Merasa
Benar Melaju di Bahu Jalan
Jalan tol bebas hambatan, tapi membayar
di depan dengan e-toll, sudah jelas peruntukannya. Khususnya lajur 1 atau lajur
paling kiri untuk truk, bis. Jalur paling kanan, khusus kecepatan tinggi atau
hanya untuk mendahului, menyalip. Dilarang menyalip dari kiri. Pemerintah berbaik
hati menyediakan bahu jalan, untuk keadaan darurat.
Namanya pengguna jalan yang notabene
pemilik mobil pribadi, komersial maupun plat merah. Dipastikan karena kondisi
keakuan yang harus cepat berpikir, atau tak perlu pakai pikir lama untuk
memilih jalur. Utamakan kelancaran diri sendiri. Apa arti rambu. Yang penting
selamat.
Di kehidupan nyata yang serba bebas.
Antar kendaraan politik seolah bak menghadapi lawan yang harus segera
dibinasakan. Bahkan kendaraan politik dengan karoseri satu pabrik, namun beda
kemasan, lain merk, di palagan harus full serba anéka mégatéga.
Ujaran kebencian, bahkan dengan
tindak penistaan agama, belum menjamin mampu melaju di jalur lambat sekalipun. Berkat
ramuan ajaib revolusi mental, banyak anak bangsa, putera-puteri asli daerah,
manusia politik mampu bermanuver dengan semua jurus modus.
Peradaban berkemajuan bidang
politik, menjadikan manusia politik siap jadi robot. Semisal parpol loyalis
Jokowi yang merupakan boneka manusia ekonomi, perpanjangan tangan investor politik
siap membabat gerakan anti-Pancasila.
Bahkan laskar, brigade pengayom
pengayem masyarakat, akan bertindak sesuai asas patuh, taat, loyal, setia
kepada masjikan, juragan yang memberi nikmat dunia berupa jabatan, pangkat,
kekuasaan.
Agar tampak sibuk, banyak loyalis
Jokowi expose citra dan pesona diri sambil melaju di bahu jalan. Sang propaganda
memberitakan, bahwa ybs mau melaju, menyalip semua kendaraan, tidak diberi
peluang. Akhirnya pilih jalan pintas, potong kompas, jalur kiri. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar