pemanfaatan lahan pekarangan pasca pengembangan rumah swadaya
1.1
KEMANFAATAN PENGEMBANGAN
RUMAH SWADAYA
Pemantauan dan evaluasi
pengembangan rumah swadaya dilakukan terhadap antara lain bagaimana pencapaian
sasaran hasil, keluaran, dampak dan kemanfaatan kegiatan yang telah dilaksanakan.
Kemanfaatan adalah
kondisi yang diharapkan akan dicapai bila keluaran (output) dapat
berfungsi dengan optimal. Pengembangan rumah swadaya dengan keluaran (output)
adalah pengurangan backlog pemilikan dengan pembangunan baru maupun
mencegah tangkal pemilikan rumah tidak layak huni dengan peningkatan kualitas.
Di pihak masyarakat,
khususnya MBR penerima bantuan bagaimana dengan daya responsivitasnya. Apakah
ada kesesuaian hasil implementasi pengembangan rumah swadaya dengan
keinginannya. Apakah malah MBR penerima bantuan belum mampu menterjemahkan
keinginan atau aspirasinya.
Sejauh ini, pendampingan
penerima pengembangan rumah swadaya oleh TFL dilakukan pada tahap perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, pelaporan, dan pengembangan mandiri pasca kegiatan.
1.1.1
AMANAT UNDANG-UNDANG
Ikhwal pengembangan
mandiri pasca kegiatan, memang tidak dijabarkan di Permen PUPR 13/2016 tentang
Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya. Justru
kemandirian pasca pengembangan rumah swadaya merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan.
Mengacu pada UU 1/2011
tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, fokus pada
BAB XI
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 129
Dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, setiap orang
berhak:
d. memperoleh manfaat
dari penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;
Yang dimaksud dengan
“manfaat” adalah keuntungan sebagai dampak dari penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman, antara lain melalui kesempatan berusaha, peran masyarakat,
dan pemanfaatan hasil pembangunan.
1.1.2
PEMANFAATAN HASIL
PENGEMBANGAN RUMAH SWADAYA
Hasil pengembangan rumah
swadaya berupa rumah baru dan/atau rumah layak huni, tak akan berhenti sejalan
dengan ketentuan penggunaan APBN. Berbasis pada keswadayaan masyarakat maka
pengembangan rumah swadaya merupakan efek dari perubahan sosial penghuni.
Sebagai kegiatan pasca
konstruksi, maka kegiatan pengembangan rumah swadaya selayaknya akan mewujudkan
kesesuaian antara masukan (input), proses dengan keluaran (output),
hasil (outcome) maupun kemanfaatan (benefit) kegiatan yang
dibiayai APBN. Diharapkan rumah baru dan/atau rumah layak huni pasca konstruksi
akan terhuni.
Rumah terhuni akan
selalu berkembang sesuai dengan asas Rumah Inti Tumbuh (RIT). Sedangkan
pemanfaatan ruang luar rumah terhuni, tetap mengacu pada ketentuan yang
berlaku.
1.1.3
IKHWAL PENGEMBANGAN
MANDIRI PASCA KEGIATAN
Pengembangan mandiri pasca kegiatan
adalah kegiatan swadaya pembangunan perumahan setelah selesainya program pengembangan
rumah swadaya, dilakukan atas inisiatif/prakarsa dan dengan dana dari
masyarakat sendiri. Keberhasilan tersebut ditentukan oleh proses pemberdayaan
masyarakat sejak persiapan hingga paska konstruksi yang dilakukan oleh KPB
secara swadaya.
Kegiatan pengembangan mandiri pasca
kegiatan tidak hanya berlaku pada individu atau keluarga penerima bantuan,
tetapi juga pada semua kelompok penerima bantuan dan khususnya masyarakat.
Kemandirian diprakarsai dan
dilaksanakan sepenuhnya oleh kelompok masyarakat di bawah bimbingan Organisasi
Perangkat Daerah (OPD) setempat yang ditandai oleh:
a.
meningkatnya jumlah
rumah layak huni melalui replikasi yang dilakukan dan dibiayai dari dana
swadaya masyarakat;
b.
terpelihara dan
meningkatnya PSU melalui upaya swadaya masyarakat; dan
c.
semakin mantapnya
lembaga sosial kemasyarakatan yang bergiat di bidang perumahan yang ditandai dengan
meningkatnya jumlah kelopok swadaya masyarakat perumahan, meningkatnya
kontribusi swadaya masyarakat.
Dukungan OPD untuk kemandirian pasca
pengembangan rumah swadaya diberikan dalam bentuk:
a.
pemberian akses kearah
sumber dana perolehan rumah layak dalam lingkungan sehat dengan cara yang
terjangkau;
b.
dukungan PSU untuk
kawasan perumahan yang dibangun secara swadaya;
c.
pemberian bantuan dan
bimbingan teknis;
d.
perluasan jejaring
kemitraan (channeling) kepada penyedia dana non pemerintah lain yang
tidak mengikat; dan
e.
bimbingan dan pelatihan
kepada perangkat setempat selaku penyelenggara pembangunan mandiri.
1.2
ACUAN RUMAH INTI TUMBUH (RIT)
Ketentuan luas lantai rumah tunggal memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga
puluh enam) meter persegi, atau sebagai
Rumah Inti hanya cocok untuk pasangan suami isteri atau keluarga muda. Keluarga
yang belum punya anak, keluarga kecil atau keluarga yang anak-anaknya masih
kecil.
Rangkaian mewujudakn fungsi rumah sebagai sarana pembinaan keluarga,
cerminan harkat dan martabat penghuninya, dengan catatan penghuni adalah keluarga besar dengan anggota keluarga yang
didominasi oleh remaja dan dewasa. Kondisi ini sebagai faktor pertimbangan
utama rumah inti harus dikembangkan agar bisa berfungsi sebagai tempat
pembinaan keluarga.
Rumah tinggal membutuhkan ruang tertentu yang sifatnya bisa menjaga privasi
setiap anggota keluarga. Mengacu kondisi
diatas maka rumah inti sudah bisa diterapkan setelah dihuni.
Bermula dari Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana
Wilayah Nomor :403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah
Sederhana Sehat (Rs Sehat), sudah mengenalkan akan adanya Rumah Inti Tumbuh
(RIT), yaitu :
Untuk itu perlu
disediakan disain rumah antara yang pertumbuhannya diarahkan menjadi Rs Sehat.
Rumah antara yang dimaksud adalah Rumah Inti Tumbuh (RIT), yaitu rumah yang
hanya memenuhi standar kebutuhan minimal rumah, dengan kriteria sebagi berikut
: ·
§ RIT memiliki ruang
paling sederhana yaitu sebuah ruang tertutup dan sebuah ruang terbuka beratap
dan fasilitas MCK.
§ RIT memiliki bentuk atap
dengan mengantisipasi adanya perubahan yang bakal dilakukan yaitu dengan
memberi atap pada ruang terbuka yang berfungsi sebagai ruang serba guna.
§
Bentuk generik atap pada RIT selain pelana, dapat
berbentuk lain (limasan, kerucut, dll) sesuai dengan tuntutan daerah bila itu
ada.
§
Penghawaan dan pencahayaan alami pada RIT menggunakan
bukaan yang memungkinkan sirkulasi silang udara dan masuknya sinar matahari.
Dalam proses pengembangan RIT menjadi Rs Sehat memberi peluang peran calon
penghuni/penghuni dalam mengekspresikan kebutuhan pengungkapan jati diri.
Sehingga akan mengurangi peluang terhadap pembongkaran bagian-bagian bangunan
secara besar-besaran.
Proses penetapan, pengendalian maupun penyediaan rumah tinggal oleh
pemerintah, swasta maupun masyarakat atau perorangan, seolah telah mengalami
perubahan, pembaharuang yang mendasar. Teknologi yang menghasilkan bahan
bangunan, yang diklaim lebih praktis, ekonomis, berdaya guna atau efektif
maupun berhasil guna atau efisen, ramah lingkungan serta berkemajuan, pada
kondisi tertentu, seperti akan kembali ke pola lama.
Seperti halnya RIT, telah mengalami proses metamorphosis selama satu
setengah dekade atau 15 tahun, namun akhirnya kembali ke pola awal. Adanya
berbagai pihak yang mempraktikkan RIT, justru semakin memperkaya hakikatnya.
Dari berbagai rekaman atas praktik RIT dapat disimpulkan a.l pada kelompok
masyarakat tertentu, RIT sebagai pilihan utama.
a.
Faktor Yang Menentukan Pilihan :
Penerapan RIT sesuai asasnya memang untuk Pembangunan Baru rumah
tinggal. Tercatat ada beberapa faktor
pertimbangan memilih RIT :
1)
Jumlah anggota keluarga
2)
Peningkatan penghasilan
3)
Faktor usaha keluarga
4)
Kedekatan dengan tempat kerja
5)
Ketidakmampuan memperoleh lahan ditempat lain
6)
Status lahan
7)
Luas lahan perumahan
8)
Kelengkapan PSU
b.
Pola Pertumbuhan Rumah Inti :
Pada beberapa lokasi yang sudah mempraktikkan RIT, ada beberapa catatan
terkait pola pengembangan/ perbaikan/ pertumbuhan rumah yang telah dilakukan :
1)
Perombakan : perubahan struktur fisik rumah secara total (bentuk, bahan, jumlah ruang
dan ukuran);
2)
Penyempurnaan : Peningkatan mutu bahan lantai, dinding dan atap secara menyeluruh tanpa
mengubah jenis, jumlah dan bentuk rumah;
3)
Perluasan :
perluasan kearah luar , misalnya penambahan dapur, kamar, kamar mandi dan
sebagainya;
4)
Penyempurnaan sebagian : Peningkatan mutu bahan sebagian rumah, misalnya
peningkatan mutu bahan dinding atau lantai ruang tamu;
5)
Pemeliharaan : Usaha mengatasi berbagai kerusakan, tanpa perubahan dan peningkatan mutu
bahan misalnya menambal atap bocor, mengganti pintu yang lapuk, pengecatan dan
sebagainya .
c.
Rekomendasi Praktis:
Untuk menciptakan rumah yang sebagai bangunan gedung yang berfungsi sebagai
tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan
martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya, makan pembangunan RIT bagi
rumah tangga miskin dan MBR, terdapat rekomendasi praktis yang dapat diberikan
adalah:
1)
Pembangunan perumahan bagi keluarga miskin harus
memperhatikan masalah kepastian status lahan. Kepastian status lahan akan
mendorong penghuni melakukan pertumbuhan secara optimal tanpa adanya rasa
keterpaksaan.
2)
Agar pertumbuhan rumah inti menjadi sebuah hunian yang
layak dan memadai sesuai dengan yang diharapkan dibutuhkan peran aktif dari
pemerintah daerah dalam melakukan pembinaan terhadap warga terutama tentang
pentingnya memperhatikan kualitas rumah dan lingkungan.
3)
Pembangunan rumah bagi warga miskin dan berpenghasilan
rendah harus memperhatikan masalah lokasi. Lokasi perumahan harus berada pada
daerah yang mendapat akses trasportasi murah menuju tempat kerja maupun tempat
pelayanan umum. Kurangnya layanan transportasi murah akan semakin memberatkan
penghuni sehingga bisa membuat mereka semakin miskin.
4)
Pertumbuhan rumah inti hanya bisa dilakukan secara
optimal apabila penghuni memiliki kemampuan yang memadai secara ekonomi. Dengan
demikian selain bantuan perumahan, penghuni juga diberi bantuan usaha yang sesuai
dengan karakteristik penghuni, sehingga bantuan yang diberikan tidak terbuang
secara percuma.
Faktor yang mempengaruhi
penghuni Rumah Swadaya pasca pengembangan melakukan pertumbuhan rumah inti
adalah faktor pendapatan keluarga dan pendukung perumahan serta faktor
kebutuhan keluarga dan permasalahan lahan.
1.2.1
RUMAH SWADAYA
BERKELANJUTAN
Menurut UN Habitat (2012), perumahan berkelanjutan adalah rumah-rumah yang
dirancang, dibangun dan dikelola berdasarkan aspek-aspek di bawah ini :
a.
Sehat, tahan lama, dan aman,
b.
Terjangkau dari berapapun pendapatan,
c.
Menggunakan ekologi rendah energi dan bahan bangunan dan
teknologi yang terjangkau,
d.
Ketahanan untuk mempertahankan potensi bencana alam dan
dampak iklim,
e. Terhubung dengan layak,
aman dan terjangkau listrik, air, sanitasi dan pengolahan limbah,
f.
Menggunakan energi dan air secara efisien
g.
Pembangkit energi terbarukan dan kemampuan daur ulang
air,
h.
Tidak mencemari lingkungan
i.
Terhubung langsung dengan tempat kerja kerja, toko,
fasilitas kesehatan, pendidikan dan jasa lainnya,
j.
Saling terintegrasi, sehingga meningkatkan aspek sosial,
budaya, lingkungan dan ekonomi lokal dan daerah perkotaan yang lebih luas.
k.
Melakukan pemeliharaan dan penjagaan lingkungan.
l.
Kenyamanan sirkulasi udara dan ruang bagi penghuni
Berdasarkan UU 1/2011, maka rumah memiliki dua fungsi saling terkait sebagai sistem, yaitu :
a.
Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi
sebagai tempat tinggal yang layak huni, sebagai struktur fisik untuk tempat tinggal. Sebagai tempat tinggal yang layak huni maka bisa didesain oleh penghuninya. Kebutuhan ruang penghuni akan dikorelasikan
dengan daya dukung dan daya tampung tanah dan lingkungan sekitar.
b.
Rumah sebagai sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat
dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. Aset bagi pemiliknya
bersifat dinamis, tidak sekedar sebagai agunan. Nilai tambah ditentukan juga
dengan pemanfaatan tanah di luar rumah.
Melalui kedua fungsi tersebut di atas, maka rumah swadaya merupakan interaksi aktif abtara struktur fisik dengan struktur sosial.
1.3
RUANG LUAR RUMAH SWADAYA
Mengacu pada UU 1/2011
tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, khususnya pada :
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini
yang dimaksud dengan:
7.
Rumah adalah bangunan gedung yang
berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga,
cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.
Jadi, rumah swadaya
sebagai bangunan gedung, mau tak mau, dalam ikhwal pengembangan mandiri pasca
pengembangan rumah swadaya, atau kemandirian pasca konstruksi mengacu pada UU
28/2002 tentang Bangunan Gedung.
Dimulai dengan menyimak
UU 28/2002 khususnya pada :
Paragraf 3
Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung
Pasal 14
(4)
Persyaratan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan
gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan selaras dengan
lingkungannya.
Penjelasan Ayat (4) :
Ruang luar bangunan
gedung diwujudkan untuk sekaligus mendukung pemenuhan persyaratan keselamatan,
kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan bangunan gedung, disamping untuk mewadahi
kegiatan pendukung fungsi bangunan gedung dan daerah hijau di sekitar bangunan.
Ruang terbuka hijau
diwujudkan dengan memperhatikan potensi unsur-unsur alami yang ada dalam tapak
seperti danau, sungai, pohon-pohon menahun, tanah serta permukaan tanah, dan
dapat berfungsi untuk kepentingan ekologis, sosial, ekonomi serta estetika.
1.3.1
INTENSITAS PEMANFAATAN
LAHAN
Intensitas Pemanfaatan
Lahan adalah tingkat alokasi dan distribusi luas lantai maksimum bangunan
terhadap lahan/tapak peruntukannya. (sumber : Permen PU 06/2007 tentang Pedoman
Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan).
Intensitas pemanfaatan
lahan yang menggambarkan ciri daerah perkotaan tercermin dari struktur
pemukiman.
Intensitas pemanfaatan
lahan yang menggambarkan ciri daerah pedesaan tercermin dari pengolahan
tanahnya.
Korelasi antara rumah
swadaya dengan tanah atau sebutan lainnya, secara teknis diatur antara lain
dalam bentuk :
a.
Koefisien Dasar Bangunan
(KDB), yaitu angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar
bangunan gedung yang dapat dibangun dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan
yang dikuasai.
b.
Koefisien Lantai
Bangunan (KLB), yaitu angka persentase perbandingan antara jumlah seluruh luas
lantai seluruh bangunan yang dapat dibangun dan luas lahan/tanah
perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai.
c.
Koefisien Daerah Hijau (KDH),
yaitu angka persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar
bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dan luas tanah
perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai.
d.
Koefisien Tapak Besmen
(KTB), yaitu angka persentase perbandingan antara luas tapak besmen dan luas
tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai.
1.3.2
RUANG TERBUKA HIJAU
PEKARANGAN
Sub-bab ini kita mengacu pada
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman
Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, pada
Lampiran yaitu :
RTH Pekarangan :
Pekarangan adalah lahan di luar
bangunan, yang berfungsi untuk berbagai aktivitas. Luas pekarangan disesuaikan
dengan ketentuan koefisien dasar bangunan (KDB) di kawasan perkotaan, seperti
tertuang di dalam PERDA mengenai RTRW di masing-masing kota. Untuk memudahkan
di dalam pengklasifikasian pekarangan maka ditentukan kategori pekarangan
sebagai:
a.
Pekarangan Rumah Besar
Ketentuan penyediaan RTH
untuk pekarangan rumah besar adalah sebagai berikut:
1)
kategori yang termasuk
rumah besar adalah rumah dengan luas lahan di atas 500 m2;
2)
ruang terbuka hijau
minimum yang diharuskan adalah luas lahan (m2) dikurangi luas dasar bangunan
(m2) sesuai peraturan daerah setempat;
3)
jumlah pohon pelindung
yang harus disediakan minimal 3 (tiga) pohon pelindung ditambah dengan perdu
dan semak serta penutup tanah dan atau rumput.
b.
Pekarangan Rumah Sedang
Ketentuan penyediaan RTH
untuk pekarangan rumah sedang adalah sebagai berikut:
1)
kategori yang termasuk
rumah sedang adalah rumah dengan luas lahan antara 200 m2 sampai dengan 500 m2;
2)
ruang terbuka hijau
minimum yang diharuskan adalah luas lahan (m2) dikurangi luas dasar bangunan
(m2) sesuai peraturan daerah setempat;
3)
jumlah pohon pelindung
yang harus disediakan minimal 2 (dua) pohon pelindung ditambah dengan tanaman
semak dan perdu, serta penutup tanah dan atau rumput.
c.
Pekarangan Rumah Kecil
Ketentuan penyediaan RTH
untuk pekarangan rumah kecil adalah sebagai berikut:
1)
kategori yang termasuk rumah
kecil adalah rumah dengan luas lahan dibawah 200 m2;
2)
ruang terbuka hijau
minimum yang diharuskan adalah luas lahan (m2) dikurangi luas dasar bangunan
(m2) sesuai peraturan daerah setempat;
3)
jumlah pohon pelindung
yang harus disediakan minimal 1 (satu) pohon pelindung ditambah tanaman semak
dan perdu, serta penutup tanah dan atau rumput.
Keterbatasan luas
halaman dengan jalan lingkungan yang sempit, tidak menutup kemungkinan untuk
mewujudkan RTH melalui penanaman dengan menggunakan pot atau media tanam
lainnya.
1.3.3
RUMAH PANGAN LESTARI
(RPL)
Kementerian Pertanian menginisiasi
optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep Rumah Pangan Lestari (RPL).
RPL adalah rumah penduduk yang mengusahakan pekarangan secara intensif untuk
dimanfaatkan dengan berbagai sumberdaya lokal secara bijaksana yang menjamin
kesinambungan penyediaan bahan pangan rumah tangga yang berkualitas dan
beragam. Apabila RPL dikembangkan dalam skala luas, berbasis dusun (kampung),
desa, atau wilayah lain yang memungkinkan, penerapan prinsip Rumah Pangan
Lestari (RPL) disebut Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Selain itu, KRPL
juga mencakup upaya intensifikasi pemanfaatan pagar hidup, jalan desa, dan
fasilitas umum lainnya (sekolah, rumah ibadah, dan lainnya), lahan terbuka
hijau, serta mengembangkan pengolahan dan pemasaran hasil.
Prinsip dasar KRPL adalah: (i)
pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan dan dirancang untuk ketahanan dan
kemandirian pangan, (ii) diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal, (iii)
konservasi sumberdaya genetik pangan (tanaman, ternak, ikan), dan (iv) menjaga
kelestariannya melalui kebun bibit desa menuju (v) peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat.
Untuk menjaga keberlanjutan dan
mendapatkan nilai ekonomi dari KRPL, pemanfaatan pekarangan diintegrasikan
dengan unit pengolahan dan pemasaran produk.
Hal ini dimaksudkan sebagai upaya
penyelamatan hasil yang melimpah dan peningkatan nilai tambah produk.
Dampak yang diharapkan dari
pengembangan KRPL antara lain:
a.
Terpenuhinya kebutuhan pangan
dan gizi keluarga dan masyarakat melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan
secara lestari.
b.
Meningkatnya kemampuan
keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan pekarangan di perkotaan maupun
perdesaan untuk budidaya tanaman pangan, buah, sayuran dan tanaman obat
keluarga (toga), ternak dan ikan, serta pengolahan hasil dan limbah rumah
tangga menjadi kompos.
c.
Terjaganya kelestarian
dan keberagaman sumber pangan lokal.
d.
Berkembangnya usaha
ekonomi produktif keluarga untuk menopang kesejahteraan keluarga dan
menciptakan lingkungan lestari dan sehat.
a.
Kelompok Lahan
Pekarangan di Kota
1)
Rumah Tipe 21 (luas
tanah sekitar 36 m2), tanpa halaman
2)
Rumah Tipe 36 (luas
tanah sekitar 72 m2), halaman sempit
3)
Rumah Tipe 45 (luas
tanah sekitar 90 m2), halaman sedang
4)
Rumah Tipe 54 (luas
tanah sekitar 120 m2), halaman luas
b.
Kelompok Lahan
Pekarangan di Desa
1)
Pekarangan Sangat Sempit
(tanpa halaman)
2)
Pekarangan sempit
(<120 m2)
3)
Pekarangan sedang (120-400
m2)
4)
Pekarangan luas (>400
m2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar