Halaman

Senin, 20 November 2017

doyan kursiné, wegah bayar utangé



doyan kursiné, wegah bayar utangé

Pepatah lama “sedikit demi sedikit, akhirnya jadi bukit” dirasakan perlu ada modifikasi, disesuaikan dengan tantangan dan selera zaman. Diterjemahkan atau direkayasa, ada yang pilih sesuai tradisi yaitu kalau bisa sekali keruk, 2 @ 3 generasi tercukupi.

Akhirnya, manusia politik dengan berbasis aliran manusia ekonomi, yang tak lain adalah upaya nyata mewujudkan ambisi, angan-angan, fantasi politik dengan semboyan modal minimal, hasil maksimal.

Karikatur orang terpeleset akibat kulit pisang, bisa dimanipulasi. Bukan mau mencontohkan penistaan agama, akibat lidah keselip, tapi memang lahir dari otak, benak dari sono-nya. Dimatangkan dengan kondisi politik yang sangat mendukung. Naga panjang sampai boyo bunting, sudah dalam kendali, koordinasi, dan komunikasi bak komando.

Jauh dengan kasus penistaan hukum oleh oknum ketua DPR. Aparat penegak hukum seperti kerbau dicocok hidungnya. Sudah lazim kalau NKRI sebagai negara yang punya hukum, dibuktikan dengan siapa yang berperkara.

Tak ada hubungan industrialis Pancasila antara biaya politik dengan utang luar negeri (ULN). Kendati pelaku utama, pelaku sentral sampai pelaku pelengkap penderitanya, tak beda jauh. Jangan dimultitafsirkan ada interaksi atau kaitan timbal balik. Sejarah tahun politik 2018 dan 2019 akan membuktikan.

Rumus politik sederhana saja, semakin tinggi, semakin lama kuasa tentu akan menambah biaya politik. Semakin berpengalaman tim relawan, sudah tidak pakai tarif dasar. Tarif komersialnya menjadi berlipat disbanding tarif perkenalan. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar