karena
nila sekoalisi, binasa bangsa dan negara
Koalisi, kolisi, kolaborasi, kong
kaling kong, konspirasi serta sebutan lainnya, bukannya tak berdampak.
Indonesia mempunyai kesetiakawanan
sosial. Ikatan moral, jalinan batin antar pribumi di suatu teritorial. Cikal bakal
semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Peradaban guyub rukun, tepo sliro
merupakan landasan, pondasi berbahgsa, bernegara, bermasyarakat. Saling asah,
asih, asuh.
Negoro mowo toto, desa mowo coro. Mbuh piyé nulisé
sing bener.
Singkat kata, akhirnya bangsa
pribumi, bumiputera, putera puteri asli daerah, terkontamniasi oleh dua mazhab.
Pertama, bangsa yang tidak sadar dengan sejarah masa lalunya. Kedua, kawanan
yang begitu bangga dengan sejarah jasa kakek nenek moyangnya. Tanpa ada niat
melanjutkan, melestarikan. Malah dijadikan senjata menggoyang kemampanan rakyat
akar rumput.
Trilogi ikatan semu koalisi partai
politik, tulus-mulus-fulus. Gabungan partai politik, yang secara ideologis
adalah mustahil, khususnya NKRI sebagai negara multipartai, namun menjadi
syarat baku dalam pelaksanaan pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
Syarat jumlah partai di DPR Daerah untuk mengusung pasangan calon yang ikut
pilkada, ada batas minimalnya.
Revolusi mental Nusantara, koalisi
partai politik untuk kekuasaan vs koalisi rakyat untuk bangsa negara.
Terbukti, koalisi partai politik
yang beredar resmi, bukan sebagai perwujudan kawan senasib, rekan sependeritaan,
sobat sepenanggungan, sahabat seperjalanan, karib sepengorbanan. Mereka
berkoalisi agar jangan dijadikan kambing hitam, jika selama 2014-2019, rakyat
hanya sebagai obyek keserakahan, keganasan, dan kefasikan kawanan parpolis.
Koalisi partai politik berbasis
politik transaksional, ideologi Rp menjadikan kekuasaan atau lengkapnya berhala
Reformasi 3K (kuasa, kuat, kaya) menjadi tujuan utama. Ikhwal kesejahteraan
rakyat yang diwakili, itu urusan nomer terakhir. Muncul pun hanya sebatas
kalkulasi politis di atas kertas. Makanya muncul ide mulia berbentuk Dana
Aspirasi.
Rakyat yang dianggap buta politik,
sudah tidak bermental ‘sendiko dawuh mbokde’. Ambang batas kesabaran rakyat
sudah di depan mata. Kadar kearifan rakyat sudah di ambang jenuh.
Menakar ikatan moral koalisi parpol
dan ketahanan ideologi Nusantara. Supremasi Pancasila sebagai dasar negara,
sebagai ideologi bangsa, sebagai sistem filsafat mengalami pasang surut
pemaknaan dan terlebih saat praktiknya. Masyarakat Indonesia yang heterogen
dalam kehomogenan serta homogen dalam keheterogenan, sejak jauh sebelum
pedagang VOC masuk, sudah mempunyai pandangan hidup atau filsafat hidup yang
berbasis pada local genius (kecerdasan/kreativitas lokal) dan
sekaligus sebagai local wisdom (kearifan lokal).
Mengenal jarak dekat koalisi,
konspirasi dan konflik politik Nusantara. Mengacu kamus dan bahasa politik,
ternyata antara koalisi, konspirasi dan sejenisnya sampai konlik adalah sami
mawon. Dipertegas sebagai paket politik. Dari aspek historis, kemasan paket
dengan berbagai versi mempengaruhi biaya politik dalam negeri.
Secara formal kebangsaan, resmi
kenegaraan, légitimitas kerakyatan kita tidak tahu secara terukur, baku, standar sekarang ini apa dan/atau siapa
musuh utama NKRI.
Di era Orde Baru, didengungkan lewat
bahasa pembangunan dengan format Pembanunan Lima Tahun (pelita) bahwa
kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan menjadi musuh bersama bangsa, negera,
pemerintah dan rakyat Indonesia.
Pasca reformasi yang bergulir dari
puncaknya, sampai ambang bawah periode 2014-2019, sepertinya sistem pemerintah
kita adalah sistem berlapis, berjenjang. Bahasa gaulnya menjadi negara
multipilot. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar