Halaman

Jumat, 21 Juli 2017

Efek Domino Kebijakan Partai Peninggalan Orde Baru



Efek Domino Kebijakan Partai Peninggalan Orde Baru

Tidak salah kalau ada asumsi moral bahwa tradisi dan praktik kehidupan dalam sebuah partai politik, jauh dari rasa guyub, rukun, kekerabatan atau sebutan lainnya. Bahkan kesamaan, persamaan ideologi bukan jaminan sebagai ikatan moral, jalinan senasib sepenanggungan. Kendati ada rukun berpartai politik. Ataupun ada adab berpolitik, berideologi.

Mungkin , karena ada adagium “dimana ada partai politik dan kehidupan, maka yang berlaku adalah hukum politik dan kamus politik”. Modus internal partai bisa melebihi praktik bentuk pemerintahan. Terkhusus, jika kedudukan ketua umum begitu sakral. Minimal sebaga syarat tak tertulis untuk ikut bursa calon presiden dan calon wakil presiden.

Ironis binti miris binti tragis, bahwasanya sifat dan sikap tamadun (peradaban; kebudayaan; kemajuan) di atas kertas pun tidak dirumuskan. Yang dikedepankan, diutamakan adalah AD dan ART partai politik. Visi dan misi lima tahunan untuk mengantisipasi pesta demokrasi.

Menyimpulkan dari rekam jejak partai yang malang melintang di zaman Orde Baru, yang mengalami reformasi sejak 21 Mei 1998 yaitu PPP, PDI-P dan PG, serta masa transisi berakibat proses alami perubahan bentuk berupa mrotoli, mrutuli, mreteli, mritili. Terbukti 48 partai politik dari 141 partai politik yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM ikut meramaikan pemilu 1999.

Rekam jejak oknum PG yang mampu ‘menyelesaikan kasus hukum tanpa hukum’, dielus-elus, digadang-gadang jadi puncak dan pucuk pimpinan PG. kasus hukum papa minta saham, sebagai bukti, jatuh dari kursi ketua DPR RI, berkat obat kuat berhala reformasi 3K (kaya, kuasa, kuat), mampu rebut kembali sang kursi.

Disinyalir, jabatan ketua umum tidak ada persyaratan umum maupun persyaratan khusus. PDI-P menjelma menjadi perusahaan ideologi berbayar keluarga. Dibawah komunikasi, koordinasi, kendali, komando dan ketiak trah presiden RI pertama. Hebatnya, sesuai AD dan ART, ketua umum mempunyai hak prerogatif, dalam praktiknya termasuk hak veto. Secara hukum politik, kamus politik, dan bahasa politik tidak ada yang salah dan layak dipersalahkan. Modus operandi dan daya juang komunitas, sejauh ini aman-aman saja, baik-baik saja. Karena sibuk mempraktikkan revolusi mental, sebagai andalan politik. Skenario politiknya bukan sekedar mendaur ulang ajaran BK, juga tergantung pesan sponsor dan bandar politik, penyandang dana, pemodal, investor politik dan order konspirasi non-lokal dan non-nasional.

PPP menjadi ajang, medan laga, panggung tarung syahwat, wahana dan sarana memajukan diri sekaligus mensejahterakan diri. Mencampuradukkan urusan dunia dengan urusan akhirat. Terbukti mampu melahirkan parpol dengan landasan ideologi “sama tak serupa, seraut tak sewajah”. Yang penting gocekannya. Pelaku politik PPP dan parpol sempalannya ditambah ormas Islam, menjadikan politik sebagai tujuan, bukan cara. Kalau bisa diibaratkan, toleransi politik umat Islam, atau semangat ukhuwah antar parpol berbasis Islam, atau hubungan kemanfaatan antara parpol berbasis Islam dengan ormas Islam, malah menjadikan kaki kiri menginjak kaki kanan. Acap atau terkadang kaki kiri menjegal kaki kanan. Opo tumon. Akhirnya, kaki kiri dengan kaki kanan saling mencurigai, saling “jaga jarak”. Opo tumo tenan.

Memang salah, kalau merebut kekuasaan secara konstitusional lewat jalur politik, dengan memanfaatkan pesta demokrasi lima tahunan, bertolak belakang dengan ikhtiar partai politik membina anggota atau membibit kadernya. Hukum keseimbangan, pasal harmonis terbukti bahwa merebut kekuasaan berbanding lurus dengan membina kader.

Artinya, semua partai seperti dituntut siap dengan kader yang layak tanding di pilkada, pemilu legislatif dan khususnya pilpres.  Pengalaman pemilu 2014, yang menghasilkan pemerintah Jokowi-JK, semakin membuktikan tidak ada kader yang laik tanding di pentas nasional. Dua kali perombakan cabinet, menambahkan bukti sejarah bahwa kader partai yang dikirim, hanya sekedar memuaskan partai pendukung pemerintah. Tepatnya, partai politik memang tidak siap kalah dan sekaligus tidak siap menang. Sesuai semboyan ”menang meradang, kalah berang”.

Akibat sederhananya, tanpa analisa akademis yang fantastis, kader partai yang sedang kontrak politik, dihadapkan pada dua pilihan. Pilih mensejahterakan partai yang telah membesarkannya atau pilih mensejahterakan diri sendiri (pasal balik modal, cari modal baru). [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar