Halaman

Minggu, 26 November 2017

pemanfaatan lahan pekarangan pasca pengembangan rumah swadaya



 pemanfaatan lahan pekarangan pasca pengembangan rumah swadaya

1.1                   KEMANFAATAN PENGEMBANGAN RUMAH SWADAYA
Pemantauan dan evaluasi pengembangan rumah swadaya dilakukan terhadap antara lain bagaimana pencapaian sasaran hasil, keluaran, dampak dan kemanfaatan kegiatan yang telah dilaksanakan.

Kemanfaatan adalah kondisi yang diharapkan akan dicapai bila keluaran (output) dapat berfungsi dengan optimal. Pengembangan rumah swadaya dengan keluaran (output) adalah pengurangan backlog pemilikan dengan pembangunan baru maupun mencegah tangkal pemilikan rumah tidak layak huni dengan peningkatan kualitas.

Di pihak masyarakat, khususnya MBR penerima bantuan bagaimana dengan daya responsivitasnya. Apakah ada kesesuaian hasil implementasi pengembangan rumah swadaya dengan keinginannya. Apakah malah MBR penerima bantuan belum mampu menterjemahkan keinginan atau aspirasinya.

Sejauh ini, pendampingan penerima pengembangan rumah swadaya oleh TFL dilakukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pelaporan, dan pengembangan mandiri pasca kegiatan.

1.1.1             AMANAT UNDANG-UNDANG
Ikhwal pengembangan mandiri pasca kegiatan, memang tidak dijabarkan di Permen PUPR 13/2016 tentang Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya. Justru  kemandirian pasca pengembangan rumah swadaya  merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan.

Mengacu pada UU 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, fokus pada
BAB XI
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 129
Dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, setiap orang berhak:
d.    memperoleh manfaat dari penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;

Yang dimaksud dengan “manfaat” adalah keuntungan sebagai dampak dari penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, antara lain melalui kesempatan berusaha, peran masyarakat, dan pemanfaatan hasil pembangunan.

1.1.2             PEMANFAATAN HASIL PENGEMBANGAN RUMAH SWADAYA
Hasil pengembangan rumah swadaya berupa rumah baru dan/atau rumah layak huni, tak akan berhenti sejalan dengan ketentuan penggunaan APBN. Berbasis pada keswadayaan masyarakat maka pengembangan rumah swadaya merupakan efek dari perubahan sosial penghuni.

Sebagai kegiatan pasca konstruksi, maka kegiatan pengembangan rumah swadaya selayaknya akan mewujudkan kesesuaian antara masukan (input), proses dengan keluaran (output), hasil (outcome) maupun kemanfaatan (benefit) kegiatan yang dibiayai APBN. Diharapkan rumah baru dan/atau rumah layak huni pasca konstruksi akan terhuni.

Rumah terhuni akan selalu berkembang sesuai dengan asas Rumah Inti Tumbuh (RIT). Sedangkan pemanfaatan ruang luar rumah terhuni, tetap mengacu pada ketentuan yang berlaku.

1.1.3             IKHWAL PENGEMBANGAN MANDIRI PASCA KEGIATAN
Pengembangan  mandiri pasca kegiatan adalah kegiatan swadaya pembangunan perumahan setelah selesainya program pengembangan rumah swadaya, dilakukan atas inisiatif/prakarsa dan dengan dana dari masyarakat sendiri. Keberhasilan tersebut ditentukan oleh proses pemberdayaan masyarakat sejak persiapan hingga paska konstruksi yang dilakukan oleh KPB secara swadaya.

Kegiatan pengembangan mandiri pasca kegiatan tidak hanya berlaku pada individu atau keluarga penerima bantuan, tetapi juga pada semua kelompok penerima bantuan dan khususnya masyarakat.

Kemandirian diprakarsai dan dilaksanakan sepenuhnya oleh kelompok masyarakat di bawah bimbingan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) setempat yang ditandai oleh:
a.      meningkatnya jumlah rumah layak huni melalui replikasi yang dilakukan dan dibiayai dari dana swadaya masyarakat;
b.      terpelihara dan meningkatnya PSU melalui upaya swadaya masyarakat; dan
c.       semakin mantapnya lembaga sosial kemasyarakatan yang bergiat di bidang perumahan yang ditandai dengan meningkatnya jumlah kelopok swadaya masyarakat perumahan, meningkatnya kontribusi swadaya masyarakat.

Dukungan OPD untuk kemandirian pasca pengembangan rumah swadaya diberikan dalam bentuk:
a.      pemberian akses kearah sumber dana perolehan rumah layak dalam lingkungan sehat dengan cara yang terjangkau;
b.      dukungan PSU untuk kawasan perumahan yang dibangun secara swadaya;
c.       pemberian bantuan dan bimbingan teknis;
d.      perluasan jejaring kemitraan (channeling) kepada penyedia dana non pemerintah lain yang tidak mengikat; dan
e.      bimbingan dan pelatihan kepada perangkat setempat selaku penyelenggara pembangunan mandiri.

1.2                   ACUAN RUMAH INTI TUMBUH (RIT)
Ketentuan luas lantai rumah tunggal memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi, atau sebagai  Rumah Inti hanya cocok untuk pasangan suami isteri atau keluarga muda. Keluarga yang belum punya anak, keluarga kecil atau keluarga yang anak-anaknya masih kecil.

Rangkaian mewujudakn fungsi rumah sebagai sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, dengan catatan penghuni adalah  keluarga besar dengan anggota keluarga yang didominasi oleh remaja dan dewasa. Kondisi ini sebagai faktor pertimbangan utama rumah inti harus dikembangkan agar bisa berfungsi sebagai tempat pembinaan keluarga.

Rumah tinggal membutuhkan ruang tertentu yang sifatnya bisa menjaga privasi setiap anggota keluarga. Mengacu  kondisi diatas maka rumah inti sudah bisa diterapkan setelah dihuni.



Bermula dari Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor :403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat), sudah mengenalkan akan adanya Rumah Inti Tumbuh (RIT), yaitu :

Untuk itu perlu disediakan disain rumah antara yang pertumbuhannya diarahkan menjadi Rs Sehat. Rumah antara yang dimaksud adalah Rumah Inti Tumbuh (RIT), yaitu rumah yang hanya memenuhi standar kebutuhan minimal rumah, dengan kriteria sebagi berikut : ·
§  RIT memiliki ruang paling sederhana yaitu sebuah ruang tertutup dan sebuah ruang terbuka beratap dan fasilitas MCK.
§  RIT memiliki bentuk atap dengan mengantisipasi adanya perubahan yang bakal dilakukan yaitu dengan memberi atap pada ruang terbuka yang berfungsi sebagai ruang serba guna.
§  Bentuk generik atap pada RIT selain pelana, dapat berbentuk lain (limasan, kerucut, dll) sesuai dengan tuntutan daerah bila itu ada.
§  Penghawaan dan pencahayaan alami pada RIT menggunakan bukaan yang memungkinkan sirkulasi silang udara dan masuknya sinar matahari.

Dalam proses pengembangan RIT menjadi Rs Sehat memberi peluang peran calon penghuni/penghuni dalam mengekspresikan kebutuhan pengungkapan jati diri. Sehingga akan mengurangi peluang terhadap pembongkaran bagian-bagian bangunan secara besar-besaran.

Proses penetapan, pengendalian maupun penyediaan rumah tinggal oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat atau perorangan, seolah telah mengalami perubahan, pembaharuang yang mendasar. Teknologi yang menghasilkan bahan bangunan, yang diklaim lebih praktis, ekonomis, berdaya guna atau efektif maupun berhasil guna atau efisen, ramah lingkungan serta berkemajuan, pada kondisi tertentu, seperti akan kembali ke pola lama.

Seperti halnya RIT, telah mengalami proses metamorphosis selama satu setengah dekade atau 15 tahun, namun akhirnya kembali ke pola awal. Adanya berbagai pihak yang mempraktikkan RIT, justru semakin memperkaya hakikatnya.

Dari berbagai rekaman atas praktik RIT dapat disimpulkan a.l pada kelompok masyarakat tertentu, RIT sebagai pilihan utama.

a.    Faktor Yang Menentukan Pilihan :
Penerapan RIT sesuai asasnya memang untuk Pembangunan Baru rumah tinggal.  Tercatat ada beberapa faktor pertimbangan memilih RIT :
1)     Jumlah anggota keluarga
2)     Peningkatan penghasilan
3)     Faktor usaha keluarga
4)     Kedekatan dengan tempat kerja
5)     Ketidakmampuan memperoleh lahan ditempat lain
6)     Status lahan
7)     Luas lahan perumahan
8)     Kelengkapan PSU

b.    Pola Pertumbuhan Rumah Inti :
Pada beberapa lokasi yang sudah mempraktikkan RIT, ada beberapa catatan terkait pola pengembangan/ perbaikan/ pertumbuhan rumah yang telah dilakukan :
1)     Perombakan : perubahan struktur fisik rumah secara total (bentuk, bahan, jumlah ruang dan ukuran);
2)     Penyempurnaan : Peningkatan mutu bahan lantai, dinding dan atap secara menyeluruh tanpa mengubah jenis, jumlah dan bentuk rumah;
3)     Perluasan : perluasan kearah luar , misalnya penambahan dapur, kamar, kamar mandi dan sebagainya;
4)     Penyempurnaan sebagian : Peningkatan mutu bahan sebagian rumah, misalnya peningkatan mutu bahan dinding atau lantai ruang tamu;
5)     Pemeliharaan : Usaha mengatasi berbagai kerusakan, tanpa perubahan dan peningkatan mutu bahan misalnya menambal atap bocor, mengganti pintu yang lapuk, pengecatan dan sebagainya .

c.    Rekomendasi Praktis:
Untuk menciptakan rumah yang sebagai bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya, makan pembangunan RIT bagi rumah tangga miskin dan MBR, terdapat rekomendasi praktis yang dapat diberikan adalah:
1)     Pembangunan perumahan bagi keluarga miskin harus memperhatikan masalah kepastian status lahan. Kepastian status lahan akan mendorong penghuni melakukan pertumbuhan secara optimal tanpa adanya rasa keterpaksaan.
2)     Agar pertumbuhan rumah inti menjadi sebuah hunian yang layak dan memadai sesuai dengan yang diharapkan dibutuhkan peran aktif dari pemerintah daerah dalam melakukan pembinaan terhadap warga terutama tentang pentingnya memperhatikan kualitas rumah dan lingkungan.
3)     Pembangunan rumah bagi warga miskin dan berpenghasilan rendah harus memperhatikan masalah lokasi. Lokasi perumahan harus berada pada daerah yang mendapat akses trasportasi murah menuju tempat kerja maupun tempat pelayanan umum. Kurangnya layanan transportasi murah akan semakin memberatkan penghuni sehingga bisa membuat mereka semakin miskin.
4)     Pertumbuhan rumah inti hanya bisa dilakukan secara optimal apabila penghuni memiliki kemampuan yang memadai secara ekonomi. Dengan demikian selain bantuan perumahan, penghuni juga diberi bantuan usaha yang sesuai dengan karakteristik penghuni, sehingga bantuan yang diberikan tidak terbuang secara percuma.

Faktor yang mempengaruhi penghuni Rumah Swadaya pasca pengembangan melakukan pertumbuhan rumah inti adalah faktor pendapatan keluarga dan pendukung perumahan serta faktor kebutuhan keluarga dan permasalahan lahan.

1.2.1             RUMAH SWADAYA BERKELANJUTAN
Menurut UN Habitat (2012), perumahan berkelanjutan adalah rumah-rumah yang dirancang, dibangun dan dikelola berdasarkan aspek-aspek di bawah ini :
a.      Sehat, tahan lama, dan aman,
b.      Terjangkau dari berapapun pendapatan,
c.       Menggunakan ekologi rendah energi dan bahan bangunan dan teknologi yang terjangkau,
d.      Ketahanan untuk mempertahankan potensi bencana alam dan dampak iklim,
e.      Terhubung dengan layak, aman dan terjangkau listrik, air, sanitasi dan pengolahan limbah,
f.        Menggunakan energi dan air secara efisien
g.      Pembangkit energi terbarukan dan kemampuan daur ulang air,
h.      Tidak mencemari lingkungan
i.        Terhubung langsung dengan tempat kerja kerja, toko, fasilitas kesehatan, pendidikan dan jasa lainnya,
j.        Saling terintegrasi, sehingga meningkatkan aspek sosial, budaya, lingkungan dan ekonomi lokal dan daerah perkotaan yang lebih luas.
k.      Melakukan pemeliharaan dan penjagaan lingkungan.
l.        Kenyamanan sirkulasi udara dan ruang bagi penghuni

Berdasarkan UU 1/2011, maka rumah memiliki dua fungsi saling terkait sebagai sistem, yaitu :

a.      Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sebagai struktur fisik untuk tempat tinggal. Sebagai tempat tinggal yang layak huni maka bisa didesain oleh penghuninya. Kebutuhan ruang penghuni akan dikorelasikan dengan daya dukung dan daya tampung tanah dan lingkungan sekitar.
b.      Rumah sebagai sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. Aset bagi pemiliknya bersifat dinamis, tidak sekedar sebagai agunan. Nilai tambah ditentukan juga dengan pemanfaatan tanah di luar rumah.

Melalui kedua fungsi tersebut di atas, maka rumah swadaya merupakan interaksi aktif abtara struktur fisik dengan struktur sosial.

1.3                   RUANG LUAR RUMAH SWADAYA
Mengacu pada UU 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, khususnya pada :
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
7.    Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.

Jadi, rumah swadaya sebagai bangunan gedung, mau tak mau, dalam ikhwal pengembangan mandiri pasca pengembangan rumah swadaya, atau kemandirian pasca konstruksi mengacu pada UU 28/2002 tentang Bangunan Gedung.

Dimulai dengan menyimak UU 28/2002 khususnya pada :
Paragraf 3
Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung
Pasal 14
(4)     Persyaratan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya.

Penjelasan Ayat (4) :
Ruang luar bangunan gedung diwujudkan untuk sekaligus mendukung pemenuhan persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan bangunan gedung, disamping untuk mewadahi kegiatan pendukung fungsi bangunan gedung dan daerah hijau di sekitar bangunan.

Ruang terbuka hijau diwujudkan dengan memperhatikan potensi unsur-unsur alami yang ada dalam tapak seperti danau, sungai, pohon-pohon menahun, tanah serta permukaan tanah, dan dapat berfungsi untuk kepentingan ekologis, sosial, ekonomi serta estetika.

1.3.1             INTENSITAS PEMANFAATAN LAHAN
Intensitas Pemanfaatan Lahan adalah tingkat alokasi dan distribusi luas lantai maksimum bangunan terhadap lahan/tapak peruntukannya. (sumber : Permen PU 06/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan).

Intensitas pemanfaatan lahan yang menggambarkan ciri daerah perkotaan tercermin dari struktur pemukiman.

Intensitas pemanfaatan lahan yang menggambarkan ciri daerah pedesaan tercermin dari pengolahan tanahnya.

Korelasi antara rumah swadaya dengan tanah atau sebutan lainnya, secara teknis diatur antara lain dalam bentuk :
a.      Koefisien Dasar Bangunan (KDB), yaitu angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar bangunan gedung yang dapat dibangun dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai.
b.      Koefisien Lantai Bangunan (KLB), yaitu angka persentase perbandingan antara jumlah seluruh luas lantai seluruh bangunan yang dapat dibangun dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai.
c.       Koefisien Daerah Hijau (KDH), yaitu angka persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai.
d.      Koefisien Tapak Besmen (KTB), yaitu angka persentase perbandingan antara luas tapak besmen dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai.

1.3.2             RUANG TERBUKA HIJAU PEKARANGAN
Sub-bab ini kita mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, pada Lampiran yaitu :
RTH Pekarangan :
Pekarangan adalah lahan di luar bangunan, yang berfungsi untuk berbagai aktivitas. Luas pekarangan disesuaikan dengan ketentuan koefisien dasar bangunan (KDB) di kawasan perkotaan, seperti tertuang di dalam PERDA mengenai RTRW di masing-masing kota. Untuk memudahkan di dalam pengklasifikasian pekarangan maka ditentukan kategori pekarangan sebagai:
a.      Pekarangan Rumah Besar
Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah besar adalah sebagai berikut:
1)     kategori yang termasuk rumah besar adalah rumah dengan luas lahan di atas 500 m2;
2)     ruang terbuka hijau minimum yang diharuskan adalah luas lahan (m2) dikurangi luas dasar bangunan (m2) sesuai peraturan daerah setempat;
3)     jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 3 (tiga) pohon pelindung ditambah dengan perdu dan semak serta penutup tanah dan atau rumput.

b.      Pekarangan Rumah Sedang
Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah sedang adalah sebagai berikut:
1)     kategori yang termasuk rumah sedang adalah rumah dengan luas lahan antara 200 m2 sampai dengan 500 m2;
2)     ruang terbuka hijau minimum yang diharuskan adalah luas lahan (m2) dikurangi luas dasar bangunan (m2) sesuai peraturan daerah setempat;
3)     jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 2 (dua) pohon pelindung ditambah dengan tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan atau rumput.

c.       Pekarangan Rumah Kecil
Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah kecil adalah sebagai berikut:
1)     kategori yang termasuk rumah kecil adalah rumah dengan luas lahan dibawah 200 m2;
2)     ruang terbuka hijau minimum yang diharuskan adalah luas lahan (m2) dikurangi luas dasar bangunan (m2) sesuai peraturan daerah setempat;
3)     jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 1 (satu) pohon pelindung ditambah tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan atau rumput.

Keterbatasan luas halaman dengan jalan lingkungan yang sempit, tidak menutup kemungkinan untuk mewujudkan RTH melalui penanaman dengan menggunakan pot atau media tanam lainnya.

1.3.3             RUMAH PANGAN LESTARI (RPL)
Kementerian Pertanian menginisiasi optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep Rumah Pangan Lestari (RPL). RPL adalah rumah penduduk yang mengusahakan pekarangan secara intensif untuk dimanfaatkan dengan berbagai sumberdaya lokal secara bijaksana yang menjamin kesinambungan penyediaan bahan pangan rumah tangga yang berkualitas dan beragam. Apabila RPL dikembangkan dalam skala luas, berbasis dusun (kampung), desa, atau wilayah lain yang memungkinkan, penerapan prinsip Rumah Pangan Lestari (RPL) disebut Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Selain itu, KRPL juga mencakup upaya intensifikasi pemanfaatan pagar hidup, jalan desa, dan fasilitas umum lainnya (sekolah, rumah ibadah, dan lainnya), lahan terbuka hijau, serta mengembangkan pengolahan dan pemasaran hasil.

Prinsip dasar KRPL adalah: (i) pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan dan dirancang untuk ketahanan dan kemandirian pangan, (ii) diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal, (iii) konservasi sumberdaya genetik pangan (tanaman, ternak, ikan), dan (iv) menjaga kelestariannya melalui kebun bibit desa menuju (v) peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

Untuk menjaga keberlanjutan dan mendapatkan nilai ekonomi dari KRPL, pemanfaatan pekarangan diintegrasikan dengan unit pengolahan dan pemasaran produk.

Hal ini dimaksudkan sebagai upaya penyelamatan hasil yang melimpah dan peningkatan nilai tambah produk.
Dampak yang diharapkan dari pengembangan KRPL antara lain:
a.      Terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara lestari.
b.      Meningkatnya kemampuan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan pekarangan di perkotaan maupun perdesaan untuk budidaya tanaman pangan, buah, sayuran dan tanaman obat keluarga (toga), ternak dan ikan, serta pengolahan hasil dan limbah rumah tangga menjadi kompos.
c.       Terjaganya kelestarian dan keberagaman sumber pangan lokal.
d.      Berkembangnya usaha ekonomi produktif keluarga untuk menopang kesejahteraan keluarga dan menciptakan lingkungan lestari dan sehat.

a.      Kelompok Lahan Pekarangan di Kota
1)     Rumah Tipe 21 (luas tanah sekitar 36 m2), tanpa halaman
2)     Rumah Tipe 36 (luas tanah sekitar 72 m2), halaman sempit
3)     Rumah Tipe 45 (luas tanah sekitar 90 m2), halaman sedang
4)     Rumah Tipe 54 (luas tanah sekitar 120 m2), halaman luas

b.     Kelompok Lahan Pekarangan di Desa
1)     Pekarangan Sangat Sempit (tanpa halaman)
2)     Pekarangan sempit (<120 m2)
3)     Pekarangan sedang (120-400 m2)
4)     Pekarangan luas (>400 m2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar