demi dan atas nama hukum untuk melawan hukum
NKRI
memang negara berdasarkan hukum, atau negara hukum. Terbukti tidak hanya ada
instansi penegak hukum, maupun aparat penjinak hukum. Hukum siaga 24 jam, siap
memenuhi panggilan gawat darurat.
Perubahan
ketiga UUD NRI 1945, menetapkan Pasal 1 ayat (3) :
Negara Indonesia adalah negara hukum
Masuknya
atau ditetapkannya Pasal 1 ayat (3) dimaksudkan untuk memperteguh paham bahwa
Indonesia adalah negara hukum, baik dalam penyelenggaraan negara maupun dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia ialah Negara yang berdasar atas
hukum (rechsstaat) tidak berdasarakan atas kekuasaan belaka (machstaat).
Praktik
hukum yang berlaku di Nusantara tidak jauh dari jargon “siapa yang menguasai jalan akan
menjadi penentu nasib pengguna jalan”. Artinya,
jalannya proses hukum ditentukan adanya pihak pengadu, penggugat atau istilah
lainnya. Dalih pasal yang dilanggar atau pasal yang dipakai menjebak tersangka.
Bukan juga. Argo hukum akan berdetak tergantung siapa yang berpekara; siapa
yang tersangkut kasus hukum; siapa yang sedang berurusan dengan hukum.
Penanganan
hukum oleh pihak berwenang sudah sedemkian transparan. Walhasil, nanti di pesta
demokrasi 2019, kota suara, bahkan bilik suara harus dari bahan yang transparan
atau tembus pandang.
Memang
belum ada kebijakan pemerintah maupun keputusan politik negara yang menetapkan
HET pasal hukum yang dianggap tidak komersial.
Sebagai
negara hukum, kita harus yakin sopo sing salah tetep salah. Becik ketitik,
olo ketoro. Tentunya kita tak sekedar mengandalkan tema film layar lebar
bahwa “kebenaran akan selalu menang”. Menang di babak akhir setelah babak
belur, babak bundas, habis-habisan.
Dengan
berdasarkan pada asas kesamaan dalam hukum yang menjadi salah satu prasyarat
dalam suatu negara hukum, saksi dan pelapor dalam tindak pidana korupsi harus
pula diberi perangkat hukum untuk menjamin perlindungan hukum.
Dari
berbagai sumber disebutkan kalau secara umum, jika dalam setiap negara yang
menganut paham negara hukum, dapat dilihat dari bekerjanya tiga prinsip dasar,
yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality
before the law) dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan
dengan hukum (due process of law). Dalam penjabaran selanjutnya, pada
setiap negara hukum akan terlihat ciri-ciri akan adanya:
a.
Jaminan perlindungan hak asasi manusia;
b.
Peradilan yang merdeka;
c.
Legalitas dalam arti hukum, yaitu baik pemerintah/negara,
maupun warga negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum.
Agaknya,
hukum sudah mengantisipasi pelaku hukum yang seolah “kebal hukum”. Bukan tanpa maksud gratis jika
ada Undang-Undang Republik Indonesia nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman
Republik Indonesia, yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 7
Oktober 2008. Penjelasan Pasal 1 angka 3 :
Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui
wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan
wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam
penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan
pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi
masyarakat dan orang perseorangan.
Jadi,
seolah hanya pihak yang berwenang, pihak yang mengantongi hak guna wewenang
saja yang menjadi subyek UU 37/2008. Begitulah kejadian sebenarnya akibat
wewenang sudah masuk ranah politik. Sudah kita maklumi bersama, bahwasanya
kamus politik, bahasa politik, hukum politik yang dominan dalam pelaksanaan
hidup berbangsa dan bernegara.
Maladministrasi
bukan hanya berbentuk perilaku/tindakan tetapi juga meliputi Keputusan dan
Peristiwa yang melawan hukum. Disini, modus tindak maladministrasi tentu akan
menyesuaikan dengan hukum. Kendati ada sapu bersih dan sikat bersih praktik
maladministrasi, demi wibawa negara maka maladministrasi tak akan surut. Mereka
tentu akan memperbaiki prosedur, tata cara maladministrasi sesuai asas
legalitas atau aturan main internal, yang tak terdeteksi radar.
Bagaimana
dengan Penyelenggara Negara yang melampaui dan melebihi panggilan kewajiban
dalam melaksanakan tugas atau kewenangannya.
Jadi,
. . . [HaèN]