Halaman

Sabtu, 25 Februari 2017

Menggarap Makna Harap Untuk Dilaksanakan



Menggarap Makna Harap Untuk Dilaksanakan

Ujaran, pepatah bijak berpijak pada cara memaknai ‘harap’ memang penuh versi dan variasi. Beda redaksional, namun substansinya tidak jauh beda. Tiap adat mempunyai pepatah tersebut. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Hidup jangan terlalu banyak berharap. Kalau tidak terwujud, menyebabkan penyesalan”.

Pepatah tadi memang bagian dari budi pekerti yang diterapkan dalam bagaimana kita bertindak dan menyikapi hasilnya.

Sebagai hamba Allah, kita diwajibkan selalu berusaha. Termasuk usaha meningkatkan potensi diri, kapasitas diri agar agar ruang dan peluang usaha lebih terbuka. Mengusahakan sesuatu, sekecil, sesederhana apapun, harus memakai ilmu. Berkah ilmu bisa menambah daya juang yang ujung-ujungnya akan menghasilkan yang mempunyai nilai lebih, nilai tambah.

Apapun ikhtiar kita, mulai dari pagi sampai pagi hari berikutnya, soal hasil merupakan hak prerogatif Allah. Perjalanan hidup seiring dengan proses perubahan waktu dan pertambahan usia/umur manusia.

Jangan lupa, hubungan antara usaha dengan hasil bukan sesuai hukum sebab akibat. Tidak bisa dihitung secara matematis. Hasil tidak terkait dengan berbanding lurus/berbanding terbalik dengan usaha. Ada campur tangan Allah.

Secara léksikal, kata ‘harap’ menjadikan proses kehidupan terasa kadar, nilai dan kandungan releginya. Selain maknawi ‘harap’, penggunaannyapun menjadi multimanfaat, luwes untuk diterapkan pada berbagai bentuk dan tingkatan kejadian perkara kehidupan. Dipraktikkan saat kita berinteraksi dengan Allah, saat kita bersilaturahmi dengan sesama umat, saat kita ramah lingkungan.

Ada 3 (tiga) perkara secara semi ékstrém terkait erat dengan penggunan, pemanfaatan makna ‘harap’.

Pertama. Jangan terlalu berharap, sesuai pepatah di alenia pertama. Menghadapi masa depan yang seolah tidak menentu, jangan harap was-was. Hidup adalah harapan, hadapi dengan optimis. Mencari kehidupan dunia, sebagai hamba Allah,  wajib berjibaku. Peras keringat, putar otak, banting tulang; tangan jadi kepala, kepala jadi tangan, dilakoni dengan penuh semangat. Soal hasil, apakah sesuai harapan atau tidak, adalah hak prerogatif Allah.

Pertanyaan mendasarnya adalah, kepada siapa kita berharap, meletakkan harapan, agar apa yang kita harapkan terwujud, tercapai sesuai harapan. Apa yang harus dilakukan pada saat kuta merasa putus asa, patah harapan atau semangat hidup menjadi kendor.

Bukan tanpa sebab jika  surat Al Faatihah dinamakan pula As Sab'ul matsaany (tujuh yang berulang-ulang) karena ayatnya tujuh dan dibaca berulang-ulang dalam sembahyang. Jadi, kita merujuk [QS Al Faatihah (1) : 5] : Hanya Engkaulah yang kami sembah[a], dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan[6].”

Penjelasan :
[a] Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.

[b] Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.

Gamblang, jelas kandungan ayat di atas. Agar lebih mantap, kita simak Asmaul Husna yaitu nama-nama Allah yang telah disebut di dalam al-Qur’an dan Hadis, yaitu Ash-Shamad yaitu Maha Diperlukan/Maha Diminta/Yang Menjadi Tumpuan, yaitu selalu menjadi tujuan dan harapan orang di waktu ada hajat keperluan. Yang Maha Dibutuhkan, tempat meminta. Dia-lah  tumpuan segala harapan.

Muncul pertanyaan, wasangka atau kebimbangan hati tentang bagaimana bentuk harapan yang bisa kita harapkan dari Allah. Bertransaksi dengan Allah secara total, daru hulu hingga hilir.

Hidup ini merupakan anugerah karunia besar dari Allah dan juga merupakan fungsi harapan. Dianjurkan agar kita senantiasa kita mengisinya dengan hal-hal yang besar, sebagai wujud syukur kita kepada-Nya. Rasulullah saw bersabda: ”Sesungguhnya Allah menyukai hal-hal tinggi dan mulia. Dan ia tidak menyukai hal-hal yang remeh” (HR Thabrani; Shahih).

Olah pikir, ragam ucap dan pola tindakan kita fokus atau berdasar pada hal-hal besar, maka yang kecil-kecil akan ikut terbawa. Tapi kalau pikiran sudah penuh terisi oleh hal-hal kecil, maka hal besar tidak akan mendapatkan tempat.

Kita wajib bercita-cita tinggi, sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya Allah menyukai permasalahan yang tinggi-tinggi dan mulia dan Allah membenci yang biasa-biasa.” [HR Thabrani]

Permasalahan yang tinggi-tinggi dan mulia’, bukan berarti terjun langsung mengurus negara, menjadi wakil rakyat atau sesuatu profesi yang formal dalam skala nasional. ‘Yang biasa-biasa’, perlu juga kita renungi bersama, artinya jangan sampai malah kita ragu dan takut melakukan pekerjaan yang masuk kategori ‘biasa-biasa saja’.

Kedua. Jangan memutuskan harapan orang lain. Islam mempunyai, mengajarkan adab menghormati tamu. Termasuk tamu yang tak diundang, dengan cara jangan memberi waktu dan peluang untuk datang. Menghadapi tamu yang tak diharapkan, Islam juga punya kiat, tips jitu.

Saat di rumah, ada pengemis, peminta-minta datang dan ucapkan salam. Salam wajib kita balas. Soal maksud dan tujuan tamu, harus kita hadapi dengan santun. Karena mereka, atau siapa saja yang datang mengutarakan butuh bantuan, tentu mempunyai segudang harapan. Mereka menakar diri kita bisa diharapkan memberi bantuan atau sesuai keinginan harapan mereka.

Memang akan terjadi perang batin. Terlebih jika yang butuh bantuan, apalagi yang sudah kita kenal atau akrab dengan kita, secara duniawi tidak ada masalah atau malah di atas kita. Kita menjadi ragu, heran dan rasa kesal mulai ikut andil.

Putuskan perkara karena Allah. Jika tidak bisa membantu utuh, bantulah semampu diri kita. Kita usahakan meringankan beban masalah orang lain. Ibarat seteguk air sangat berharga bagi orang haus, kehausan.
Bersyukur, terjadi diluar dugaan bahkan harapan penulis. Mau keluar rumah, di halaman ada kucing sedang minum air hujan yang tertampung di gayung. Kucinng menoleh takut-takut. Keseharian kucing menjadi perusak tanaman di pot, karena cari tempat buang tahinya. Yang punya kucing peduli amat dengan tidak menyediakan tempat beol kucing. Terbesit, biarkan kucing minum. Saya urung keluar, dan masuk rumah lagi. Kejadian ini tidak terkait langsung dengan jangan memutuskan harapan orang lain, tetapi ada nuansa, jiwa yaitu jangan memutuskan hasrat makhluk hewan yang sedang minum, walau dengan rasa takut.

Bayangkan diri kita saat berharap pertolongan dari Allah. Kita tegakan sholat lima waktu, baca surat Al-Faatihah, merasakan betapa kecil dan tak berarti diri kita di hadapan-Nya. Apalagi posisi kiat sebagai peminta-minta, mengemis dan berharap bantuan-Nya.

Ketiga. Jangan memberi harapan. Orang tua memberi semangat anaknya dengan pujian dan janji. Bahkan perusahaan menyiapkan bonus bagi karyawannya yang prestasinya di atas arat-rata. Tapi, kalau memberi harapan sudah over dosis, seperti janji kampanye, urusan bisa langsung dengan Allah.

Janji tak sekedar hutang, memberi harapan apapun tujuannya harus disampaikan, diucapkan dengan bijak. Jangan sampai menjadi bumerang, senjata makan tuan.

Redaksi berdoa, bermohon, berharap kepada Allah, jangan dilengkapi dengan janji jika Allah akan mengkabulkan doa kita.

Jalan keluar dari jebakan jangan memberi harapan, misal kepada anak, adalah dengan mengajak untuk optimis. Kita bisa, kata pariwara, yang ada baiknya kita olah untuk menggali potensi diri, membangkitkan potensi anak. Artinya, kita wajib menstimulan, menggiatkan, merangsang diri sendiri untuk berbuat banyak, terkait dengan hal-hal, permasalahan yang tinggi dan mulia.

KESIMPULAN
Kita yakin, sebagai hamba-Nya harus mempunyai harapan kuat. Jangan lalai, lelah, letih  bertindak untuk keperluan dunia maupun kepentingan akhirat. Jangan dengan semboyan duduk manis, berpangku tangan, tinggal tunggu setoran atau balas jasa. Ikhtiar yang kita lakukan seolah tidak ada waktu istirahat dan tempat untuk istirahat. Kondisi ini yang membedakan antara harapan dan lamunan, angan-angan. Lepas dari hukum sebab akibat. Ingat cuplikan “Jika seseorang mendapatkan sesuatu yang diharapkan, padahal sebab yang diambil tidak terbukti secara Syar'i dan tidak pula terbukti secara Qadari, pastilah hal itu didapatkan bukan karena sebab tersebut, namun karena sebab yang lainnya”.

Niat dan usaha adalah satu kesatuan utuh dilengkapi dengan tawakal, pasrah diri dengan hasil. Kalau berharap tanpa usaha nyata, ini disebut melamun, berkhayal, berangan-angan, berfantasi. Usaha keras tanpa ukur baju, ujung-ujungnya juga akan kecewa berat. Fakta dan fenomena ini terjadi di panggung politik.

Rasulullah saw bersabda, yang artinya : “Berbuatlah, karena setiap orang akan dimudahkan untuk memperoleh bagian yang diciptakan untuknya” (HR Bukhari dan Muslim).

Jadi, ketika kita memasuki masa untuk duduk manis, diam berpangku tangan, goyang kaki, jelas pekerjaan mebosankan dan rawan, rentan, riskan dihinggapi berbagai penyakit mental dan masalah kejiwaan. Bagai air yang menggenang tidak mengalir, ia akan menjadi sarang penyakit. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar