Dinamika Tanah Papua, Bangun Negara vs Bela Negara
Sejarah tanah Papua
berlomba dengan sejarah Indonesia pada umumnya. Kepedulian pemerintah, sejak
presiden pertama sampai sekarang, tak pernah surut. Letak geografisnya sebagai
pintu gerbang timur Indonesia, berbatasan darat langsung dengan negara lain, dikelilingi
negara kecil yang potensial menjadi pemancing konflik, potensi sumber daya alam
sebagai obyek jajahan negara adikuasa, budaya animisme dan dinamisme yang
dikemas dengan gaya tirani kepercayaan mayoritas, sampai heterogenitas karakter
rumpun ras Melanesia, memang perlu pendekatan khusus.
Kepedulian maupun
kewajiban pemerintah melalui berbagai kebijakan berupa otonomi khusus,
percepatan pembangunan, kawasan strategis nasional, kawasan perbatasan negara
sejauh ini tidak disambut meriah oleh masyarakat, khususnya oleh Orang Asli
Papua. Perangkat kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat – dibakukan menjadi
adat, masyarakat adat, hukum adat, masyarakat hukum adat, hak ulayat, orang
asli Papua, penduduk provinsi serta lambang daerah – menjadikan tanah Papua
menjadi sasaran empuk pihak asing, kepentingan asing. Potensi asing yang memang
sudah merasuk dan bercokol di tanah Papua, sebagai sumber konflik abadi.
Dinamika tanah Papua karena
adanya puncak gunung es di tengah samudera nan luas nyaris tanpa tepi. Terkadang
bak beriak tanda tak dalam. Belum adanya partai politik lokas seperti provinsi
Aceh.
Aceh sebagai pintu gerbang
barat Indonesia, mempunyai berbagai faktor pertimbangan historis yang
menjadikannya tak bisa disamakan dengan tanah Papua. Betapa perjalanan
ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas
sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang
tinggi.
Bahwasanya ketahanan dan
daya juang rakyat Aceh bersumber dari
pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam
yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (simak UU 11/2006
tentang Pemerintahan Aceh).
Jangan lupa kawan, bahwa
pemberlakuan kebijakan khusus untuk tanah Papua didasarkan pada nilai-nilai
dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak
dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme,
serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara. (simak UU 21/2001
tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua). Banyaknya faktor pertimbangan di
UU 21/2001 menyuratkan dan sekaligus menyiratkan kondisi nyata, kondisi terkini
yang mungkin sebagai pengulangan ritual hidup masyarakat. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar