Halaman

Senin, 31 Oktober 2016

Efek Domino HP, Memendekkan Daya Ktiris vs Memperpanjang Angan-Angan



Efek Domino HP, Memendekkan Daya Ktiris vs Memperpanjang Angan-Angan

Banyak anak bangsa yang siap memakai berbagai produk Tekonologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Jari-jari mungil anak batita (bawah tiga tahun) tampak akrab dengan fitur diproduk TIK berupa apapun namanya. Telpon genggam menjadi sapaan akrab Hand Phone (HP). Anak dipacu mengenal calistung. Dilatih fokus dengan HP sebagai alat permainan.

Abang PSK (pedagang sayur keliling) sibuk melayani ibu rumah tangga di kompleks tempat tinggal, sesekali tangannya menjawab panggilan HP atau membaca sms masuk. Profesi yang berhubungan langsung dengan masyarakat semisal sopir angkot, bahkan layanan jasa antar jemput memakai mobil-motor, bisa menggunakan aplikasi. Penjual nasgor malam hari, tidak takut kehilangan pelanggan. Modal HP masih mempunyai pangsa pasar tersendiri. Urusan perut di malam hari, tak akan kemana.



Persoalan anak bangsa yang masuk kategori pengguna HP mampu menambah persoalan bangsa.  Hanya gara-gara HP, terdapat beberapa kasus pasutri cerai. HP tidak menambah komunikasi antar suami isteri. Wanita karir, sesampainya di rumah, tangannya tak serta merta meletakkan HP bersama perhiasan yang dipakai kerja. Malah pamer sibuk dengan HP di depan suami. Peradaban telah bergeser. Bukan sekedar antisosial, mengarah ke bencana rumah tangga. Lebih dahsyat ketimbang KDRT.

Generasi masa depan, kurang gaul kalau tak punya HP. Semakin canggih sang HP, bukti yang punya bukan orang sembarangan. Mereka sibuk dalam kumpulannya, dan masing-masing sibuk dengan HP-nya. Fungsi apa saja yang dijejali di HP menjadikan mereka bukannya gaptek, malah menjadi budak HP.

Ironis, jika membacakan isi berita di HP, dengan anggapan sebagai berita heboh. Berbobot, menyangkut tabiat pelaku, pekerja, petugas, pegiat partai. Bonot berita cuma sekelas Mukiyo. Jika mereka mendadak harus menjawab pertanyaan, tanpa melepas HP. Tampak mimik muka serius, biar dikira berfikir luar dalam. Jawaban yang dihasilkan, tidak perlu diperdebatkan. [HaeN]

Selasa, 25 Oktober 2016

puitis sekali, penyebab anak teknik enggan diskusi agama



puitis sekali, penyebab anak teknik enggan diskusi agama

Kejadian satu perkara belum bisa ditarik kesimpulannya. Lebih afdol kalau sudah 3 (tiga) kasus baru dapat disimpulkan. Bukan berarti satu kejadian, terlebih berdiri sendiri, tidak bisa diperdebatkan. Jangan lupa kawan, satu kejadian, betapa kecil dan sederhananya, malah bisa sebagai indikasi, sinyal, pertanda. Mewakili fakta yang lebih besar, makro.

Ingat sejarah, ketika seorang mata-mata menyelidiki kekuatan negara yang akan diserangnya. Di taman, dia menemui anak kecil yang menangis. Membawa busur, satu anak panah dan satu burung bidikannya. Sang anak sedih, belum bisa mengikuti nasihat ibunya, satu anak panah untuk 3 burung. Sang mata-mata membaca pertanda bagaimana yang sudah dewasa. Tentu sudah ahli dan mahir memanah. Pulanglah ke negaranya, dan bilang kerajanya, kita belum siap menyerang.

Iseng saya buka fb. Kontak dengan teman yang sama-sama pensiun di tahun 2008. Ybs pasca pensiun tetap membantu kantor lama dengan pensiunan lainnya. Karena ada kegiatan fiktif, cukup sekian. Tahun berikutnya pilih jaga rumah. Ketika di fb-nya kuisi siapkan diri menuju kampung akhirat. Reaksinya sederhana “ … puitis sekali”. Tidak bisa disalahkan. Karena disiplin ilmu tekniknya yang akrab dengan angka serta menangani pekerjaan dengan bahasa program, menjadikannya sentris. Saya jawab : “bahasa agama .. “. Akhirnya saya coba hindari debatable.

Padahal, kalau kita simak terjemahan, tafsir Al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah, tidak bisa sekali baca langsung menyerap maknanya. Mengikuti majelis tholabul ‘ilmi atau mencari ilmu, modal telinga saja bukam jaminan merasuk ke hati. Bisa-bisa masuk telinga kanan ke luar dari telinga kanan juga.

Akankah anak manusia yang otaknya sudah terformat oleh displin ilmunya, menjadi kebal asupan rohani. Ataukah bahasa agama Islam sebagai proses syiar perlu metode khusus. [HaeN]

Sabtu, 22 Oktober 2016

Menakar Daya Ideologi Mahasiswa



Menakar Daya Ideologi Mahasiswa

Menyimak persyaratan bakal calon wakil rakyat, kepala daerah maupun anggota DPD, maupun calon presiden dan calon wakil presiden, yaitu berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat, apakah ikhwal ini mempengaruhi semangat dan jiwa ideologi anak bangsa yang sedang menimba ilmu di kampus.

Fakta dominasi partai politik sebagai komponen penyelenggara negara, sebagai hasil pesta demokrasi, dilengkapi dengan hiruk-pikuk politik, akankah menjadi trauma politik bagi mahasiswa sebagai pemilih pemula. Konflik internal partai politik menambah deretan alergi politik. Efek domino negara multipartai menjadikan pilihan mahasiswa menjadi asal pilih. Muka lama yang menghiasi parpol, kemasan dan label yang nyaris seragam serta tampilnya petualang politik malah memantapkan rasa antipati.

Hitam putih politik Nusantara, petugas partai berurusan dengan KPK serta berita miring tentang perilaku pelaku, pemain, pegiat politik tidak menyiutkan nyali, niat mahasiswa dan generasi muda untuk tidak sekedar jadi penonton. Mereka ingin ambil bagian dari lakon politik di panggung Nusantara.

Antrian calon pemain yang tidak diimbangi dengan pengkaderan, bukan satu-satunya penyebab mahasiswa melirik organisasi kemahasiswaan sebagai wadah asasi “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Praktik sukses organisasi kemahasiswaan maupun catatan hitamnya, tidak menjadikan penghalang bagi mahasiswa untuk berkonstribusi, berkiprah dan berkinerja dalam satu barisan.

Tradisi organisasi kemahasiswaan yang berbasis agama Islam sebagai pabrik orang politik, atau yang tak jauh dari hakikat keilmuan, menjadi karakter kuat organisasi. Mahasiswa berpolitik praktis, sebagai langkah awal, berproses menjadi petarung politik. Manfaat organisasi kemahasiswaan sebagai ‘sekolah politik’ bisa berjalan paralel dengan perkuliahan. Mensinergikan, meramu ilmu kampus dengan ilmu kemasyarakatan, menjadi pola baru berpolitik secara cerdas, bertanggung jawab dan bermartabat. [HaeN]

Dilema Manajemen Waktu Mahasiswa, Aktivis Organisasi vs Kutu Buku



Dilema Manajemen Waktu Mahasiswa, Aktivis Organisasi vs Kutu Buku

Seolah perjalanan waktu dan pertambahan usia mahasiswa menjadikannya studi tepat waktu atau sambil menyelam minum air. Waktu studi dimanfaatkan seoptimal mungkin. Waktu bergulir dengan rutin akan menggerakan argo biaya kuliah, biaya hidup. Beban kuliah tiap hari bertambah harus diimbangi dengan kehidupan sebagai insan kampus, sebagai bagian nyata dari masyarakat.

Menyiapkan diri menghadapi kenyataan hidup pasca wisuda, memaksa mahasiswa pandai-pandai mengelola waktu. Alternatif sebagai aktivis organisasi (organisasi kampus, organisasi kemahasiswaan) atau berpredikat kutu buku, memang bukan pilihan. Tak jarang yang mampu mentuntaskan keduanya secara paralel. Tak jarang pula setelah sekian waktu pasca wisuda, tiap alternatif membawa sukses yang berbeda.

Fakta mengatakan, mahasiswa penyandang IPK bisa diwisuda, malah suskes dunia. Meraih prestasi atau jabatan prestisius di masyarakat. Bahkan mampu membantu almamaternya atau mahasiswa yang sedang menimba ilmu. Strata sukses bisa menentukan nasib kampusnya, misal sebagai wakil rakyat. Kadar IPK bukan jaminan ke masa depannya. Sifat tekun, ulet, tabah yang menentukan konsistensi kehidupan dan hasil perjuangan hidup.

Kendati kampus bebas atau steril dari kegiatan politik,  bukan berarti pengkaderan oleh parpol berhenti. Perjuangan organisasi kemahasiswaan berbasis agama Islam harus berjuang keras, agar laku di mata mahasiswa. Aktif dikegiatan keagamaan sejak di bangku sekolah, memformat mahasiswa lebih nyaman dengan wadah yang menyatu dengan kampus. Memanfaatkan fungsi masjid kampus untuk berbagai aktivitas berbasis Islam.[HaeN]