Efek Domino Kebijakan Partai Peninggalan Orde Baru
Tidak salah kalau ada asumsi moral
bahwa tradisi dan praktik kehidupan dalam sebuah partai politik, jauh dari rasa
guyub, rukun, kekerabatan atau sebutan lainnya. Bahkan kesamaan, persamaan ideologi
bukan jaminan sebagai ikatan moral, jalinan senasib sepenanggungan. Kendati ada
rukun berpartai politik. Ataupun ada adab berpolitik, berideologi.
Mungkin , karena ada adagium “dimana ada partai politik dan kehidupan, maka yang berlaku adalah hukum
politik dan kamus politik”. Modus internal partai bisa melebihi praktik
bentuk pemerintahan. Terkhusus, jika kedudukan ketua umum begitu sakral.
Minimal sebaga syarat tak tertulis untuk ikut bursa calon presiden dan calon
wakil presiden.
Ironis binti miris binti tragis,
bahwasanya sifat dan sikap tamadun (peradaban; kebudayaan; kemajuan) di atas
kertas pun tidak dirumuskan. Yang dikedepankan, diutamakan adalah AD dan ART
partai politik. Visi dan misi lima tahunan untuk mengantisipasi pesta
demokrasi.
Menyimpulkan dari rekam jejak partai
yang malang melintang di zaman Orde Baru, yang mengalami reformasi sejak 21 Mei
1998 yaitu PPP, PDI-P dan PG, serta masa transisi berakibat proses alami perubahan bentuk
berupa mrotoli, mrutuli, mreteli, mritili.
Terbukti 48 partai politik dari 141 partai politik yang ada dan terdaftar di
Departemen Kehakiman dan HAM ikut meramaikan pemilu 1999.
Rekam jejak oknum PG yang mampu ‘menyelesaikan kasus hukum tanpa hukum’, dielus-elus, digadang-gadang jadi puncak dan pucuk
pimpinan PG. kasus hukum papa minta saham, sebagai bukti, jatuh dari kursi
ketua DPR RI, berkat obat kuat berhala reformasi 3K (kaya, kuasa, kuat), mampu
rebut kembali sang kursi.
Disinyalir, jabatan ketua umum tidak
ada persyaratan umum maupun persyaratan khusus. PDI-P menjelma menjadi
perusahaan ideologi berbayar keluarga. Dibawah komunikasi, koordinasi, kendali,
komando dan ketiak trah presiden RI pertama. Hebatnya, sesuai AD dan ART, ketua
umum mempunyai hak prerogatif, dalam praktiknya termasuk hak veto. Secara hukum
politik, kamus politik, dan bahasa politik tidak ada yang salah dan layak
dipersalahkan. Modus operandi dan daya juang komunitas, sejauh ini aman-aman
saja, baik-baik saja. Karena sibuk mempraktikkan revolusi mental, sebagai
andalan politik. Skenario politiknya bukan sekedar mendaur ulang ajaran BK,
juga tergantung pesan sponsor dan bandar politik, penyandang dana, pemodal,
investor politik dan order konspirasi non-lokal dan non-nasional.
PPP menjadi ajang, medan laga,
panggung tarung syahwat, wahana dan sarana memajukan diri sekaligus
mensejahterakan diri. Mencampuradukkan urusan dunia dengan urusan akhirat.
Terbukti mampu melahirkan parpol dengan landasan ideologi “sama tak serupa,
seraut tak sewajah”. Yang penting gocekannya. Pelaku politik PPP dan parpol sempalannya
ditambah ormas Islam, menjadikan politik sebagai tujuan, bukan cara. Kalau bisa
diibaratkan, toleransi politik umat Islam, atau semangat ukhuwah antar parpol
berbasis Islam, atau hubungan kemanfaatan antara parpol berbasis Islam dengan
ormas Islam, malah menjadikan kaki kiri menginjak kaki kanan. Acap atau
terkadang kaki kiri menjegal kaki kanan. Opo tumon. Akhirnya, kaki kiri
dengan kaki kanan saling mencurigai, saling “jaga jarak”. Opo tumo tenan.
Memang salah, kalau merebut
kekuasaan secara konstitusional lewat jalur politik, dengan memanfaatkan pesta
demokrasi lima tahunan, bertolak belakang dengan ikhtiar partai politik membina
anggota atau membibit kadernya. Hukum keseimbangan, pasal harmonis terbukti
bahwa merebut kekuasaan berbanding lurus dengan membina kader.
Artinya, semua partai seperti
dituntut siap dengan kader yang layak tanding di pilkada, pemilu legislatif dan
khususnya pilpres. Pengalaman pemilu
2014, yang menghasilkan pemerintah Jokowi-JK, semakin membuktikan tidak ada
kader yang laik tanding di pentas nasional. Dua kali perombakan cabinet,
menambahkan bukti sejarah bahwa kader partai yang dikirim, hanya sekedar
memuaskan partai pendukung pemerintah. Tepatnya, partai politik memang tidak
siap kalah dan sekaligus tidak siap menang. Sesuai semboyan ”menang meradang, kalah berang”.
Akibat sederhananya, tanpa analisa
akademis yang fantastis, kader partai yang sedang kontrak politik, dihadapkan
pada dua pilihan. Pilih mensejahterakan partai yang telah membesarkannya atau
pilih mensejahterakan diri sendiri (pasal balik modal, cari modal baru). [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar