Halaman

Minggu, 30 Juli 2017

demi dan atas nama hukum untuk melawan hukum



demi dan atas nama hukum untuk melawan hukum

NKRI memang negara berdasarkan hukum, atau negara hukum. Terbukti tidak hanya ada instansi penegak hukum, maupun aparat penjinak hukum. Hukum siaga 24 jam, siap memenuhi panggilan gawat darurat.

Perubahan ketiga UUD NRI 1945, menetapkan Pasal 1 ayat (3) :
Negara Indonesia adalah negara hukum

Masuknya atau ditetapkannya Pasal 1 ayat (3) dimaksudkan untuk memperteguh paham bahwa Indonesia adalah negara hukum, baik dalam penyelenggaraan negara maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia ialah Negara yang berdasar atas hukum (rechsstaat) tidak berdasarakan atas kekuasaan belaka (machstaat).

Praktik hukum yang berlaku di Nusantara tidak jauh dari jargon “siapa yang menguasai jalan akan menjadi penentu nasib pengguna jalan”. Artinya, jalannya proses hukum ditentukan adanya pihak pengadu, penggugat atau istilah lainnya. Dalih pasal yang dilanggar atau pasal yang dipakai menjebak tersangka. Bukan juga. Argo hukum akan berdetak tergantung siapa yang berpekara; siapa yang tersangkut kasus hukum; siapa yang sedang berurusan dengan hukum.

Penanganan hukum oleh pihak berwenang sudah sedemkian transparan. Walhasil, nanti di pesta demokrasi 2019, kota suara, bahkan bilik suara harus dari bahan yang transparan atau tembus pandang.

Memang belum ada kebijakan pemerintah maupun keputusan politik negara yang menetapkan HET pasal hukum yang dianggap tidak komersial.

Sebagai negara hukum, kita harus yakin sopo sing salah tetep salah. Becik ketitik, olo ketoro. Tentunya kita tak sekedar mengandalkan tema film layar lebar bahwa “kebenaran akan selalu menang”. Menang di babak akhir setelah babak belur, babak bundas, habis-habisan.

Dengan berdasarkan pada asas kesamaan dalam hukum yang menjadi salah satu prasyarat dalam suatu negara hukum, saksi dan pelapor dalam tindak pidana korupsi harus pula diberi perangkat hukum untuk menjamin perlindungan hukum.

Dari berbagai sumber disebutkan kalau secara umum, jika dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, dapat dilihat dari bekerjanya tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law) dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Dalam penjabaran selanjutnya, pada setiap negara hukum akan terlihat ciri-ciri akan adanya:
a.            Jaminan perlindungan hak asasi manusia;
b.            Peradilan yang merdeka;
c.             Legalitas dalam arti hukum, yaitu baik pemerintah/negara, maupun warga negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum.

Agaknya, hukum sudah mengantisipasi pelaku hukum yang seolah “kebal hukum”. Bukan tanpa maksud gratis jika ada Undang-Undang Republik Indonesia nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 2008. Penjelasan Pasal 1 angka 3 :
Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.

Jadi, seolah hanya pihak yang berwenang, pihak yang mengantongi hak guna wewenang saja yang menjadi subyek UU 37/2008. Begitulah kejadian sebenarnya akibat wewenang sudah masuk ranah politik. Sudah kita maklumi bersama, bahwasanya kamus politik, bahasa politik, hukum politik yang dominan dalam pelaksanaan hidup berbangsa dan bernegara.

Maladministrasi bukan hanya berbentuk perilaku/tindakan tetapi juga meliputi Keputusan dan Peristiwa yang melawan hukum. Disini, modus tindak maladministrasi tentu akan menyesuaikan dengan hukum. Kendati ada sapu bersih dan sikat bersih praktik maladministrasi, demi wibawa negara maka maladministrasi tak akan surut. Mereka tentu akan memperbaiki prosedur, tata cara maladministrasi sesuai asas legalitas atau aturan main internal, yang tak terdeteksi radar.

Bagaimana dengan Penyelenggara Negara yang melampaui dan melebihi panggilan kewajiban dalam melaksanakan tugas atau kewenangannya.

Jadi, . . .  [HaèN]

antara maladministrasi dengan anomali panggilan tugas



antara maladministrasi dengan anomali panggilan tugas

Dalam hukum positif Indonesia ada 9 kriteria yang menjadi kategori maladministrasi (1) Perilaku dan perbuatan melawan hukum (2) Perilaku dan perbuatan melampaui wewenang, (3) Menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, (4) Kelalaian (5) Pengabaian kewajiban hukum (6) Dalam penyelenggaraan pelayanan publik (7) Dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan (8) Menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial (9) Bagi masyarakat dan orang perseorangan.

Sembilan kategori di atas berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 2008. Penjelasan Pasal 1 angka 3 :
Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.

Jadi, seolah hanya pihak yang berwenang, pihak yang mengantongi hak guna wewenang saja yang menjadi subyek UU 37/2008. Begitulah kejadian sebenarnya akibat wewenang sudah masuk ranah politik. Sudah kita maklumi bersama, bahwasanya kamus politik, bahasa politik, hukum politik yang dominan dalam pelaksanaan hidup berbangsa dan bernegara.

Maladministrasi bukan hanya berbentuk perilaku/tindakan tetapi juga meliputi Keputusan dan Peristiwa yang melawan hukum. Disini, modus tindak maladministrasi tentu akan menyesuaikan dengan hukum. Kendati ada sapu bersih dan sikat bersih praktik maladministrasi, demi wibawa negara maka maladministrasi tak akan surut. Mereka tentu akan memperbaiki prosedur, tata cara maladministrasi sesuai asas legalitas atau aturan main internal, yang tak terdeteksi radar.

Bagaimana dengan Penyelenggara Negara yang melampaui dan melebihi panggilan kewajiban dalam melaksanakan tugas atau kewenangannya.

Mengacu Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Juni 2009, secara acak ada ikhwal yang menggelitik :

Ketika penyelenggara negara menjalankan tugas atau kewenangannya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara;

Ketika penyelenggara negara melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya;

Ketika penyelenggara negara berjasa dan berprestasi luar biasa dalam bidang tugas atau kewenangannya;

Ketika penyelenggara negara menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan  kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia;

Ketika penyelenggara negara dengan keberanian, kebijaksanaan dan ketabahan luar biasa melampaui panggilan kewajiban tugas atau kewenangan pokoknya;

Ketika penyelenggara negara dengan tugas atau kewenangannya mampu memberikan keuntungan luar biasa untuk kemajuan bangsa dan negara;

Ketika penyelenggara negara pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa;

Ketika penyelenggara negara pengabdian dan pengorbanannya di bidang sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan beberapa bidang lain yang besar manfaatnya bagi bangsa dan negara;

Ketika penyelenggara negara pengabdian dan pengorbanannya di bidang demokrasi, politik, dan legislasi berguna bagi bangsa dan negara.

Jadi, . . .  [HaèN]

Indonesia Sok Akrab atau Sok Jago



Indonesia Sok Akrab atau Sok Jago

Indonesia bukan Indonesia namanya, kalau tindak kejahatan tidak lebih maju selangkah dibanding dengan hukum yang mengaturnya. Lebih hebat lagi Indonesia-ku, pelaku tindak kejahatan, kriminalitas atau sebutan lainnya, dengan berbagai skala kasus, bisa-bisa malah bisa dilakukan oleh yang seharusnya adalah oknum penegak hukum.

Pepatah kuno, peribahasa jadul sudah mensinyalir akan ada dan seolah tetap ada, yaitu “pagar makan tanaman”. Kondisi kekinian, peribahasa tsb disederhanakan lewat Undang-Undang Republik Indonesia nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 2008. Penjelasan Pasal 1 angka 3 :
Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.

Jadi, seolah hanya pihak yang berwenang saja yang menjadi subyek UU 37/2008. Begitulah kejadian sebenarnya akibat wewenang sudah masuk ranah politik. Sudah kita maklumi bersama, bahwasanya kamus politik, bahasa politik, hukum politik yang dominan dalam pelaksanaan hidup berbangsa dan bernegara.

Maladministrasi bukan hanya berbentuk perilaku/tindakan tetapi juga meliputi Keputusan dan Peristiwa yang melawan hukum. Disini, modus tindak maladministrasi tentu akan menyesuaikan dengan hukum. Kendati ada sapu bersih dan sikat bersih praktik maladministrasi, demi wibawa negara maka maladministrasi tak akan surut. Mereka tentu akan memperbaiki prosedur, tata cara maladministrasi sesuai asas legalitas atau aturan main internal, yang tak terdeteksi radar.

Maladministrasi merupakan salah satu unsur utama penghambat reformasi birokrasi selama ini.

Praktik penggunaan “kuasa” dan “wenang” sejak berlakunya perubahan UUD NRI 1945, tergantung ilmu yang dimiliki sang penerima wahyu atau mandat sebagai penyelenggara negara, pejabat publik, penguasa atau sebutan heroik lainnya.

Juga tidak. Justru rekam jejak, jam terbang yang menentukan bentuk selera improvisasi memanfaatkan, menggunakan kekuasaan dan/atau kewenangan di tangan. Bagaimana dengan yang bekerja dengan melampaui panggilan tugas dan kewenangannya. [HaèN]

Sabtu, 29 Juli 2017

rakyat memuliakan mulutnya untuk berdoa, bukan untuk menghujat dan/atau menjilat



rakyat memuliakan mulutnya untuk berdoa, bukan untuk menghujat dan/atau menjilat

Buih-buih, riak gelombang pergolakan politik Nusantara, seolah menutupi alam nyata kehidupan berbangsa dan benegara. Dapat dikatakan, akibat aneka menus ideologi tua dunia atau sampai terkini, masih eksis di NKRI.

Penguasa lebih mengedepankan cuap dan ucap mulut daripada kinerja. Semakin lantang bicara, semakin lebar buka mulut, semakin merasa telah berbuat banyak buat negara.

Merasa kalau argo pengabdian ditentukan oleh banyaknya suara, frekuensi suara, dengung dan gema suara yang didendangkan, dilolongkan.


Klimaksnya, ketika terjadi kasus penistaan agama yang melibatkan penguasa. Diyakini skenario berlapis ini tak akan menguap begitu saja. Karena target besarnya di pesta demokrasi 2019.

Pemerintah liwat aparat keamanan negara, mempunyai jurus mematikan, senjata pamungkas, aji dan jimat rahasia. Rakyat tingal pilih. Ditunjuk pakai tangan kiri yang artinya akan masuk hotel gratis alias penjara. Atau ditunjuk pakai tangan kanan yang bermakna boleh pilih tempat peristirahatan terakhir, di mana saja.

Stigma atau pencitraan manusia Indonesia sebagai teroris, pemakar, uneducated people, permanent underclass, warga negara klas kambing atau sebutan lainnya, tidak perlu direspon, bereaksi atau melakukan berbalas pantun. Jelas, karena menganggap orang lain lebih buruk dari diri kita adalah suatu keburukan sendiri.

Jangan coba-coba otak-atik kebijakan pemerintah Jokowi plus minus JK, menghadapi pesta demokrasi 2019. Biarkan pemerintah urus pemerintahannya. Kalau rakyat sampai sumbang suara – apalagi suara sumbang – bisa dikenai pasal berlapis berbasis makar, teror harga, fitnah dunia, mencemarkan sekaligus merugikan nama baik negara.

Konon ada Pasal lama, KUHP, berujar tertulis : Barang siapa mengadakan hubungan dengan negara asing dengan maksud menggerakkannya untuk melakukan perbuatan permusuhan atau perang terhadap negara, memperkuat niat mereka, menjanjikan bantuan atau membantu mempersiapkan mereka untuk melakukan perbuatann permufakatan atua perang terhadap negara, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Bisa saja di periode 2014-2019, ada yang merasa tersinggung jika dimaksud sebagai pihak yang bisa berhubungan dengan negara asing. Karena tidak mungkin seorang rakyat mampu, bisa, dapat berhubungan dengan negara asing. Begitu juga sebaliknya, seorang rakyat yang sedang duduk melamun, tahu-tahu didatangi orang asing. Kecuali turis asing yang kesasar di daerahnya.

Rakyat tidak tahu persis, pihak mana saja di dalam negeri yang sering ke luar negeri, khususnya ke negara tertentu atau satu negara saja. Sesuai dengan kepentingan dan urusannya, yang tidak terkait dengan kepentingan rakyat.

Munculnya ratusan partai politik hanya merupakan puncak gunung es. Masalah yang terpendam harus kita waspadai, siap-siap meledak dan menghancurkan bangsa ini. Eksesnya sudah kita rasakan dengan tertelannya peradaban bangsa oleh sebaran dan edaran bebas Narkoba dan ragam pornografi sebagai alat pemukul penguasa.

Rakyat saat melakoni kehidupannya tidak pikir panjang dengan apakah langkahnya konstitusional atau tidak. Mereka kebanyakan buta politik tetapi tanpa pamrih bekerja karena merasa negara ini yang memberi makan. Modalnya sederhana, kalau roda semakin obah maka rezeki akan semakin tambah.

Aneka konflik di akar rumput, bahkan di depan hidung pemerintah yang bermarkas di ibukota negara, selalu melibatkan penguasa dan/atau pengusaha di satu pihak yang benar dan baik melawan rakyat yang dianggap tidak pro-Pancasila. Rakyat yang ingin mencemarkan wibawa negara. Rakyat yang ingin menghalangi laju pembangunan nasional maupun pembangunan daerah.

Rakyat masih mempunyai kekuatan doa dan kebajikan tanpa pamrih. [HaèN]