Halaman

Selasa, 04 Oktober 2016

dikotomi generasi emas, budaya teh celup vs budaya kopi instan



dikotomi generasi emas, budaya teh celup vs budaya kopi instan

Betul, di atas kertas memang ada korelasi antara daya juang generasi penerus bangsa dengan peta praktik kondisi nyata kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Ironis binti tragis, nasib jutaan penduduk Indonesia ditentukan oleh kawanan elit parpol pemenang pemilu. Ditambah bonus demografi, angka harapan hidup, status manusia berdasarkan kelompok usia, indeks pembangunan manusia serta beban dan muatan politis. Kita tidak tahu jelang seabad Indonesia merdeka, perguliran “nasib” generasi penerus mengikuti pola berbanding lurus atau pola berbanding terbalik dengan kerikil-kerikil tajam revolusi 1945.

Kapasitas, kualitas, potensi anak bangsa diakui dunia lewat berbagai ajang kompetisi. Nasib setelah menyandang berbagai gelar juara, tergantung kebijakan yang disusun oleh anak bangsa yang “tidak dikenal”. Ambang tengah berlaku bagi tenaga kerja wanita yang mengadu nasib di negeri orang. Ke negeri tetangga, negara berbatasan langsung dengan NKRI saja belum tentu sukses, belum dijamin bernasib baik, apalagi ke seberang benua.

Kata kunci  perikepartaian Nusantara adalah generasi karbitan, regenerasi internal, dan . . . .

Kisah sukses anak bangsa dengan berbagai versi, menjadi pemacu dan pemicu generasi penerus untuk tidak berlama-lama berpangku tangan saja. Salah kaprah, menjadi tidak mau berlama-lama berkeringat. Minimal, sebelum kering keringat sudah meraih hasil yang optimal. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar