Halaman

Selasa, 31 Agustus 2021

tahunya karena memang tidak pernah tahu

 tahunya karena memang tidak pernah tahu

Bersyukur jika daya rekam otak benak manusia dengan akal sehatnya, atas pasokan, asupan lewat panca indra. Dibilang minimalis. Dengan skala standar, dasar, rata-rata itupun mampu membuat wong, orang, manusia ybs masuk kategori cukup. Soal bagaimana ybs mampu meningkatkan kapasitas  per-ingat-an tergantung niatan. Wajah tidak mewakili kandungan, kadar per-akal-an. Mau pintar tapi bodoh. Bodoh tapi cerdik binti licik. Beda kutub dengan pasal cerdas belia.

 Mana yang terlenbih dahulu muncul di nusantara. “Hukum ditetapkan untuk dilanggar” dengan “yang melek politik justru sadar diri melanggar norma politik”. Terjadilah rumusan hukum segal hukum vs politik segala politik. Tinggal bagaimana manusianya meninggalkan nama. Seencer-encer otak, tidak serta merta mampu tahu lebih tahu daripada pihak yang tidak mau tahu, tapi paham.

 Lihat apa saja yang diketahui orang lain, bukan simak seberapa berpengetahuan orang dimaksud. Kebijakan terapi kejut tidak akan membuat rakyat terkejut-kejut. Media massa atus utama maupun pasang surut arus. Menyajikan sajian senonoh kawanan penguasa nusantara. Penuh kejutan. Kinerja pembantu presiden atau pada umumnya penyelanggara negara dari unsur partai politik, Ditentukan gaya tahu dirinya yang serba buatan, semu, hafalan. Tidak layak dikomentari. [HaéN]

kriteria bau rakyat capres 2024, ini bunyi sunyinya

 kriteria bau rakyat capres 2024, ini bunyi sunyinya

 Hingga sampai pada 2024, atau 79 tahun NKRI merdeka. Tahunya rakyat hanya baru ada 7 (pitu) presiden. Sejarah punya catatan tersendiri. Jadi bahan baku disertasi. Bagi politisi sipil klas pecundang di era reformasi, lebih suka kuak rahasia dapur pihak lain. Bayangkan, analisa emosional tukang obral obrol jalanan, betapa capres petahana bisa kalah. Sekaligus menuding sinis ke pihakan spesialis capres.

 Pokoknya, sepertinya tidak ada yang beres dengan modus multipartai. Semua serba bisa dan layak dikomentari. Mengacu plus mengaca pilpres 2004, 2009, 2014, 2019 yang mencetak nama SBY dan Jokowi. Terkesan tidak ada kesan buat modal menentukan nasib menuju NKRI 100 tahun, Tahun Emas. Ideologi yang menjiwai bentukan partai politik, kian tidak berjiwa. Jiwa tersisa  tinggal ambisi politik rebut kursi secara konstitusional. Ini mah “kambing hitam” lebih paham.

 Format demi kepentingan rakyat berbalik fakta menjadi rakyat berjuang secara mandiri demi raih kebutuhan klas rakyat. Mural “tuhan aku lapar” dijadikan olok-olok politik. Sejalan, mengimbangi baliho senonoh secara politis. Rumusan bertata negara tentang apa itu “wakil rakyat” kian pudar, suram. Kinerja, kiprah, kontribusi “wakil daerah” bisa dilacak kasat mata rekam jejak petingginya. Seolah sudah tidak ada pihak yang lebih berpecundang menurut undang-undang. Efek demokrasi menang suara. [HaéN]

judul ke-100 agustus 2021

judul ke-100 agustus 2021

 Menimbang, bahwasanya target ambisius 100 judul/bulan. Melorot masih bisa masuk target ideal 3 judul/hari. Menanjak, sejauh ini belum sentuh angka 10%, tepatnya 110 judul. Seni terawang judul yang layak. Lihat huruf depannya. Kalau bisa abjad, alfabét, alfabét latin A hingga Z terwakili. Susah atau susah. Ini seninya. Mau berseni lain, dalam sehari 3 judul huruf depan judul sama.

 Pasal kualitas judul ditentukan pemirsa hati ini. merasa mulai hati, begitu judul ditayangkan di personal blogspot. Langsung ada yang minat baca positif. Lepas dari negara mana. 3 besar masih dari NKRI, Amerika Serikat dan Perancis. Usap dada tepuk jidat, jika sudah lewat 2x24 jam, status pemirsa masih bertahan di angka 1 (satu). Terimbangi dengan judul populer. 

Pengulangan diksi atau kata pada judul. Memang begitu jalan kehidupan. Sengaja, macam frasa “ . . . mbokdé mukiyo, dudu . . . “. Model asas banding-sanding-tanding. Sebulan bisa muncul lebih dari sekali. Wajar pakai bahasa Jawa, menghormati pemirsa yang lebih nyaman ngoko bloko suto. Apakah masih ada judul berikut, ke-101 dst. Lihat prokes diri. [HaéN]

buang peluang plus hilang satu kebajikan

buang peluang plus hilang satu kebajikan

Adab bermanusia bangsa besar karena sattus jutaan populasi penduduk. Sekian banyak catatan kelam tidak membuat kapok, jera untuk berbuat apa saja. Selain banyak temannya, juga mencontoh pihak di atas, penguasa. Kesenonohan lewat media massa arus utama maupun ruas bebas cegatan memacu memicu inspirasi. Tinggal melanjutkan adat formal bernegara. Tidak percuma pasang baliho. Mati gaya biasa, asal jangan mati angin.

 Itu orang, wong nusantara bumi pertiwi, begitu mata menatap fakta. Tidak ada alternatif tinggal comot tanpa keringat diri. Yang ditawarkan dan diwartakan serba yang tidak enak-enak plus. Harus begini harus begitu. Sarat aturan menjerat tangan dan lidah. Mau enak saja lewat cara yang tidak enak. Dalil tata moral politik subversi nusantara berbasis menghalalkan segala modus operandi. 

Pendekatan religius yang dianut manusia sejahtera, diam bungkam saja seolah membiarkan laku miring teman seiring. Rebutan nikmat dunia memang ada mitra kerja, teman usaha, kawan bermain, sekutu cari seteru. Prakteknya pakai hukum rimba belantara tanpa batas adiministrasi. Maunya langsung terima jadi tidak pakai ngapa-ngapain. [HaéN]

Senin, 30 Agustus 2021

moro noto mbokdé mukiyo, dudu moro notol

moro noto mbokdé mukiyo, dudu moro notol

 Semua anak terlahir dengan sejumlah refleks primitif (seperti Moro) dan refleks patologis (seperti Babinsky) yang mungkin dimediasi pada tingkat batang otak. Pada bayi normal, maturasi otak menyebabkan hilangnya refleks-refleks tersebut dan terjadinya reaksi keseimbangan dan postural yang mengawali keterampilan motorik. Pada bayi dengan CP, refleks-refleks primitif biasanya meningkat intensitasnya dan terlambat menghilang.

 Refleks primitif merupakan pergerakan involunter yang cenderung mendominasi pergerakan motorik pada 3-4 bulan pertama kehidupan bayi. Umumnya, saat usia 6-9 bulan, refleks ini tidak lagi ditemukan. Dalam mengevaluasi kemajuan perkembangan anak, lebih bermanfaat untuk mengukur hasil perkembangan dan fungsional dibanding dengan temuan fisik tersendiri, seperti rentang gerak atau refleks primitif. (Sumber :  Peraturan Menteri Kesehatan nomor 16 thun 2014 tentang Pemantauan Pertumbuhan, Perkembangan, dan Gangguan Tumbuh Kembang Anak)

 Katanya yang ahli kata, lema ‘sensasi’ anggap saja berasal dari kata sense yang berarti ‘alat pengindraan yang menghubungkan organisme dengan lingkungannya’.

 Pemanfaatan daya guna media digital dalam proses, prosedur, protokol memanusiakan manusia primitif pribumi seolah membuat ybs menggadaikan asas manusia bebas. Pihak lain menawarkan ajang dan peluang mengekspresikan, mengeksplorasikan, mengeksploitasikan potensi diri kedirian, mandiri, bebas merdeka. 

Agresivitas bumiputra asli ras lokal, cepat matang luar potensi perpolitikannya. [HaéN]

main hakim sendiri vs main polisi keroyokan

main hakim sendiri vs main polisi keroyokan

 Menjadi pasal universal. Bahkan di negara adidaya, penjunjung tinggi supremasi hukum. Politik beda warna kulit, cukup jadi alasan vonis hukum di tempat. Hemat ongkos perkara. Beda warna politik di belantara hukum multipartai.

 Bagaimana SOP, masalah teknis tergantung situasi kondisi lapangan. Berlindung di balik dalil diskresi. Hemat energi pemirsa, simak ulang “wewenang diskresi pengendusan vs gebuk duluan rembuk belakangan”. Date modified 12/29/2019 6:58 AM. Mau cuplik esensinya, malah bias karena semua penting.

 Jalan tengahnya, betapa nyawa manusia dihargai dengan hukum buatan manusia. Walau tidak direncanakan melakukan pembunuhan. Kejadian berulang masih bisa dicari celah pemaafan atau bebas sanksi.

 Terasa komplit aneka rasa aseli lokal kenusantaraan. Saatnya buka judul jadul “main hakim sendiri vs main polisi sendiri”. date modified 2/27/2018 6:51 PM. 

Ungkapan “main hakim sendiri” yang konon kalau pakai bahasa Paijo plonga-plongo adalah eigenrichting. Penyebabnya mungkin dikarenakan sang hakim tidak hadir di setiap persoalan, kejadian perkara, kasus di masyarakat. Katakanlah, rakyat menjadi korban dari tindakan oknum yang melawan hukum. [HaèN]

mau beli celana panjang, belum tentu berumur panjang

mau beli celana panjang, belum tentu berumur panjang

 Kegiatan harian yang mengkondisikan diri harus kenakan celana panjang plus pakai hem, ketika ke masjid. Celana panjang model “ringgo” alias garing dienggo. Cuma punya satu warna biru tua. Cocok untuk semua warna hem atau kaos. Kendati hem lebih sering dipakai sholat di masjid, kerah cepat kotor.

 Soal kaos, seminggu menumpuk masih ada yang siap pakai. Ke acara keluarga, resmi, santai, layat tetap pakai hem. Jalan kaki untuk aneka tujuan, praktis pakai kaos. Warna masker sepertinya solider dengan warna celana panjang. Soal sandal, bebas bentuk dan warna.

 Sajadah selebar bahu, coklat dan merah redup. Dirasakan perlu celana panjang warna coklat tua. Masalah bukan pada ukuran pinggang, masih ciri perut ksatria. Celana mudah digulung sampai di atas lutut untuk wudhu. Model formal pun, sepertinya untuk generasi cingkrang. Kalau ada yang dimaksud, ukuran pinggang untuk orang barat. Selama kerja, beli bahan drill bawa ke penjahit depan kompleks. Alih fungsi menjadi toko.

 Rasanya sejauh ini belum menemukan celana panjang dimaksud. Di toko yang berbeda. Kalau ada, pakai pertimbangan judul. [HaéN]