isu SARA dan sekaratnya hati nurani petahana
Menghadapi pilkada serentak 2017, pilgub DKI Jakarta 2017
memang menyita enerji rakyat. Mungkin penduduk Jakarta terlihat adem-ayem. Orang
kaya, golongan atas, atau pelaku ekonomi, punya prinsip siapapun gebernurnya,
jangan sampai modus operandinya terusik. Jangan sampai jaringan dan cengkeraman
bisnisnya di kutak-katik. Sejauh ini, sepanjang sejarah Jakarta, hubungan
mereka dengan pihak berwajib di Jakarta, mulus dan baik-baik saja. Pasang surut,
gejolak dan konflek etnis, malah semakin mengkokohkan kekuasaan mereka. Terlebih
golongan mereka disambut dengan gelaran karpet merah oleh kepala negara di
istana negara.
Gubernur Jakarta yang sekarang, sekedar melanjutkan
periode 2012-2017. Semula jadi wakil gubernur, karena gubernur naik derajat,
tak ayal secara konstitusional wakil gubernur maju selangkah disumpah jadi
gubernur. Ini bukan satu-satunya maka ybs semangat maju di pilkada atau pilgub
DKI Jakarta 2017. Sebagai ibukota negara, apapun yang terjadi bisa menjadi
barometer eksistensi pemerintah. Pemenang pesta demokrasi 2014 ingin mengulang
suksesnya di pesta demokrasi 2019. Sederhana bukan.
Carut-marut, kemelut jelang pilgub DKI Jakarta 2017,
menjadikan sang petahana kalut, kusut dan asal sebut dan sembarang buka mulut. Apa
isi perut, apa kandungan otak, itu yang dikeluarkan. Seolah tidak ada proses di
hati nurani. Mungkin aliran kepercayaannya sah-sah saja menistakan suatu agama.
Logikanya, jika penganut agama samawi, agama langit yang dibawa oleh seorang
nabi, tak akan menistakan agama lainnya. Jika terjadi, mungkin hati nurani ybs
sudah berkarat dari sono-nya.
Bangsa Indonesia sebagai negara ber-Pancasila,
sudah cerdas, tidak buta politik dan bisa menentukan pilihannya sesuai keluhuran
bangsa.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar