akankah kita malu, BAB overdosis
Kesibukan kita dengan urusan perut seola tak akan pernah berhenti, jarang
istirahat. Bekerja mencari sesuap nasi demi isi perut, demi panggilan suara
keroncong perut. Perut yang seyogyanya 1/3 untuk zar padat, 1/3 zat cair, dan
1/3 untuk tempat udara, acap kita penuhi dengan berbagai asupan gizi. Aji mumpung
selagi belum sakit gigi.
Kita meniru karakter bangsa semut, diambil sisi bahwa makanan bisa kita
timbun sebagai cadangan pangan keluarga. Ukuran orang miskin di zaman
Rasulullah adalah punya cadangan makan untuk tiga hari atau tidak. Menu roti,
kurma, susu sebagai makanan pokok.
Ada budaya makan enak, jelajah kuliner dari warteg ke warung serba ada. Cuma
jajal makanan, ada pola usahakan usai makan dimuntahkan, ganti menu lain. Atau pakai
obat mempercepat pencernaan.
Rutinitas kehidupan harian, bagian dari awalnya adalah menguras isi perut. Setelah
bangun pagi, tak lupa gosok mata berjalan tertatih ke kamar kecil. Terjadi pemaksaan
diri untuk betak nangkrong atau nangkring di atas closed. Tak peduli dengan antrian pemakai km/wc.
Usai bedah isi perut berbentuk kotoran manusia, sampah hasil proses
pencernaan, kita merasa lapar. Lega karena sudah tidak beban. Terbayang apa
yang kita makan hari ini. Atau malah sudah sesuai semboyan politis “siapa yang akan
kita makan hari ini?”.
Lubang wc penuh dengan kotoran buangan isi perut, kita anggap wajar. Sebanyak
yang kita makan, tentu keluarnya tidak mungkin lebih banyak. Apakah yang kita
makan hanya jadi kesia-siaan belaka. Apakah BAB sesuai syarat hidup sehat 3x
sehari. Kita tidak peduli. Yang kita buang, jangan dipikirkan lagi. Pikirkan apa
gantinya. Apakah hidup cuma begitu? [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar