doyan
kursiné, wegah bayar utangé
Pepatah lama “sedikit demi sedikit,
akhirnya jadi bukit” dirasakan perlu ada modifikasi, disesuaikan dengan
tantangan dan selera zaman. Diterjemahkan atau direkayasa, ada yang pilih
sesuai tradisi yaitu kalau bisa sekali keruk, 2 @ 3 generasi tercukupi.
Akhirnya, manusia politik dengan berbasis
aliran manusia ekonomi, yang tak lain adalah upaya nyata mewujudkan ambisi,
angan-angan, fantasi politik dengan semboyan modal minimal, hasil maksimal.
Karikatur orang terpeleset akibat
kulit pisang, bisa dimanipulasi. Bukan mau mencontohkan penistaan agama, akibat
lidah keselip, tapi memang lahir dari otak, benak dari sono-nya. Dimatangkan
dengan kondisi politik yang sangat mendukung. Naga panjang sampai boyo bunting,
sudah dalam kendali, koordinasi, dan komunikasi bak komando.
Jauh dengan kasus penistaan hukum
oleh oknum ketua DPR. Aparat penegak hukum seperti kerbau dicocok hidungnya. Sudah
lazim kalau NKRI sebagai negara yang punya hukum, dibuktikan dengan siapa yang
berperkara.
Tak ada hubungan industrialis
Pancasila antara biaya politik dengan utang luar negeri (ULN). Kendati pelaku
utama, pelaku sentral sampai pelaku pelengkap penderitanya, tak beda jauh. Jangan
dimultitafsirkan ada interaksi atau kaitan timbal balik. Sejarah tahun politik
2018 dan 2019 akan membuktikan.
Rumus politik sederhana saja,
semakin tinggi, semakin lama kuasa tentu akan menambah biaya politik. Semakin berpengalaman
tim relawan, sudah tidak pakai tarif dasar. Tarif komersialnya menjadi berlipat
disbanding tarif perkenalan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar