cinta tanah air vs bela negara
Spontanitas hati kecil kita mengatakan bahwa judul di atas adalah program
pemerintah. Agak diciutkan, adalah bahasa pembangunan nasional yang
mengakomodir bahasa politik. Bisa saja dari bahan kampanye saat pemilu, pilpres
maupun pilkada.
Bagi penduduk, rakyat, masyarakat – apalagi dimana yang mana sebagai sumber
sila-silanya Pancasila – menu harian yang mungkin tidak membangkitkan
selera. Ternyata, nyatanya, nyata sekali bahwa anak bangsa yang hak ideologinya
hanya dihargai pada hak pilihnya saja. 5 menit saat coblosan dan menentukan
nasib bangsa dan negara 5 tahun ke depan.
Anak bangsa dimaksud tentu tak tahu apa itu rumusan ilmiah dari ‘cinta
tanah air’ dan ‘bela negara’. Mereka juga tak tahu kalau sudah mempraktikkan
sila-sila Pancasila.
Mulai dari petik sayur yang tumbuh di halaman atau di lahan “tak bertuan”
sampai bersih-bersih rumah jangan sampai kemasukan “unsur asing” yang
mengganggu kesehatan.
Kata ahlinya, apa hubungan sila ketiga Pancasila yaitu Persatuan Indonesia
dengan ‘cinta tanah air’ dan ‘bela negara’.
Ketika bangsa ini dijajah oleh serbuan produk dan budaya asing, bahkan arus
masuk orang asing. Untuk urusan dapur saja, semisal garam, daya ketahanan
pangan dipertaruhkan. Siapa yang wajib bela? Dari dalam, dalam satuan waktu
jam, kekayaan alam digerogoti, dikeduk, dikuras tuntas oleh konspirasi asing
secara menerus dan berkelanjutan. Karhutla menjadi menu politik. Siapa yang
wajib bertanggung jawab!
Rakyat bersyukur sebagai pihak yang tidak bisa berhubungan dengan pihak
asing. Kecuali bisa berkominukasi dengan
turis mancanegara yang berkunjung ke daerah tujuan wisata. Jangan diartikan
dengan berbodongnya tenaga kerja asing akibat efek domino masyarakat ekonomi
ASEAN. Atau dampak perdaganagn bebas dunia. Khususnya karena Indonesia ramah
investor.
Orang asing tersebut pada hakikatnya mempunyai niat
dan tujuan serta keperluan, kepentingan, kebutuhan beraneka ragam. Sebagai tamu
yang tak diundang sampai menjadi tamu kehormatan presiden. Dengan dalih untuk berwisata, berniaga, kunjungan
kerja, tengok lelihir dan keluarga, menjadi bagian kerja sama antar pemerintah
serta dan ada pula yang hanya iseng transit.
Saat rakyat bergelut, bergumul, berkubang dengan nasibnya yang
mempraktikkan ekonomi sehari, bak burung terbang jelang fajar berkibar, pulang
tembolok sarat rezeki buat anaknya, maka kawanan parpolis mulai tingkat daerah
(bahkan tingkat kelurahan/desa), sampai tingkat negara, penyandang wakil rakyat
maupun ketua/kepala rakyat, sibuk menumpuk warisan dunia, warisan dari anak
cucunya.
Artinya, diharapkan agar rakyat bersikap acuh, bertindak pasif, tak mau
tahu terhadap kejadian nyata di depan mata. Rakyat diharapkan menghindarkan
diri dari stigma ‘pahlawan kesiangan’.
Jadi, apapun yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bukan
tangung jawab rakyat. Rakyat diposisikan sebagai penonton, dilarang ber-reaksi
separah dan sepatah katapun, dengan tangan tengadah ke atas tetapi bukan
untuk berdoa. Namanya penguasa artinya berkuasa menentukan nasib dan masa depan
rakyat. Penguasa koq dilawan., masuk pasal makar. [HaèN]