpol memang sepertinya sudah ditunggu-tunggu setiap 2  tahun menjelang Pemilu, apakah dengan begitu banyaknya Parpol akan efesien? sudah jelas tidak disatu sisi merupakan hak warga negara Indonesia untuk mendirikan Parpol tapi disatu sisi terjadi pemborosan uang rakyat, karena sudah barang tentu Pemerintah akan mensubsidi Parpol dan berapa milyar rupaih yang akan keluar setiap tahunnya. Kenapa bernafsu ingin mendiirkan Parpol, karena ingin mencari kekuasan dan ingin melanggengkan kekuasaan serta ingin mendapat penghargaan atau pun pengakuan.

Kami cenderung Parpol yang ikut Pemilu paling tidak 8 Parpol saja sudah cukup ramping dan menghemat uang negara alias uang rakyat, kami ingin tertawa geli, persis seperti liga sepak bola Indonesia, lihat saja berapa klub sepak bola yang ikut kompetisi liga Indonesia dan berapa klub yang bubar karena tidak adanya dana, jadi Pemerintah juga sangat sulit untuk membatasi jumlah Parpol yang ikut Pemilu, karena Pemerintah juga kan diisi oleh orang-orang Parpol, jadi satu sama lain memiliki kepentingan, demikianlah sekilas fenomena Parpol yang menjamur menjelang Pemilu 2009, yang penting kita jangan salah pilih dan jangan salah pilih kucing didalam selimut.(nn)


Sabtu, 27 Desember 2014

UNEG-UNEG DIAM (UUD) : TRITURA VERSI REFORMASI

Beranda » Berita » Opini
Kamis, 24/10/2002 14:32

UNEG-UNEG DIAM (UUD) : TRITURA VERSI REFORMASI

Salah satu ataupun benar semua yang menunjukkan betapa lihai, piawai, julig maupun kesederhanaan pikiran the smilling general Soeharto dalam meninabobokan ras Melayu yang mendominasi watak bangsa Indonesia, di awal Orde Baru, adalah dengan cara membubarkan PKI dengan segala ormas-ormasnya. Selain sebagai organisasi terlarang, ajaran-ajaran komunis pun dinyatakan terlarang terang-terangan, baik dari segi peredaran faham maupun diperjualbelikan naskahnya. Ikhwal ini dilengkapi dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa, yang mengadili benggol dan dedengkot PKI.

Masalah bubarnya Kabinet Dwikora/100 Menteri direalisasikan dengan pembentukan Kabinet Pembangunan. Soal penurunan harga diimbangi dengan kurs dollar berdasarkan ketetapan pemerintah. Akhirnya secara politis dan ekonomis Soeharto bisa bertahta selama 6 kali pemilu, berturut-turut. Tanpa ada itikad untuk menuntut, apalagi mencabut mandataris presiden. Seolah semua nyali dan hati nurani menjadi ciut. Semua komponen bangsa, khususnya Angkatan 1966 turut-miturut saja. Para pemanfaat kesempatan malah mematut-matut diri untuk ikut, daripada kesikut lebih baik bertopeng wajah kecut. Sampai ada yang mengekor mBak Tutut. Semua sudah kepincut untuk nunut dan kebacut untuk katut. Poros kekuasaan diciptakan Soeharto secara telak (menggalang kekuatan Golkar, ABRI dan konglemerat sebagai mesin politik), diimbangi para pejabat negara atau birokrat bisa bermain dalam KKN.

Cerita tentang Reformasi, konsepnya hanya melengserkeprabonkan Presiden Soeharto dari singgasana. Adegan berikutnya bak layang-layang putus talinya, diombang-ambingkan persaingan bebas. Semua berimprovisasi sesuai selera, semua unjuk raga tanpa peduli. Antiklimaks Tritura versi Reformasi yang berhasil yaitu :

Pertama, munculnya puluhan partai politik berdasarkan hukum rimba, semua berorientasi ke kursi. Parpol merupakan fungsi dari kekuasaan yang melahirkan ketidakpuasan dan kebuasan; fungsi dari kewenangan yang melahirkan ketidaksewenangan dan sewenang-wenang. Baik itu parpol sempalan, parpol kembar, barisan sakit hati, macam ompong ataupun model kubu-kubu. Pengurus parpol tentunya tidak mau masuk kategori "kurus".

Kedua, naiknya berbagai harga dengan dalih kurs dollar mengikuti hukum pasar internasional atau perdagangan bebas dunia, khususnya IMF. Jangan mimpi kalau harga-harga akan turun, kendati rupiah menguat. Pengangguran, termasuk pengangguran politik menjadi hal biasa. Orang Kaya Baru atau konglomerat mini bertimbulan, baik di jalanan maupun di tingkat parlemen.

Ketiga, terbentuknya Kabinet Balas Jasa sesuai asas demokrasi jalanan, yang siap bongkar pasang. Komposisi kabinet diselaraskan dengan komposisi parpol pemenang pemilu. Teori antrian agaknya susah ditrapkan, orang parpol yang berkedok wakil rakyat akan mencari upaya terobosan untuk percepatan nasib.

Akhirnya, memasuki tahun keempat Reformasi, watak Melayu yang masih kental dan menyebalkan tak merasa dininabobokan oleh berbagai krisis. Pertikaian dan konflik selalu diperbarui secara sistematis dan permanen. Tokoh-tokoh yang ditayangkan hanya itu-itu saja, hanya beda status. Himbauan pemerintah lebih bersifat retorika, ditimpali dengan silang kata oleh para penyelenggara negara. Langkah politis dan ekonomis yang dicanangkan pemerintah selalu menjadi mentah sebelum matang. (hn)

Jumat, 26 Desember 2014

VOLVO BUNG AMIEN RAIS

Beranda » Berita » Opini
Selasa, 03/06/2003 06:48

VOLVO BUNG AMIEN RAIS
Celaka duabelas
Sial tigabelas
Ketika Swedia tak berbalas
Bung Amien Rais wajah memelas
Mengganti Volvo dengan Bajaj beda klas
Agar lincah melihat rakyat dengan jelas
Siang malam bisa kerja bebas
Sampai akhir jabatan hutang belum tentu impas
Hutang karena kompromi politik bebas
Sampai hutang agenda reformasi seolah tanpa lunas
Rakyat sabar menanti sampai ambang batas (hn)


zina politik

Beranda » Berita » Opini
Senin, 09/08/2004 12:30
zina politik
Jika kawanan elit, kader, ataupun dedengkot parpol mengatakan bahwa platform parpolnya ada kesamaan dengan platform parpol lainnya, jelas sebagai tindakan mengelabui hati nuraninya sendiri. Rakyat akan jawab, kalau sama platformnya tidak perlu mendirikan parpol baru. Merangkul parpol lain yang platformnya sejenis sebagai tindakan mubazir. Menggauli parpol lain yang platformnya bertolak belakang sangat mengharukan alias zina. 24 parpol jelas tidak ingin gratisan. Semua ada maunya. (hn)