semua
sudah berakhir untuk semua, termasuk diriku
Namanya manusia, jika diberi
kesempatan ulang, tentu berjanji akan memilih dan memilah perbuatan yang baik
dan niat akan bertindak lebih baik lagi. Bukan penyesalan yang datang
belakangan. Tetapi sebagai hasil mawas diri, bercermin diri, hisab diri,
evalusi diri, ukur baju sendiri.
Kehidupan harian memang tipikal,
mulai pagi hari sampai pagi hati berikutnya. Usia/umur kita bukan sekedar
angka, bilangan atau detik waktu, detak jantung dab gerak-gerik nafsu yang
paling dalam.
Manusia hidup membutuhkan bantuan
orang lain. Akakahkah kita menolak orang yang datang karena butuh bantuan kita.
Semua ada batasnya. Jangan sampai kita dianggap sebagai dewa penolong. Semua harus
dikembalikan ke hal yang benar, bahwa Allah segala Maha.
Wajar, betapa air minum segelas
sangat berharga bagi yang haus. Beda dengan orang buka puasa, bukan lapar yang
membuat dia minum/makan. Syarat untuk membatalkan puasa, bukan syarat perut
harus diisi.
Seberapapun bantuan kita kepada
orang lain, tentu harus berdasarkan syariat Islam. Secara normatif harus
mempunyai unsur edukasi, pembelajaran.
Kita sulit merasa dimana posisi kita
saat dalam keadaan bisa membantu. Apakah itu sebagai kewajiban umat atau
kewajiban secara hubungan darah.
Jangan bergarap ucap terima kasih
dari yang kita bantu atau yang menerima sebagian rezeki kita. Motivasi unsur
zakat, infaq, sedekah malah bisa memggunurkan amal kita jika tanpa ilmu. Atau sebagai
sarana bak dewa penolong yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan orang
lain.
Hidup kita memang bak di jalan raya,
di pasar senggol, yang mana dimana orang kedirinya saja tidak peduli, apalagi
ke bukan dirinya. Kala bukan orang lain. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar