Halaman

Rabu, 05 Juli 2017

kendil ngguling vs kursi njomplang



kendil ngguling vs kursi njomplang

Bangsa Indonesia yang mendapat stigma permanent underclass, uneducated people atau yang hak konstitusionalnya hanya sebatas sebagai pemilih pada pemilu, tanpa pendidikan politik tetap berkeringat berikhtiar nyata, terukur agar dapurnya tetap berasap.

MBR, RTM, keluarga prasejahtera atau sebutan lainnya, cita-cita ideologisnya hanya satu yaitu bagaimana modus utawa filosofi hidupnya yang layak dipakai agar kendilnya tidak ngguling. Artinya hari ini ada yang dimakan. Tersedia beras untuk ditanak dengan kendil, untuk santapan keluarga.

Soal sehari sekali bisa makan atau tanak nasi, sudah sangat bersyukur. Tidak perlu mikir yang jauh atau mengeluh dalam hati. Tidak sendirian, bahkan satu kampung masuk kategori kampung tertinggal. Mereka juga tidak tahu ternyata ada daerah tertinggal yang adalah kabupaten/kota. Atau ada sebutan daerah kurang beruntung.

Orang yang kurang beruntung sebagai predikat yang melekat, dipakai sebagai narasi pembangunan nasional.

Kapan mau cerita tentang kursi njomplang. Begini rwayatnya, ujar ki dalang Sobopawon. Konon, Indonesia adalah negara yang masih, sedang, selalu dan akan berkembang serta berkemajuan mengejar bayang-bayang masa lalu. Sibuk berangan-angan bisa mimpi di siang hari bolong. Sibuk lari di tempat mencari hari baik untuk bertindak.

Bagi anak bangsa, yang tentunya tidak termasuk cerita di atas, mendadak mendapatkan kursi panas sebagai penyelenggara negara. Perjuangan lewat jalur politik yang tak akan lepas dari biaya politik. Atau alternatif sisi lainnya, karena dianggap mampu oleh pihak tertentu dijagokan ikut pesta demokrasi. jika berhasil, memang tidak perlu kembali modal, balik modal. Tetapi lebih runyam, karena hukumnya wajib balas jasa, balas budi ke investor politik.

Jangan dibayangkan jika model ini terjadi pada pemilihan kepala negara atau pilkara. Parpol pengusung, pendukung akan panen rezeki jika jagonya menang berlaga. Parpol demikian ini tidak harus mengajukan kadernya. Malah bisa secara de facto menjadi the real president.

Namanya politik bung, jangan dikaji dengan kacamata moral. Kalau mau mengedepankan, mengutamakan rasa tenggang rasa, tepo sliro wong Jawa-Desa jelas akan perlaya sebelum berlaga.

  Di éra mégatéga, kalau tidak serba téga tak akan kebagian. Tak ada pasal konco dw, bolo dw. Dalam satu barisan siap saling menjegal, saling menjagal untuk muncul di permukaan, untuk tampil di barisan paling depan.

Jangan heran, asas saling curiga, rasa was-was tinggi antar sesama kamrad, sikap pasang badan jangan sampai kaplingnya diserobot pihak lawan. Lengah sebentar, lalai sekejap, kedudukan bisa tergusur. Kalau sudah duduk tidak hanya lupa berdiri, tetapi pantang berbagi.

Mau duduk manis bak anak mama, semangkin sulit. Banyak pihak yang akan menggoyang kursinya. Bahkan dari dalam lipatan.

Ironisnya, kaki tangan kanan seolah sudah tak kompak dengan kaki tangan kirinya. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar