Halaman

Minggu, 31 Desember 2017

diléma tahun politik, manusia politik vs manusia ekonomi



diléma tahun politik, manusia politik vs manusia ekonomi

Syahwat politik Nusantara, khususnya yang mengandalakn keringat orang lain, dinasti politik, politik adalah segala-galanya, tidak mengenal emanispasi. Semua manusia politik mempunyai hak yang sama. Jangan dibilang dalam hal korupsi atau penyalahgunaan wewenang, kekuasaan. Memanfaatkan kesempatan di periode ybs.

Semangkin nyata pergerakan politik – tanpa ideologi – karena hanya sebatas memperebutkan kekuasaan secara konstitusional, legal dan normal. Dibilang normal, karena sah-sah saja jika memakai dukungan dari semua pihak.

Sebut saja bahwasanya Polri dengan akal, nalar, logika diri sendiri, berniat, beringin membuat satgas politik uang.

Jangan dimultitafsirkan. Malah bisa terjerat pasal anti kemapanan, penebar dan penabur ujaran kebencian, upaya merongrong wibawa negara dari dalam, mempraktikkan pasal makar atau gerakan separatis berbasis pemerataan pembangunan.

Kesenjangan, ketimpangan, ketidakmerataan daya ideologi antar provinsi, sebagai faktor utama penyebab dominasi manusia ekonomi. Simak mengapa wabah dinasti politik masih aman-aman.

Tak salah, koalisi partai politik pro-pemerintah tidak akan lurus sampai tingkat kabupaten/kota. Jadi, namanya uang, tetap jadi penentu. Ingat, ideologi Rp menjadi lagu wajib kawanan parpolis. [HaèN]

Sabtu, 30 Desember 2017

diléma tahun politik, akal politik vs nafsu politik



diléma tahun politik, akal politik vs nafsu politik

Disebut sebagai makhluk ciptaan Allah swt yang paling sempurna karena manusia dilengkapi dengan perangkat kombinasi akal dan nafsu.

Perjalanan hidup manusia sebagai khalifah di muka bumi, berada di antara dua kutub akal dan kutub nafsu.

Pertama. Orang dan/atau manusia yang mahir, ahli, piawai mengeksploitir nafsunya, bisa-bisa dan memang bisa posisinya berada di bawah peringkat derajat hewan. Yang mana, dimana, binatang, hewan  mengandalkan naluri kehewanannya, mengutamakan insting atau indera kebinatangannya agar bisa bertahan hidup.

Binatang mengenal batas wilayah teritorial atau wilayah kekuasannya. Politik yang dijalankan adalah jangan sampai ada binatang lain, terutama satu jenis, untuk bebas keluar masuk.

Sebutan raja hutan, penguasa rawa atau pemilik tunggal angkasa, bukan sekedar dongeng atau fabel.

Kedua. Orang dan/atau manusia yang cerdas berakal, mendayagunakan daya otaknya untuk semua urusan bisa melebihi kapasitas malaikat. Karena malaikat diciptakan oleh Allah swt dengan modal akal tanpa nafsu.

Wajar, banyak anak bangsa kelebihan akal, nalar, logika ketika berinteraksi dengan sesama maupun lingkungan.

Akal politik, rasanya sudah kehabisan akal. Jangan heran terpaksa transfer akal dari pihak asing. Terjadi pada manusia politik. Semakin mendunia, maka semakin sarat dengan menu politik internasional.

Jadi, kesimpulan tapi bukan artinya. Nafsu kebinatangan yang menjadi hak milik hewan, mereka tak akan menyalurkan nafsu syahwat, nafsu berahi atau definsi lainnya, ke sesama jenis. Tidak ada perilaku lesbi maupun homo.

Syahwat politik Nusantara tidak mengenal emanispasi. Semua manusia politik mempunyai hak yang sama. Jangan dibilang dalam hal korupsi atau penyalahgunaan wewenang, kekuasaan. [HaèN]

Jumat, 29 Desember 2017

cinta tanah air vs bela negara



cinta tanah air vs bela negara

Spontanitas hati kecil kita mengatakan bahwa judul di atas adalah program pemerintah. Agak diciutkan, adalah bahasa pembangunan nasional yang mengakomodir bahasa politik. Bisa saja dari bahan kampanye saat pemilu, pilpres maupun pilkada.

Bagi penduduk, rakyat, masyarakat – apalagi dimana yang mana sebagai sumber sila-silanya Pancasila   menu harian yang mungkin tidak membangkitkan selera. Ternyata, nyatanya, nyata sekali bahwa anak bangsa yang hak ideologinya hanya dihargai pada hak pilihnya saja. 5 menit saat coblosan dan menentukan nasib bangsa dan negara 5 tahun ke depan.

Anak bangsa dimaksud tentu tak tahu apa itu rumusan ilmiah dari ‘cinta tanah air’ dan ‘bela negara’. Mereka juga tak tahu kalau sudah mempraktikkan sila-sila Pancasila.

Mulai dari petik sayur yang tumbuh di halaman atau di lahan “tak bertuan” sampai bersih-bersih rumah jangan sampai kemasukan “unsur asing” yang mengganggu kesehatan.

Kata ahlinya, apa hubungan sila ketiga Pancasila yaitu Persatuan Indonesia dengan ‘cinta tanah air’ dan ‘bela negara’.

Ketika bangsa ini dijajah oleh serbuan produk dan budaya asing, bahkan arus masuk orang asing. Untuk urusan dapur saja, semisal garam, daya ketahanan pangan dipertaruhkan. Siapa yang wajib bela? Dari dalam, dalam satuan waktu jam, kekayaan alam digerogoti, dikeduk, dikuras tuntas oleh konspirasi asing secara menerus dan berkelanjutan. Karhutla menjadi menu politik. Siapa yang wajib bertanggung jawab!

Rakyat bersyukur sebagai pihak yang tidak bisa berhubungan dengan pihak asing.  Kecuali bisa berkominukasi dengan turis mancanegara yang berkunjung ke daerah tujuan wisata. Jangan diartikan dengan berbodongnya tenaga kerja asing akibat efek domino masyarakat ekonomi ASEAN. Atau dampak perdaganagn bebas dunia. Khususnya karena Indonesia ramah investor.

Orang asing tersebut pada hakikatnya mempunyai niat dan tujuan serta keperluan, kepentingan, kebutuhan beraneka ragam. Sebagai tamu yang tak diundang sampai menjadi tamu kehormatan presiden.  Dengan dalih untuk berwisata, berniaga, kunjungan kerja, tengok lelihir dan keluarga, menjadi bagian kerja sama antar pemerintah serta dan ada pula yang hanya iseng transit.

Saat rakyat bergelut, bergumul, berkubang dengan nasibnya yang mempraktikkan ekonomi sehari, bak burung terbang jelang fajar berkibar, pulang tembolok sarat rezeki buat anaknya, maka kawanan parpolis mulai tingkat daerah (bahkan tingkat kelurahan/desa), sampai tingkat negara, penyandang wakil rakyat maupun ketua/kepala rakyat, sibuk menumpuk warisan dunia, warisan dari anak cucunya.

Artinya, diharapkan agar rakyat bersikap acuh, bertindak pasif, tak mau tahu terhadap kejadian nyata di depan mata. Rakyat diharapkan menghindarkan diri dari stigma ‘pahlawan kesiangan’.

Jadi, apapun yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bukan tangung jawab rakyat. Rakyat diposisikan sebagai penonton, dilarang ber-reaksi separah dan sepatah katapun, dengan tangan tengadah ke atas tetapi bukan untuk berdoa. Namanya penguasa artinya berkuasa menentukan nasib dan masa depan rakyat. Penguasa koq dilawan., masuk pasal makar. [HaèN]

Kamis, 28 Desember 2017

Jokowi I vs Jokowi II



Jokowi I vs Jokowi II

Kasihan kawan. Jangan berbuat zalim kepada sesama makhluk cptaan-Nya. Mosok, téga-téganya – walau masih di éra mégatéga – mengasumsikan, menyamaratakan, memukulratakan, mentotaljenderalkan antara loyalis Joko Widodo utawa Jokowi yang presiden ke-7 RI dengan fans fanatik, bonek Persija, Persib, Persebaya atau mungkin PSSI. Jelas beda kasta, strata, klas.

Di industri, panggung, syahwat, tidak ada aturan main. Bukannya tanpa efek domino. Diperparah dengan mesin pengganda pasal makar.

Pertama dan yang utama. Parpol mana saja yang mendukung Jokowi plus/minus JK di 2014. Dinamika yang terjadi akan menentukan nasib diri sendiri di 2019. Adegan, acara, atraksi yang diikuti manusia politik yang itu-itu saja. Pada saatnya akan menghasilkan harapan yang tinggal tumpukan asa.

Kedua. Sederhana saja. Pemilih pemula di 2019, sudah muak klimak dengan dagelan politik. Pemilih pemula 2014 sudah semakin sadar, mana emas mana Loyang. Semakin bola liar politik tak terkendali atau dikendalikan pihak asing, maka pilihan rakyat semakin yakin.

Jadi, skenario di atas kertas, malah semakin digoreskan malah semakin nyata hasilnya. karena pesta demokrasi 2019, pemilu serentak 2019 menjadi ajang adu kuat manusia ekonomi. [HaèN]