Halaman

Senin, 06 November 2017

karena nila sekoalisi, binasa bangsa dan negara



karena nila sekoalisi, binasa bangsa dan negara

Koalisi, kolisi, kolaborasi, kong kaling kong, konspirasi serta sebutan lainnya, bukannya tak berdampak.

Indonesia mempunyai kesetiakawanan sosial. Ikatan moral, jalinan batin antar pribumi di suatu teritorial. Cikal bakal semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Peradaban guyub rukun, tepo sliro merupakan landasan, pondasi berbahgsa, bernegara, bermasyarakat. Saling asah, asih, asuh.

Negoro mowo toto, desa mowo coro. Mbuh piyé nulisé sing bener.

Singkat kata, akhirnya bangsa pribumi, bumiputera, putera puteri asli daerah, terkontamniasi oleh dua mazhab. Pertama, bangsa yang tidak sadar dengan sejarah masa lalunya. Kedua, kawanan yang begitu bangga dengan sejarah jasa kakek nenek moyangnya. Tanpa ada niat melanjutkan, melestarikan. Malah dijadikan senjata menggoyang kemampanan rakyat akar rumput.

Trilogi ikatan semu koalisi partai politik, tulus-mulus-fulus. Gabungan partai politik, yang secara ideologis adalah mustahil, khususnya NKRI sebagai negara multipartai, namun menjadi syarat baku dalam pelaksanaan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Syarat jumlah partai di DPR Daerah untuk mengusung pasangan calon yang ikut pilkada, ada batas minimalnya.

Revolusi mental Nusantara, koalisi partai politik untuk kekuasaan vs koalisi rakyat untuk bangsa negara.

Terbukti, koalisi partai politik yang beredar resmi, bukan sebagai perwujudan kawan senasib, rekan sependeritaan, sobat sepenanggungan, sahabat seperjalanan, karib sepengorbanan. Mereka berkoalisi agar jangan dijadikan kambing hitam, jika selama 2014-2019, rakyat hanya sebagai obyek keserakahan, keganasan, dan kefasikan kawanan parpolis.

Koalisi partai politik berbasis politik transaksional, ideologi Rp menjadikan kekuasaan atau lengkapnya berhala Reformasi 3K (kuasa, kuat, kaya) menjadi tujuan utama. Ikhwal kesejahteraan rakyat yang diwakili, itu urusan nomer terakhir. Muncul pun hanya sebatas kalkulasi politis di atas kertas. Makanya muncul ide mulia berbentuk Dana Aspirasi.

Rakyat yang dianggap buta politik, sudah tidak bermental ‘sendiko dawuh mbokde’. Ambang batas kesabaran rakyat sudah di depan mata. Kadar kearifan rakyat sudah di ambang jenuh.

Menakar ikatan moral koalisi parpol dan ketahanan ideologi Nusantara. Supremasi Pancasila sebagai dasar negara, sebagai ideologi bangsa, sebagai sistem filsafat mengalami pasang surut pemaknaan dan terlebih saat praktiknya. Masyarakat Indonesia yang heterogen dalam kehomogenan serta homogen dalam keheterogenan, sejak jauh sebelum pedagang VOC masuk, sudah mempunyai pandangan hidup atau filsafat hidup yang berbasis pada local genius (kecerdasan/kreativitas lokal) dan sekaligus sebagai local wisdom (kearifan lokal).

Mengenal jarak dekat koalisi, konspirasi dan konflik politik Nusantara. Mengacu kamus dan bahasa politik, ternyata antara koalisi, konspirasi dan sejenisnya sampai konlik adalah sami mawon. Dipertegas sebagai paket politik. Dari aspek historis, kemasan paket dengan berbagai versi mempengaruhi biaya politik dalam negeri.

Secara formal kebangsaan, resmi kenegaraan, légitimitas kerakyatan kita tidak tahu secara terukur,  baku, standar sekarang ini apa dan/atau siapa musuh utama NKRI.

Di era Orde Baru, didengungkan lewat bahasa pembangunan dengan format Pembanunan Lima Tahun (pelita) bahwa kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan menjadi musuh bersama bangsa, negera, pemerintah dan rakyat Indonesia.

Pasca reformasi yang bergulir dari puncaknya, sampai ambang bawah periode 2014-2019, sepertinya sistem pemerintah kita adalah sistem berlapis, berjenjang. Bahasa gaulnya menjadi negara multipilot. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar