antara yang Islam banget dengan yang Islam saja
Pada saat kajian bakda
subuh tiap sabtu dan minggu, secara tak langsung ujar ustad agar jangan baju
untuk tidur dipakai ke masjid, seolah ditujukan ke diriku. Saya sendiri
bukannya tak suka berdandan, cuma yang penting pakai busana secara sopan, rapi
dan sesuai adab berbusana secara Islam.
Di antara jamaah satu
saf, saya terlihat menonjol karena tidak memakai sarung, baju koko dan kopiah
atau tutup kepala sebagai bukti kehajian. Semakin menonjol dengan rambut putih.
Memang, kalau pas pakai baju kaos berkrah, saya pakai isya’ ataupun subuh
berjamaah.
Kata jamaah, satu-satunya atribut
Islam yang saya punyai yaitu janggut putih, mengimbangi rambut di kepala yang
serba putih. Mereka belum pernah melihat saya memakai sarung, baju koko, dsb.
Bahkan kopiah pun seperti tak punya. Kalau perlu, ke masjid memakai kaos
seminar, kaos sponsor berbagai warna. Bahkan sholat jumat, dengan santai
memakai kaos warna hitam.
“Mau kemana pak?”, sapa seseorang
ketika saya jalan cepat jelang azan isya’. “Ke masjid”, sambil senyum dan tetap
langkah cepat. Si penanya bertanya heran : “Ke masjid?”. Itulah persepsi orang,
mungkin karena melihat busana saya. Sebagai suatu premis yang wajar, manusiawi.
Akankah keislaman seseorang
ditakar dari busana, atribut fisik, nama atau sifat melekat lainnya. Jamainan Rasulullah
mengenal umatnya di akhirat dari pancaran wajahnya. Wajah teduh, bersih, bercahaya.
Wajah yang berbeda dengan umat agama lainnya. Tentunya di dunia, kadar jiwa,
kandungan reliji terpancar pada wajah, roman muka kita. In sya Allah. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar