Halaman

Kamis, 02 Februari 2017

di atas kertas, revolusi mental tampak heroik



di atas kertas,  revolusi mental tampak heroik

Adalah paparan rencana aksi jangka menengah jalan perubahan melalui gerakan revolusi mental oleh Kemenko PMK. Tampak ilsutrasi tayangan bahwa nantinya di tahun 2019 sangat terasa manfaat, hasil dan dampaknya. Tepatnya, pasca revolusi mental diharapkan : Pertama, negara hadir dan bekerja. Kedua, kemandirian ekonomi yang mensejahterakan. Ketiga, berkepribadian dalam kebudayaan.

Awal dan ide dasar revolusi mental, walau sekedar bahan kampanye politik Joko Widodo, adalah mengulang yang pernah ada atau mirip, yaitu tentang pembentukan karakter dan identitas nasional yang kuat.  Caranya adalah dengan disokong melalui kebudayaan dan pendidikan.

Menyoal kebudayaan Nusantara, secara menerus, sistematis dan formal mendapat ancaman dari dampak keterbukaan, globalisasi, modernisasi serta efek kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Dari internal, akibat kebebasan mengemukakan pendapat, khususnya oleh pejabat, penyelenggara negara atau oknum yang mampu tampil tayang di media TV, mampu mengacak-acak tatanan budaya.

Diharapkan, yang juga sebagai kelompok sasaran revolusi mental (kesimpulan fakta pasca reformasi), yaitu menuntut perubahan pada dua tatanan sosial politik, khususnya dan terutama  pada para pejabat atau penyelenggara negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) serta rakyat atau sebutan lainnya, dengan berbagai posisi kewajiban dan aneka perannya.

Ironis, proses menikmati berkah berhala reformasi 3K (kaya, kuat, kuasa) menjadikan penguasa – bahkan sampai tingkat desa – memposisikan dirinya sebagai “sabda raja adalah hukum”. Dampaknya posisi kutub, kubu penguasa bisa berseberangan dengan kutub, kubu rakyat pada umumnya. Terlebih jika sang pengusaha, juragan, bandar, tauké yang sedang beroperasi, terjadilah asas tahu sama tahu.

Tak salah kalau mental penyelenggara negara, sudah bergeser atau bertambah khazanah. Mulai dari mental feodal, priyayi, yang masih merasa hidup digdaya di masa lalu atau membanggakan jasa kakek nenek moyang, sampai yang menggunakan aji mumpung vs mumpung aji.

Betul, kalau gerakan revolusi mental di jajaran pembantu presiden bukan sebagai proyek, tapi gerakan sosial. Praktiknya, bisa menciptakan proyek terang-benderang., terukur. Bahkan melebihi gerakan proyek sektoral ala Orde Baru. Revolusi mental yang dikemas, diformat, dilegalisir melalui pembangunan manusia dan kebudayaan, bukan salah pasal. Malah menjerat, menjegal dan memblusukkan presiden ke konflik politik. Artinya, langkah catur politik presiden menjadi salah langkah atau mati langkah. Padahal presiden kan sudah ada yang ngopéni, mengatur, mengendalikan. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar