dikotomi generasi emas, budaya teh celup vs budaya kopi instan
Betul, di atas kertas memang ada
korelasi antara daya juang generasi penerus bangsa dengan peta praktik kondisi
nyata kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Ironis binti tragis, nasib
jutaan penduduk Indonesia ditentukan oleh kawanan elit parpol pemenang pemilu. Ditambah
bonus demografi, angka harapan hidup, status manusia berdasarkan kelompok usia,
indeks pembangunan manusia serta beban dan muatan politis. Kita tidak tahu
jelang seabad Indonesia merdeka, perguliran “nasib” generasi penerus mengikuti
pola berbanding lurus atau pola berbanding terbalik dengan kerikil-kerikil
tajam revolusi 1945.
Kapasitas, kualitas, potensi anak
bangsa diakui dunia lewat berbagai ajang kompetisi. Nasib setelah menyandang
berbagai gelar juara, tergantung kebijakan yang disusun oleh anak bangsa yang “tidak
dikenal”. Ambang tengah berlaku bagi tenaga kerja wanita yang mengadu nasib di
negeri orang. Ke negeri tetangga, negara berbatasan langsung dengan NKRI saja
belum tentu sukses, belum dijamin bernasib baik, apalagi ke seberang benua.
Kata kunci perikepartaian Nusantara adalah generasi
karbitan, regenerasi internal, dan . . . .
Kisah sukses anak bangsa dengan
berbagai versi, menjadi pemacu dan pemicu generasi penerus untuk tidak
berlama-lama berpangku tangan saja. Salah kaprah, menjadi tidak mau
berlama-lama berkeringat. Minimal, sebelum kering keringat sudah meraih hasil
yang optimal. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar