Halaman

Kamis, 02 November 2017

semua sudah berakhir untuk semua, termasuk diriku



semua sudah berakhir untuk semua, termasuk diriku

Namanya manusia, jika diberi kesempatan ulang, tentu berjanji akan memilih dan memilah perbuatan yang baik dan niat akan bertindak lebih baik lagi. Bukan penyesalan yang datang belakangan. Tetapi sebagai hasil mawas diri, bercermin diri, hisab diri, evalusi diri, ukur baju sendiri.

Kehidupan harian memang tipikal, mulai pagi hari sampai pagi hati berikutnya. Usia/umur kita bukan sekedar angka, bilangan atau detik waktu, detak jantung dab gerak-gerik nafsu yang paling dalam.

Manusia hidup membutuhkan bantuan orang lain. Akakahkah kita menolak orang yang datang karena butuh bantuan kita. Semua ada batasnya. Jangan sampai kita dianggap sebagai dewa penolong. Semua harus dikembalikan ke hal yang benar, bahwa Allah segala Maha.

Wajar, betapa air minum segelas sangat berharga bagi yang haus. Beda dengan orang buka puasa, bukan lapar yang membuat dia minum/makan. Syarat untuk membatalkan puasa, bukan syarat perut harus diisi.

Seberapapun bantuan kita kepada orang lain, tentu harus berdasarkan syariat Islam. Secara normatif harus mempunyai unsur edukasi, pembelajaran.

Kita sulit merasa dimana posisi kita saat dalam keadaan bisa membantu. Apakah itu sebagai kewajiban umat atau kewajiban secara hubungan darah.

Jangan bergarap ucap terima kasih dari yang kita bantu atau yang menerima sebagian rezeki kita. Motivasi unsur zakat, infaq, sedekah malah bisa memggunurkan amal kita jika tanpa ilmu. Atau sebagai sarana bak dewa penolong yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan orang lain.

Hidup kita memang bak di jalan raya, di pasar senggol, yang mana dimana orang kedirinya saja tidak peduli, apalagi ke bukan dirinya. Kala bukan orang lain. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar