Halaman

Jumat, 14 Oktober 2016

isu SARA dan sekaratnya hati nurani petahana



isu SARA dan sekaratnya hati nurani petahana

Menghadapi pilkada serentak 2017, pilgub DKI Jakarta 2017 memang menyita enerji rakyat. Mungkin penduduk Jakarta terlihat adem-ayem. Orang kaya, golongan atas, atau pelaku ekonomi, punya prinsip siapapun gebernurnya, jangan sampai modus operandinya terusik. Jangan sampai jaringan dan cengkeraman bisnisnya di kutak-katik. Sejauh ini, sepanjang sejarah Jakarta, hubungan mereka dengan pihak berwajib di Jakarta, mulus dan baik-baik saja. Pasang surut, gejolak dan konflek etnis, malah semakin mengkokohkan kekuasaan mereka. Terlebih golongan mereka disambut dengan gelaran karpet merah oleh kepala negara di istana negara.

Gubernur Jakarta yang sekarang, sekedar melanjutkan periode 2012-2017. Semula jadi wakil gubernur, karena gubernur naik derajat, tak ayal secara konstitusional wakil gubernur maju selangkah disumpah jadi gubernur. Ini bukan satu-satunya maka ybs semangat maju di pilkada atau pilgub DKI Jakarta 2017. Sebagai ibukota negara, apapun yang terjadi bisa menjadi barometer eksistensi pemerintah. Pemenang pesta demokrasi 2014 ingin mengulang suksesnya di pesta demokrasi 2019. Sederhana bukan.

Carut-marut, kemelut jelang pilgub DKI Jakarta 2017, menjadikan sang petahana kalut, kusut dan asal sebut dan sembarang buka mulut. Apa isi perut, apa kandungan otak, itu yang dikeluarkan. Seolah tidak ada proses di hati nurani. Mungkin aliran kepercayaannya sah-sah saja menistakan suatu agama. Logikanya, jika penganut agama samawi, agama langit yang dibawa oleh seorang nabi, tak akan menistakan agama lainnya. Jika terjadi, mungkin hati nurani ybs sudah berkarat dari sono-nya.

Bangsa Indonesia sebagai negara ber-Pancasila, sudah cerdas, tidak buta politik dan bisa menentukan pilihannya sesuai keluhuran bangsa.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar