kendil ngguling vs kursi njomplang
Bangsa
Indonesia yang mendapat stigma permanent underclass, uneducated
people atau yang hak konstitusionalnya hanya sebatas sebagai pemilih pada
pemilu, tanpa pendidikan politik tetap berkeringat berikhtiar nyata, terukur agar
dapurnya tetap berasap.
MBR,
RTM, keluarga prasejahtera atau sebutan lainnya, cita-cita ideologisnya hanya
satu yaitu bagaimana modus utawa filosofi hidupnya yang layak dipakai agar
kendilnya tidak ngguling. Artinya hari ini ada yang dimakan. Tersedia beras
untuk ditanak dengan kendil, untuk santapan keluarga.
Soal
sehari sekali bisa makan atau tanak nasi, sudah sangat bersyukur. Tidak perlu
mikir yang jauh atau mengeluh dalam hati. Tidak sendirian, bahkan satu kampung masuk
kategori kampung tertinggal. Mereka juga tidak tahu ternyata ada daerah
tertinggal yang adalah kabupaten/kota. Atau ada sebutan daerah kurang beruntung.
Orang
yang kurang beruntung sebagai predikat yang melekat, dipakai sebagai narasi
pembangunan nasional.
Kapan mau cerita tentang kursi njomplang. Begini rwayatnya,
ujar ki dalang Sobopawon. Konon, Indonesia adalah negara
yang masih, sedang, selalu dan akan berkembang serta berkemajuan mengejar
bayang-bayang masa lalu. Sibuk berangan-angan bisa mimpi di siang hari bolong.
Sibuk lari di tempat mencari hari baik untuk bertindak.
Bagi anak bangsa, yang tentunya tidak termasuk cerita di atas, mendadak
mendapatkan kursi panas sebagai penyelenggara negara. Perjuangan lewat jalur
politik yang tak akan lepas dari biaya politik. Atau alternatif sisi lainnya,
karena dianggap mampu oleh pihak tertentu dijagokan ikut pesta demokrasi. jika
berhasil, memang tidak perlu kembali modal, balik modal. Tetapi lebih runyam,
karena hukumnya wajib balas jasa, balas budi ke investor politik.
Jangan dibayangkan jika model ini terjadi pada pemilihan kepala negara atau
pilkara. Parpol pengusung, pendukung akan panen rezeki jika jagonya menang
berlaga. Parpol demikian ini tidak harus mengajukan kadernya. Malah bisa secara
de facto menjadi the real president.
Namanya politik bung, jangan dikaji dengan kacamata moral. Kalau mau mengedepankan,
mengutamakan rasa tenggang rasa, tepo sliro wong Jawa-Desa jelas akan perlaya
sebelum berlaga.
Di éra mégatéga, kalau tidak serba téga
tak akan kebagian. Tak ada pasal konco dw, bolo dw. Dalam satu
barisan siap saling menjegal, saling menjagal untuk muncul di permukaan, untuk
tampil di barisan paling depan.
Jangan heran, asas saling curiga, rasa was-was tinggi antar sesama kamrad,
sikap pasang badan jangan sampai kaplingnya diserobot pihak lawan. Lengah sebentar,
lalai sekejap, kedudukan bisa tergusur. Kalau sudah duduk tidak hanya lupa
berdiri, tetapi pantang berbagi.
Mau duduk manis bak anak mama, semangkin sulit. Banyak pihak yang akan
menggoyang kursinya. Bahkan dari dalam lipatan.
Ironisnya, kaki tangan kanan seolah sudah tak kompak dengan kaki tangan
kirinya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar