di atas kertas, revolusi mental
tampak heroik
Adalah paparan
rencana aksi jangka menengah jalan perubahan melalui gerakan revolusi mental
oleh Kemenko PMK. Tampak ilsutrasi tayangan bahwa nantinya di tahun 2019 sangat
terasa manfaat, hasil dan dampaknya. Tepatnya, pasca revolusi mental diharapkan : Pertama,
negara hadir dan bekerja. Kedua, kemandirian ekonomi yang mensejahterakan.
Ketiga, berkepribadian dalam kebudayaan.
Awal dan ide dasar revolusi
mental, walau sekedar bahan kampanye politik Joko Widodo, adalah mengulang yang
pernah ada atau mirip, yaitu tentang pembentukan karakter dan identitas
nasional yang kuat. Caranya adalah
dengan disokong melalui kebudayaan dan pendidikan.
Menyoal kebudayaan
Nusantara, secara menerus, sistematis dan formal mendapat ancaman dari dampak
keterbukaan, globalisasi, modernisasi serta efek kemajuan teknologi informasi
dan komunikasi. Dari internal, akibat kebebasan mengemukakan pendapat,
khususnya oleh pejabat, penyelenggara negara atau oknum yang mampu tampil
tayang di media TV, mampu mengacak-acak tatanan budaya.
Diharapkan, yang juga
sebagai kelompok sasaran revolusi mental (kesimpulan fakta pasca reformasi),
yaitu menuntut perubahan pada dua tatanan sosial politik, khususnya dan
terutama pada para pejabat atau
penyelenggara negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) serta rakyat atau
sebutan lainnya, dengan berbagai posisi kewajiban dan aneka perannya.
Ironis, proses menikmati
berkah berhala reformasi 3K (kaya, kuat, kuasa) menjadikan penguasa – bahkan
sampai tingkat desa – memposisikan dirinya sebagai “sabda raja adalah hukum”. Dampaknya posisi kutub, kubu
penguasa bisa berseberangan dengan kutub, kubu rakyat pada umumnya. Terlebih
jika sang pengusaha, juragan, bandar, tauké yang sedang beroperasi, terjadilah asas tahu sama tahu.
Tak salah kalau mental
penyelenggara negara, sudah bergeser atau bertambah khazanah. Mulai dari mental
feodal, priyayi, yang masih merasa hidup digdaya di masa lalu atau membanggakan
jasa kakek nenek moyang, sampai yang menggunakan aji mumpung vs mumpung aji.
Betul, kalau gerakan
revolusi mental di jajaran pembantu presiden bukan sebagai proyek, tapi gerakan
sosial. Praktiknya, bisa menciptakan proyek terang-benderang., terukur. Bahkan melebihi
gerakan proyek sektoral ala Orde Baru. Revolusi mental yang dikemas, diformat,
dilegalisir melalui pembangunan manusia dan kebudayaan, bukan salah pasal.
Malah menjerat, menjegal dan memblusukkan presiden ke konflik politik. Artinya,
langkah catur politik presiden menjadi salah langkah atau mati langkah. Padahal
presiden kan sudah ada yang ngopéni, mengatur, mengendalikan. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar