Halaman

Selasa, 28 Februari 2017

politik gizi buruk dan kambing hitam bunting



politik gizi buruk dan kambing hitam bunting

Bukan salah bunda mengandung. Bukan! Sama sekali bukan! Cuma, karena belum meminang sudah menimang. Kendati aneka fakta penyebab yang sudah terungkap, belum menikah sudah beranak. Termasuk peribahasa “lain ladang, lain belalang”. Arti yang diharap adalah “lain hukum, lain pasal”.

Alenia pertama tadi sebagai pemanasan untuk masuk mendalami, memperlebar, maupun memperluas alenia berikutnya. Jangan terkesima dengan judul yang merupakan dua métafora, yaitu hanya pemakaian kata atau kelompok kata untuk menyatakan maksud yang lain, dengan pengertian bukan arti yang sebenarnya/sebetulnya.

Kita ingat, hafal akan hukum politik yang berujar : Pertama. Kebijakan politik tidak pernah salah dan tidak bisa dipersalahkan. Kedua. Jika ternyata dikemudian hari diketemukan fakta bahwa berbagai kasus kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara akibat kesalahan kebijakan  politik, maka lihat ikhwal pertama.

Koalisi jelang pilpres 2014, tidak berlaku di provinsi maupun di kabupaten/kota saat pilkada serentak. “Dalam laut bisa diukur, dalam hati tidak bisa ditebak” yang menjadikan koalisi menjadi koalisi banci, koalisi abal-abal, koalisi setengah hati. Sesuai cuplikan lagu “ada uang, abang sayang” berlaku resmi di proses politik Nusantara.

Rakyat tak perlu heran bin pusing memikirkan tingkah laku badut politik yang sedang naik daun. Model tampilan apa saja tinggal rakyat saksikan hidup-hidup. Nuansa mistis bukan isapan jempol, memang itu syarat untuk tetap eksis di panggung, pentas, palagan politik.

Ayo bangkit sadar, jangan sampai tiba-tiba merasa asing dan terasing di negeri sendiri. [HaèN]

politik taat asas, pulang kandang sebelum maghrib



politik taat asas, pulang kandang sebelum maghrib

Entah salah sanjung, keliru puji-puji orang tuanya, sehingga sang anak merasa serba merasa. Sampai-sampai berani merasa bahwa kekuasaan yang pernah diraih nenek moyang dapat diwariskan. Jadi ingat kasus Siti Aisyah vs Kim Jong-Nam yang sedang dan masih marak. Kasus yang bisa mengusik, mengganggu wibawa negara di mata dunia.

Namanya anak kesayangan, kebanggan keluarga, kalau hal yang dilarang malah sengaja dicari jalan keluarnya. Jangan pulang larut malam. Diterjemahbebaskan, kalau pulang pagi tidak salah. Tidak melanggar aturan, tata tertib keluarga dan norma lingkungan. Banyak yang melakukannya.

Pasca pesta demokrasi, hanya kalah tipis dengan juara umum. Bukannya cepat-cepat pulang mawas diri. Kian kemari umbar rasa sesal. Bukannya merapatkan barisan, menuntut ilmu dan berguru ke orang pintar. Tapi tetap mewariskan kekuasaan dan kenikmatan dunia ke anak cucu. Jadilah politik sebagai perusahaan keluarga. Jadilah kekuasaan diusahakan jatuh ke tangan keluarga, kerabat atau sanak keluarga.

Penyebab utama bencana politik lokal sampai nasional dikarenakan analisa politiknya sudah ketinggalan zaman. Cuma mengandalkan naluri, insting atau nafsu mendapat hasil yang optimal dengan modal pas-pasan, apa adanya, minimalis. Itu masih baik kawan, bisnis politiknya tetap jalan. Ketika tangan kanan memberi, tangan kiri tidak tahu. Sebaliknya, ketika tangan kiri “menerima”, tangan kanan pura-pura tidak tahu.

Ironis binti tragis binti miris, kendati tidak terlambat dibalik, namun tetap gosong. Walau sudah diaduk-aduk, diudak-udak, namun tetap ngintip, berkerak. [HaèN]

ketika agama menjadi komoditas dan taruhan politik



ketika agama menjadi komoditas dan taruhan politik

Dinamika politik Nusantara yang memasuki area abu-abu di periode 2014-2019. Walau di panggung, pentas, palagan politik tampak jelas para pelaku, pegiat, petugas partai tidak mengenal pasal haram dan pasal halal. Ciri yang menonjol pada tiga aspek : pikir, tindak, kata.

Pertama. Tanpa malu menampakkan olah pikir yang tak perlu berpikir panjang lebar, apalagi masuk skala bijak dan bajik.
Kedua. Bebas aktif berindak apa saja, peduli amat dengan setan lewat. Anggap rakyat tak melihat apalagi menyaksikan tingkah lakunya yang ditayang ulang di media massa berbayar.
Ketiga. Tiada rasa sungkan buka mulut, berucap maupun bercuap, tanpa sensor hati nurani, yang penting berani salah dan memang salah.

Agar tak salah kamar, kita masuk ke Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia, Depdiknas 2008, terdapat lema komoditas n barang, dagangan, produk.

Ketemu berapa perkara, pasal apa saja kalau iseng menyebut agama menjadi komoditas politik. Secara acak kita ambil peribahasa yang menggunakan kata ‘asap’, antara lain :
“Kalau tak ada api, masak ada asap”. Artinya, bila tak sebab tentulan tidak ada akibat.
“Ada asap ada api”. Artinya, beberapa hal di dunia ini amat sulit atau bahkan mustahil disembunyikan.
“Angin tak dapat ditangkap, asap tak dapat digenggam”. Artinya, rahasia tak selamanya dapat disembunyikan, suatu saat akan terbongkar juga.

Jangan bertélé-télé, bumbunya apa kata wong Jawa. Walau ini memang tulisan, olah kata sepélé. Sekedar menghibur diri. Ayo kawan, agar tampak bernas, kita simak berita lama yang tak akan basi, usang, lapuk diterjang zaman. Ada berita, simak saja di bawah ini :

Kader PDIP anggap Megawati setara Profesor Doktor
Description: http://cdn.klimg.com/merdeka.com/media/i/a/logo-detail-www.pngReporter : Muhammad Sholeh | Rabu, 16 Oktober 2013 20:56

Description: Kader PDIP anggap Megawati setara Profesor Doktor
Megawati. ©2012 Merdeka.com/dwi narwoko
Merdeka.com - PDI Perjuangan tidak mempermasalahkan gelar akademis atau pendidikan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Meski hanya lulusan SMA, namun Megawati dinilai sebagai profesor doktor di dunia politik di internal partai PDIP.

Sekretaris Fraksi PDIP Bambang Wuryanto mengatakan, walaupun belum bergelar sarjana, Megawati telah melampaui intrik-intrik politik yang beraneka ragam. Mulai dari zaman orde baru Soeharto hingga saat ini menjadikan Megawati matang dalam berpolitik.

"Ibaratnya, beliau itu bergelar Profesor Doktor dan saya Bambang Pacul ibaratnya baru lulus SMP, jadi saya patuh sama beliau dan beliau guru politik saya," ujar Bambang di sela-sela acara Rakornas PDIP di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (16/10).

Menurut Bambang, Megawati memiliki pengalaman politik yang luar biasa banyaknya. Dari semasa ayahnya Presiden Soekarno menjabat sebagai Presiden pertama di Indonesia.

Bahkan, lanjut Bambang, Megawati juga sempat diasingkan oleh lawan politik ayahnya di masa transisi orde lama menuju orde baru.

"Dia punya pengalaman politik yang begitu banyak, zaman di istana beliau ditendang keluar, dia dimusuhi, dia dibilang punya penyakit lepra, orang yang mau dekat dengannya takut sehingga orang menjauhi dia dan tidak mau mendekat," beber Bambang.

Anggota Komisi VII DPR itu menambahkan, Megawati memiliki strategi politik yang tak mudah ditebak oleh lawan politiknya. Termasuk kadernya sendiri.

"Pengalamannya beliau (Megawati) di politik jungkir balik dan karena itu dia punya banyak cara untuk memecahkan masalah. Strategi politiknya luar biasa," jelas Bambang.

"Beliau memang belum S1 seperti orang-orang itu katakan, tapi kalo soal politik Bu Mega itu sudah bergelar Profesor Doktor," tandasnya. [ian]

- - - - - -
Namanya berita, tak perlu diperdebatkan. Sudah terlanjur. Apalagi substansinya memang tidak latak, pantas, patut untuk menjadi bahan acara, atraksi, adegan di doalog, diskusi, debat media televise berbayar sekalipun. Biarlah terjadi proses pembodoha diri sendiri. Simak peribahasa yang saya sertakan di atas.

Yang jelas kawan, proses selanjutnya sejak berita tadi ditayangkan, maka ada pihak yang menggunakan “aji godhong garing” dalam mentuntaskan ambisi, angan-angan, fantasi politiknya. Jadinya, seperti kejadian nyata yang menjadi sasaran empuk para awak media massa berbayar. [HaèN]

dinamika politik Nusantara mendorong terwujudnya politik dinamisme



dinamika politik Nusantara mendorong terwujudnya politik dinamisme

Cukup mengacu pada satu lema di Kamus Bahasa Indonesia, Depdiknas 2008, yaitu dinamisme n kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yg dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dl mempertahankan hidup.

Dinamika politik Nusantara yang memasuki area abu-abu di periode 2014-2019, ternyata membawa hikmah tersembunyi. Masa transisi ini terjadi bencana politik,bak proses metamorfosis untuk menjadi manusia politik yang serbamau. Tuah reformasi yang dioplos dengan ramuan, resep, rumus, formula revolusi mental, demi kepentingan dan kebijakan partai maka laku apapun menjadi halal. Pelaku, pegiat, pekerja partai mendewakan akal, mengangungkan daya akal, sampai kehabisan akal, semata hanya meraih sisi dunia. Prestasi diukur dari keberhasilan dan sukses terukur secara fisik. Padahal sudah suratan sumpah janji dalam mempraktikkan tugas, fungsi dan wewenang sebagai penyelenggara negara.

Kalau rakyat biasa bisa berbuat banyak dan bermanfaat bagi tanah air, karena mereka bekerja, berkarya, berprestasi tanpa pamrih. Pamrihnya hanya mencari sesuap nasi. Rakyat tidak mengenal kalkulasi politik. Tidak perlu dan butuh biaya politik untuk mengabdi kepada nusa bangsa, ibu pertiwi. Bagi rakyat jelata, pengorbanan dirasakan tak sebanding  dengan kemurahan dan keramahan alam. Nyaman di negeri tanpa konflik agama, sosial, dan politik. Kerja layak dan manusiwi dengan waktu tersedia 24 jam sehari. Rakyat kecil tak pernah iri hati, dengki apalagi dendam politik kepada segelintir anak bangsa yang sukses duniawi. [HaèN]