Halaman

Senin, 29 Februari 2016

menyelesaikan masalah hukum tanpa aspek hukum

menyelesaikan masalah hukum tanpa aspek hukum

Akankah hukum memang sesuai singkatan dari Hanya Untuk Kaum Umum dan Miskin (hukum). Itupun soal siapa yang bisa dikenai hukum, orang seperti apa yang hukum berlaku baginya, hukum diberlakukan kepada siapa saja.

Akankah pasal hukum hanya diberlakukan pada orang tertentu saja.

Apakah proses hukum hanya bisa jalan tergantung siapa yang tersangkut dan pasal berapa yang dilanggarnya. Justru yang termaktub inilah yang menjadi ciri tegaknya hukum di Indonesia. Penegakkan hukum membutuhkan biaya ekstra. 

Jika kasus yang ditangani malah membuang waktu dan menyedot biaya, bisa dikesampingkan. Kurang bukti bisa jadi dalih yuridis.
Jika bobot perkara tidak menambah nilai jual hamba hukum atau penegak hukum, bisa dimentahkan atau dijalankan secara marathon, ,massal.

Atau jika ingin dikira hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, perkara dengan tersangka wong cilik, segera diproses. Hukuman yang diputuskan menjadi bukti bahwa hukum buatan manusia memang cespleng.
Atau karena kasus yang ditangani sudah terlanjur jadi wacana publik, mendapat sorotan dan opini publik, terpaksa pihak peradilan tak mau setengah-setengah.

Andai terdakwa tidak masuk kategori ‘umum dan miskin’ serta pasal yang dilanggar merupakan pasal berlapis, bertingkat dan komersial, dipastikan proses peradilan butuh waktu. Semakin detik waktu bergulir, argo Rp semakin mengalir. Banyak pihak yang merasa diuntungkan secara finansial. [HaeN]

daya juang PG, mendaur ulang dosa politik Orba vs mengoplos ambisi politik Reformasi

daya juang PG, mendaur ulang dosa politik Orba vs mengoplos ambisi politik Reformasi

Sila ketiga Pancasila adalah ‘Persatuan Indonesia’, divisualkan dengan lambang pohon Beringin. Pohon beringin menjadi pohon pelindung, bagi siapa saja yang berteduh dibawah kerindangan daunnya. Alun-alun depan keraton kurang lengkap jika tidak ada pohon beringin. Spesies pohon beringin mengalami proses alami, sehingga ada yang menjadi tanaman hias karena warna daunnya, serta tak kurang yang dikerdilkan menjadi bonzai.

Sekber Golkar sejak diresmikan keberadaannya 20 Oktober 1964, di zaman Orde Lama, sampai sekarang telah mengalami penyesuaian diri dengan lingkungan menjadi Partai Golongan Karya (PG), tetap memakai lambang pohon Beringin. Kuningisasi di era Orda Baru, membuktikan betapa Golkar identik dengan pemerintah. Golkar menjadi pabrik menteri, gubernur, bupati/walikota dan jabatan sebagai penyelenggara negara. Seolah Golkar mampu menyatukan Indonesia dengan status single mayority serta massa mengambang. Diikatnya bendera kertas kuning di tiang papan nama jalan, tiang listrik, sebagai tanda berkabung.

Ironis, kemampuan PG untuk mempraktikkan ‘Persatuan Indonesia’ semakin mengalami degradasi. Menyatukan diri sendiri saja sudah kalang kabut. Memangnya para pelaku dan pemain politik di internal PG, memang menunjukkan watak aslinya. Atau PG sengaja membuka diri bagi semua elemen masyarakat, tanpa ada persyaratan formal, persyaratan administrasi. Atau justru persyaratan tak tertulis yang menentukan. Mulai dari yang berani malu atau wani wirang, waton suloyo, wani mbengoké, édan tenan malah diandalkan menjadi kader utama PG. Rekam jejak oknum PG yang mampu ‘menyelesaikan kasus hukum tanpa hukum’, dielus-elus, digadang-gadang jadi puncak dan pucuk pimpinan PG. [HaeN]

Jakarta surplus daya tarik politik

Jakarta surplus daya tarik politik

Hanya gara-gara Joko Widodo geilang menjabat gubernur DKI Jakarta, maka sebelum jatuh tempo sudah naik klas menjadi kepala daerah, tak urung jabatan gubernur Jakarta menjadi jabatan prestisius, jabatan bergensi. Ditetapkan secara politis jabatan gubernur ibu kota negara sebagai tiket terusan ke jabatan kepala negara.

Pilkada Jakarta yang akan dilaksanakan tahun 2017 menjadi daya tarik politik yang kuat. Seolah energi dan emosi bangsa tersedot dengan hajatan tersebut, sehingga kasus harian Jakarta nyaris tenggelam. Sebutan Jakarta kota BMKG (banjir, macet, kebanjiran, gusur) memang layak disematkan, dari satu periode gubernur diwariskan ke gubernur berikutnya.

Banyak oknum anak bangsa merasa bisa, merasa layak, merasa pantas tampil sebagai gubernur Jakarta.  Parpol juara umum pesta demokrasi 2014 bahkan merasa paling berhak atas jatah kursi gubernur Jakarta. Gubernur Jakarta yang belum jatuh tempo pasti sedang sport jantung. Mengandalkan konspirasi politik internasional berusaha agar tetap jadi gubernur. Andai kursi gubernur Jakarta dilelang, pasti berhasil diraihnya berkat dukungan pemodal yang sudah lama mendikte ekonomi nasional. Jalur independen sangat memungkinkan terjadi karena dukungan kekuata pedagang politik.

Sesuai hukum kesimbangan, jika Jakarta sarat dengan daya tarik politik, tak ayal berbagai modus operandi menjadi halal dilakukan. Mulai politisi pikun, politisi kambuhan, politisi karbitan/orbitan, politisi ecek-ecek akan berjibaku, bertarung mati-matian.

Pilkada Jakarta 2017 sebagai ajang pembuktian betapa parpol yang masih ada, malah unjuk diri dengan tanpa kadernya yang berani maju tanding. [HaeN]

Minggu, 28 Februari 2016

polusi sampah politik orde baru semakin semerbak

polusi sampah politik orde baru semakin semerbak

Begitu bangsa Indonesia dengan gemilang melengserkeprabonkan presiden RI ke-2, Jenderal Besar/Bapak Pembangunan/Penguasa Tunggal Orde Baru, Suharto, 21 Mei 1998, dampak politisnya yang luput dari kalkulasi akal politik kawanan Reformis, semakin menyeruak.

Pengalaman tempur Golongan Karya (golkar) yang bukan partai politik, ternyata nyatanya tidak bisa mengendalikan naluri dan nafsu syahwat politik anggotanya. Golkar diterpa perubahan bentuk, terjadi face mritili, mrutuli, mreteli mrotoli. Yang tidak terjadi yaitu mratali, sesuai huruf hidup : a, i, u, e, o.

Singkat cerita, di periode 2014-2019, Golkar yang sudah jadi partai politik, semakin membuktikan siapa saja pentolan yang gemar nangkring dan betah nongkrong di pucuk dan puncak pimpinan. Rekam jejak pengurus yang justru akrab dengan hukum, malah dianggap sebagai nilai jual. Karena didaulat sebagai daya surpise, daya survive mampu mengatasi masalah hukum tanpa hukum. Kondisi ini yang akan menyemarakan pengundian calo ketua umum PG.

Sekedar pengingat, kita simak kabar berikut :

Golkar Akrab dengan Isu Politik Uang
http://www.republika.co.id/berita/koran/politik-koran/16/02/23/o2zko916-golkar-akrab-dengan-isu-politik-uang
Selasa, 23 Februari 2016, 13:00 WIB

JAKARTA-Politikus Partai Golkar Bambang Soesatyo menyebut isu politik uang (money politics) bukan hal baru di internal partainya. Setiap kali pemilihan ketua umum, isu ini memang selalu ada. Namun, yang paling penting adalah bagaimana membuktikan adanya politik uang untuk membeli suara dalam pemilihan ketua umum Golkar.

"Kalau ada isu money politics, itu bukan hal baru di Golkar," tutur Bambang, di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (22/2). Menurut dia, harus ada pembuktian tentang yang disebut politik uang itu. Selama ini, isu tersebut diembuskan tanpa disertai bukti. Terlebih, kadang tidak bisa dibedakan money politics atau cost politics. Sebab, politik juga membutuhkan biaya. 

Biaya politik ini, imbuh Bamsoet, misalnya terjadi untuk biaya akomodasi peserta yang diundang dalam acara silaturahim. Peserta sangat mungkin tinggal di tempat yang sangat jauh dari lokasi acara, untuk itu, dibutuhkan biaya akomodasi seperti makan dan penginapan. 

Kalau memang dalam acara silaturahim tersebut peserta membuat surat pernyataan dukungan, juga tidak bisa disalahkan. Meski tanpa diberi imbalan uang, surat pernyataan dukungan ini juga dapat dilakukan. Namun, kalau dalam mendapat surat pernyataan dukungan tersebut terjadi transaksi dan dibayar atas tanda tangan dukungannya, itu sudah masuk jual-beli suara.

"Yang tidak boleh ini jual-beli suara, sekarang kan proses penggalangan silaturahim, jadi tidak perlu dipersoalkan," ujar dia.

Ketua Komisi III DPR ini mengatakan, tidak masalah aturan politik uang diperketat untuk pelaksanaan munas nanti. Bahkan, kalau itu menjadi aturan tertulis, hal itu menjadi masalah untuk salah satu calon. Yang tidak boleh adalah adanya pembatasan pemberian biaya akomodasi bagi peserta. 

Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia meminta Ketua Umum Golkar mendatang tidak membawa kepentingan politik penyumbang dana (cukong). Hal ini ditegaskan Doli setelah beredar kabar adanya praktik politik uang yang dilakukan oknum untuk kepentingan munaslub mendatang. "Yang sangat berbahaya adalah apabila uang yang diberikan berasal dari bokhir atau cukong yang pasti akan menitipkan kepentingannya kepada para calon Ketua Umum," kata Doli.

Menurut Doli, jika praktik transaksional itu benar maka patut dicurigai uang tersebut berasal dari para cukong penyandang dana yang kelak menitipkan kepentingan kepada calon ketua umum Golkar. Dia mengingatkan, praktik politik uang jika benar dilakukan menunjukkan mental politik para kader sudah pada titik nadir. Situasi itu, kata dia, tidak menguntungkan bagi perbaikan dan kebaikan partai ke depan. 

Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie (Ical), di DPP Partai Golkar akan memperketat pemilihan ketua umum di munaslub tahun ini. Praktik-praktik money politics atau politik uang akan dihapuskan dalam pemilihan ketua umum Golkar ke depan. 

Untuk itu, Golkar akan merumuskan aturan pelaksanaan munas yang melarang soal politik uang itu sebagai traksaksi memperoleh suara dukungan. "Saya mengimbau pada calon ketua umum kalau ada yang melakukan atau ingin memberikan sesuatu kepada daerah untuk mendapatkan suaranya sebaiknya dihentikan," ujar Ical.

Sementara itu, KPK menangkap indikasi potensi beredarnya aksi suap-menyuap dalam kaitan rencana pelaksanaan Munaslub Partai Golkar. "Mencegah memang lebih bagus, kita menangkap sinyal-sinyal (peredaran uang) itu ada, bahkan kita menangkap jumlah yang bakal beredar itu berapa, tapi data intelijen tidak bisa di-share," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang .
rep: Agus Raharjo/ antara, ed:Muhammad Hafil

***
infografis

Temuan Jelang Munaslub 
* Temuan Internal Golkar
-    DPP Golkar memiliki bukti caketum Golkar memberikan uang kepada pengurus DPD II Golkar 
-    Nilai politik uang mencapai  1.000 dolar Singapura dan 100 juta rupiah per DPD II Golkar
-    Caketum Golkar menjanjikan uang transportasi, uang saku, dan uang penginapan lebih dari Rp 25 juta kepada DPD II Golkar pada munaslub
-    Pengurus DPD Golkar Sulawesi Utara menyebut akan diberikan uang 10 ribu dolar AS jika memberikan surat pernyataan dukungan kepada salah seorang caketum 
* Temuan KPK:
-    Kajian KPK menemukan setiap kader partai berpotensi menjadi penyelenggara negara
-    KPK menemukan sinyal kuat adanya peredaran uang jelang Munaslub Golkar
-    KPK menyebut nilai politik uang jelang munaslub besar
-    KPK siap menangkap politikus Golkar yang melakukan politik uang dalam munaslub
Sumber: Pusat Data Republika

JADI . . .

Jarang terjadi, maling malah terang-terangan buka kedoknya. Itu saja. [HaeN]

Ketika Doa Tak Terucap

Ketika Doa Tak Terucap

Kita yakini ada waktu dan tempat atau kondisi tertentu yang mendukung doa menjadi mustajab. Doa bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Doa-ikhtiar-tawakal adalah tiga serangkai menjadi satu sistem, yang akan mempermudah dan memperlancar perjalanan keislaman kita di dunia serta merintis dan membuka jalan perjalanan menuju akhirat.

Akankah kita bisa berdoa dalam hati, bahkan sambil berdiri, seperti saat mengheningkan cipta di upacara bendera. Ataukah doa bisa dilakukan bersama di pembukaan pengajian. Ataukah kita tinggal mengamini doa imam usai sholat berjamaah. Berdoa ada rukunnya, ada aturan mainnya.

Kemustajaban tiga serangkai doa-ikhtiar-tawakal sesuai cuplikan firman Allah di [QS Ar Ra’d (13) : 11] : Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

Kita sebagai kaum atau bangsa, sering tak merasakan adanya kemunduran dari berbagai aspek kehidupan, mungkin karena terselubung dengan sepak terjang, hiruk pikuk dan dinamika politik Nusantara.

Ayat di atas menegaskan bahwa Allah memberi kesempatan, bahkan wewenang kepada manusia, untuk merubah keadaannya sendiri. Betapa seseorang mampu merubah nasib dengan usaha sendiri, dan dengan izin Allah. Merubah nasib, apakah ada kaitannya dengan merubah takdir-Nya? Wallahu ‘A’lam. Dari berbagai kajian, Islam memberikan isyarat dan syarat yang melandasi usaha manusia atau ikhtiar manusia, sebagai rangkaian merubah takdir, yaitu dengan cara memperbanyak doa dan menyambung silaturrahim berbasis semangat ukhuwah serta tawakal. Manusia wajib berproses, sementara hasil akhir atau raihan yang bisa dipetik menjadi hak prerogratif Allah.

Akumulasinya atau jika dilakukan secara berjamaah dapat berdampak pada nasib bangsa. Kita buka makna Qada Mu’allaq : adalah takdir yang digantung atau bersyarat, dalam artian ketentuan tersebut boleh berlaku dan terjadi, dan boleh juga tidak terjadi pada diri seseorang, bahkan ia bergantung kepada usaha manusia itu sendiri. Kondisi aktual dan faktual ini berdasarkan [QS Ar Ra’d (13) : 39] : Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).”

Kembali ke pokok bahasan doa. Kita memaknai doa sebagai permohonan. Namanya memohon, kita acap lupa, memohon atau mengajukan permintaan secara redaksional tak jauh beda. Sesuai sifat manusia, pas menghadapi masalah yang tak kunjung reda, atau saat menginginkan sesuatu terutama dalam ukuran duniawi namun belum terwujud, mendadak ingat Allah. Serta merta rajin dan sibuk berdoa.

Intinya, jadikan doa sebagai nafas kita. Artinya jangan sampai pas butuh, baru berdoa. Terlebih Allah sudah mengingatkan kita liwat [QS Yunus (10) : 12] : “Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.”

Kita jangan lupa berdoa untuk semua kondisi, bagaimanapun juga keadaan kita. Karena salah satu doa mujarab yaitu saat kita sering memperbanyak doa pada waktu lapang, lega tanpa masalah dan hati merasa bahagia. Sunnah Rasul yaitu dari Abu Hurairah ra., bahwasanya Rasulullah SAW bersabda. “Barangsiapa yang ingin doanya terkabul pada saat sedih dan susah, maka hendaklah memperbanyak berdoa pada saat lapang”. (HR. Tirmidzi, dan al-Hakim. Dishahihkan oleh Imam Dzahabi dan dihasankan oleh Al-Albani).

Ketika kita melihat bentuk kezaliman yang kita tidak mampu berbuat, minimal kita mengetahui, serta dalam hati berdoa.

Ketika beban urusan dunia tak terasa berkurang, atau bahkan bertambah hari demi hari. Ketika kita sudah berikhtiar mati-matian, namun tidak ada tanda, sinyal datangnya keberkahan, apa yang kita lakukan. Ketika kita bahkan kehabisan doa, merasa semua doa sudah kita baca. Ketika kita baca doa bak baca daftar belanja, semua keinginan tercata rapi, malah seperti menodong Allah.

Ketika lidah kita terasa terkunci saat berdoa. Ketika kita kehabisan akal dan kata saat berdoa. Tindak apa yang harus kita lakukan?

Kita bisa mengacu sejarah nabi Zakria a.s, dengan berbagai kondisinya maupun kondisi umatnya, tersurat dan tersirat di [QS Maryam (19) : 3] : yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut”.

Ingat, jika kita ahli doa, kapanpun, dalam kondisi apapun, dimanapun kita berada, akan mengasah kepekaan hati kita. Dorongan hati yang kuat menjadi landasan doa. Sambil berbaring, tanpa tangan tengadah, kita tetap bisa berdoa. Berdoa dengan suara yang lembut seperti nabi Zakaria a.s. Rintihan hati kepada Allah, bisikan hati karena selalu ingat Allah, sekaligus sarat pengaduan, bermakna sebagai doa. [HaeN]

Sabtu, 27 Februari 2016

LGBT bak air/api, individu tetap kawan, komunitas menjadi musuh semua agama

LGBT bak air/api, individu tetap kawan, komunitas menjadi musuh semua agama

Pedangndut yang terlahir sebagai pria dengan initial SJ, bisa dikenakan pasal berlapis dan berlipat. Selain sebagai pelaku Gay satu pihak, ditambah ada korban yang disengaja dan direncanakan. Kalau mungkin jika masuk kategori pelaku homo, malah bisa mendapat simpati dunia. Tindak dan perilaku LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) belum terjangkau pasal hukum Indonesia.

Pelaku LGBT sebagai individu masih bisa bebas aktif dan sesuai HAM disejajarkan dengan warga negara lainnya. Bahkan dengan modal LGBT-nya menjadi nilai jual, bisa tampil atraktif di industri hiburan dan banyolan  media TV. Peringkat media TV acap tergantung pada acara, atraksi, adegan yang melibatkan kawanan berperilaku LGBT.

Tindakan dan perilaku oknum pedangdur SJ, walau secara individu, tidak dalam bentuk komplotan sudah membikin sibuk penegak hukum. Pro dan kontra muncul. Bisa-bisa bisa menjadi senyap atau gemanya meredeup termakan waktu. Jangan dibayangkan betapa korban tiap satuan waktu muncul, jika LGBT beraksi secara formal, legal dan konstitusional.

Diyakini komunitas LGBT tidak akan diam duduk manis dan berpangku tangan. Memanfaatkan media massa, khususnya media penyiaran TV komersial sebagai alat ampuh untuk bela diri dan promo eksistensi. Semakin merasa bergengsi jika didukung oleh hasil survei lembaga survei yang biasa terima order khusus. Secara lokal mampu mendirikan partai politik, minimal membentuk asosiasi.

Orang lupa sejarah, walau bagaimanapun komunitas LGBT dengan segala atribut dan sepak terjangnya, menjadi musuh semua agama. Menjadi musuh peradaban. Negara komunis atau negara berideologi komunis, mendaulat LGBT sebagai musuh dalam selimut. [HaeN] 

LGBT Dikhawatirkan Semakin Mendapatkan Tempat


LGBT Dikhawatirkan Semakin Mendapatkan Tempat

Di Indonesia wacana LGBT semakin dibahas, malah semakin menguat. LGBT dikhawatirkan semakin mendapat hati di masyarakat. Apalagi, menyangkut kepentingan dan konspirasi internasional, posisi Indonesia kurang mempunyai posisi tawar.

Seminar luar biasa, bahkan fatwa semua agama tak akan mempan membendung tumbuh kembangnya tindakan perilaku LGBT. 

Memang perilaku LGBT yang beredar dan dipraktikkan bebas di Indonesia tidak masuk kategori penyakit masyarakat  sesuai UU, tidak pula masuk penyakit umat. Namun, agama mengajarkan tentang Nabi Luth yang berurusan dengan kaum Ad. Mereka adalah kaum yang mempraktikkan homoseksual. LGBT muncul bukan karena gizi buruk, bukan dari impitan ekonomi, dan tidak datang dari kalangan yang kurang pendidikan. 

Walau tanpa virus, dapat mewabah dalam skala dunia. Pihak yang peduli, khususnya keluarga, wajib melakukan pencegahan.[HaeN]

hak siar dan keranjang sampah tayangan LGBT di TV

hak siar dan keranjang sampah tayangan LGBT di TV

Dengan dalih tuntutan pemirsa, tak urung media penyiaran televisi (TV) menayangkan berbagai acara, atraksi dan adegan seolah tanpa sensor. Tanpa mempertimbangkan kode etik. Apalagi jika demi peringkat, pesan sponsor, skenario pemodal atau pengusaha media TV, nilai komersial, dengan asas sama rasa sama rata, segala cara dipraktikkan. Kiat media TV adalah ‘kalau tak suka jangan ditonton’.

Keluwesan media TV adalah berdiri diatas semua kepentingan, tanpa pandang bulu. Semua pihak yang bersengketa, yang masuk kategori pro dan kontra, diberi hak, porsi dan jatah siar yang sama. Tersangka koruptor malah jadi bintang tamu utama. Celotehan koruptor yang merasa terzalimi ditayang ulang. Bahkan media TV bisa mengambil alih fungsi meja hijau. Antara yang baik dan buruk menjadi tanpa batas yang tegas. Batasan moral dengan batasan komersial diadu dan diaduk jadi satu. Semua menu disajikan bebas.

Ketika bangsa sedang diuji pro-kontra LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender), media TV mengambil sikap moderat, sikap yang menggurui sekaligus memperbodoh pemirsa/penonton dan pendengar. Media TV yang serba multi : multi fungsi, multi manfaat, multi guna, sampai multi efek, bisa berubah bentuk menjadi keranjang sampah yang serba guna. [HaeN] 

Jumat, 26 Februari 2016

dibalik fakta sejarah berkibarnya SBY dan Jokowi

dibalik fakta sejarah berkibarnya SBY dan Jokowi


Saya cuma bisa nyegir, jika baca di media daring, ternyata masih ada pihak yang probanget ke Jokowi dengan jujur mengatakan (tepatnya menulis) Jokowi lebih baik dibanding SBY. Wajar dan manusiawi, selain karena keterbatasan akal politik juga karena memakai kaca mata kuda.

Pengamat politik sekaliber berapapun, belum tentu berhasil membuat kesimpulan yang bersejarah atau bisa dijadikan rujukan, acuan bersama. Tendensi politis menyebabkan “pengamat sejarah” malah membolak-balikkan fakta sejarah.

Contoh nyata, belum ada catatan resmi tentang pengandaian jika sang Reformis tulen bisa jadi presiden RI.  Hanya slentingan sekilas, namun agak merata, sebagai wacana politik warung kopi. Pasca 21 Mei 1998, banyak pihak merasa berjasa menyelamatka RI dari keberlanjutan rezim penguasa tunggal Orde Baru. Sekaligus merasa bisa berada di barisan depan memimpin negara. Merasa bisa jadi kepala negara.

Saya mengajak pembaca - baik yang ingin tahu saja atau ingin tahu banget - mengapa, ada apa koq bisa SBY yang malah berkibar. Bukan Reformis yang “banyak jasanya”. Tentunya SBY bukan sekedar naik peringkat dari pembantu presiden menjadi presiden. Entah greget apa yang mendorong SBY dengan naluri militernya merasa harus menyelamatkan RI. Apakah SBY gregeten melihat tingkah laku, olah polah politisi sipil yang "tuwo nanging ora temuwo".

Serupa tapi tak sewajah dengan SBY adalah penerus atau penggantinya yang dikenal dengan celukan Jokowi. Apa saja greget Jokowi yang berani menapak dari jabatan kepala daerah paling bawah yaitu walikota, merambah naik jadi gubernur dan loncat sebagai kepala negara. Apakah penciuman Jokowi mirip SBY, yaitu berhasil mengendus peluang karena ada barisan politisi tuwo yang masuk kategori “wis tuwo ora ngerti tuwoné”.
Jangan lupa pembaca, dalam praktiknya sebagai presiden, Jokowi tetap mengagungkan falsafah Jawa yaitu “bekti marang wong tuwo”. Maksud wong tuwo adalah wong tuwo politik alias bandar politik yang menyodorkan dia menjadi capres. Inilah yang menjadi titik lemah Jokowi. Karena Jokowi juga menjalankan pepatah “wani karo sedulur tuwo, elek-elek iso nguwalati”.

Akhirnya Jokowi masuk babakan “temuwo ora kudu dadi tuwo”. Walau susah bertindak, berperilaku “temuwo tur tonjo”. Bukan waspada terhadap pihak yang akan menjegalnya, namun terkuras energi dan emosinya akibat terpaksa “ngemong wong tuwo”. [HaeN]

Rabu, 24 Februari 2016

jurusan ilmu politik vs jurus politik ilmu putih/hitam

jurusan ilmu politik vs jurus politik ilmu putih/hitam

Tidak ada sekolah presiden. Sekolah jenderal, sekolah camat, ada di Indonesia. Fungsi lapas/rutan bisa menjadi lembaga peningkatan kapasitas warga binaan. Bisa disulap jadi hotel berbintang. Bisa jadi pabrik, transaksi, markas komando, dan kegiatan aman terkendali lainnya.

Sekolah olah raga, bahkan setingkat fakultas, bukan sekedar mencetak olah ragawan atau allit. Ada sekolah untuk mencetak calon pebulu tangkis, ahli sepak bola. Ada sekolah menjadi artis beken.

Pemain dan pelaku politik Nusantara, untuk bisa tampil di panggung dirintis mulai dari bawah. Menjadi aktitivis partai politik, pengurus papan bawah, ditekuni sampai berkibar. Nasib mujur, karena faktor keturunan, atau bisa sebagai penyandang dana, donatur, investor.

Kita simak yang dimaksud dengan Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (UU 2/2011). Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu, dilakukan dalam bentuk antara lain pendidikan politik bagi Pemilih, wajib mengikuti ketentuan yang diatur oleh KPU  (Pasal 246 dan 247 UU 8/2012). Pendidikan politik bagi Pemilih, tidak dirinci apa maksud, makna, manfaat, dan tata caranya. Kondisi ini senasib dengan faktor pertimbangan penetapan UU yaitu untuk menghasilkan wakil rakyat yang aspiratif, berkualitas, dan bertanggung jawab berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota (Pasal 51 UU 8/2012) tidak mengindikasikan syarat menuju kualifikasi aspiratif, berkualitas, dan bertanggung jawab.

Setiap lima tahun sekali, melalui pileg dan pilpres, Pemilih tinggal mencoblos foto yang diketahuinya bisa diharapkan, minimal mampu merealisasikan, membuktikan janji kampanyenya.

Pendidikan politik seumur hidup atau selama kontrak politik, ditujukan pada yang melek politik, agar tidak menyimpang secara sadar, terstruktur, masif, berkelanjutan. Masyarakat, penduduk, warga negara buta politik biasanya adem ayem, sepi ing pamrih, rame ing gawe, tuwo ning dalan, mati ning pangkon. 

Lepas dari kondisi aktual dan faktual yang menimpa para wakil rakyat selama era Reformasi, selain kontrak politik, dibutuhkan juga pendidikan politik. Justru karena tidak buta politik, atau melek politik hidup-hidup, para wakil rakyat bisa bergerak bebas di antara pasal-pasal hukum, bermanuver layaknya pembalap liar, memanfaatkan kelengahan sistem di eksekutif.

Jujur saja, para kawanan parpolis di di éra mégatéga yang sesak, padat, masif dengan berbagai elemen mégakasus, baik yang menggunakan ilmu KP3 atau mengandalkan ilmu “lawan politik”, berharap bisa berlenggak-lenggok sampai batas waktu dan berhenti di akhir tujuan. Tidak disemprit KPK atau terjerat, terjebak kasus atau bernasib apes. [HaeN]

KPK dan “go to hell with your aid”-nya Bung Karno

KPK dan “go to hell with your aid”-nya Bung Karno

Sewaktu saya masih duduk di bangku Sekolah Rakyat, masih ingat cuplikan pidato yang disiarkan oleh RRI Yogyakarta. Antara lain yang tercatat dalam sejarah sebagai pidato yang terkenal pada 25 Maret 1964, Soekarno mengatakan kepada Amerika Serikat (AS)  untuk go to hell with your aid”. Diterjemahkan oleh anak ideologisnya kira-kira menjadi "ndang lungoo ‘nyang neraka Lik Sam bareng utangan sampéyan".

Hutang penjajah Belanda, begitu proklamasi, menjadi tanggung jawab pemerintah RI. Sejak doeloe, AS memang kampiun dalam menjerat negara baru dengan memberikan bantuan, padahal hutang. Hutang plus aturan main dari AS yang harus dipatuhi negera penerima bantuan hutang. Akhirnya sampai presiden RI ke-7, Indonesia masih berstatus negara penghutang. Entah peringkat keberapa dalam skala ASEAN.

Namanya hutang, saat digunakan, banyak pihak melupakan kewajiban membayar. Namanya uang, berlaku peribahasa “ada gula ada semut”.

Begitu juga dengan modus penganggaran Nusantara. Menjadi hak utama DPR RI, dengan judul fungsi anggaran. Kenyataan sejarah bahwa tata niaga pengangaran, dampaknya negatifnya lebih nyata, dahsyat dibandiing “pengadaan, pengedaran, penjualan, pengawasan, dan pengendalian minuman beralkohol”.

Tak perlu perpanjang olah kata, selama masih ada KPK, sebagai indikasi bahwa negara ini tidak sehat. Itu saja. [HaeN] 

Selasa, 23 Februari 2016

di sana bukan tempat beta menjadi kaya

di sana bukan tempat beta menjadi kaya 


Soal obyek wisata, Indonesia mengandalkan obyek wisata alam, kehidupan masyarakat, acara adat istiadat dan budaya, bangunan bersejarah, keunikan berbagai cita rasa penggoyang lidah, karya seni dan seabrek daya tarik maupun nilai jualnya. Pariwisata dikemas dalam tampilan industri, mau tak mau, mengedepankan komponen utama wisata dunia yaitu : sun, sand, and sex. Dampak negatifnya, walau belum pernah disurvei resmi, dapat diasumsikan lebih banyak, besar, dahsyat daripada dampak positifnya.

Memang dampak industri pariwisata mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat maupun menambah pendapatan asli daerah. Hasil inovasi kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, melalui berbagai bentuk fisik bangunan, khususnya pasca Proklamasi masih kalah bersaing dengan manca negara. Sehingga tak ada yang layak dijadikan obyek wisata mancanegara, kecuali wisatawan nusantara.

Menyoal kekayaan dan keindahan alam, oleh pihak asing ada yang mendaulat sebagai sepotong surga, selembar nirwana di dunia. Inilah yang menjadikan Indonesia sebagai obyek jarahan negara maju, negara adikuasa.

Di balik semua kejadian di atas, bayangkan masih terjadi dan akan terjadi sesuai cupilkan lagu “di sana tempat lahir beta” telah mengalami proses adaptasi dengan lingkungan, menjadi :

Ketika petani Nusantara memandang luas dan suburnya tanaman padi, menghijau, menguning, dalam hati berdendang “di sana bukan tempat beta menjadi kaya”. Petani gurem maupun buruh tani hanya sebatas berakrab dengan tanaman. Bertanggung jawab pada semua proses, agar padi tetap tumbuh, tegak sampai panen. Soal tata niaga atau manfaat ekonomis sudah ada pihak tertentu yang menanganinya, sudah ada pihak yang lebih “bertanggung jawab”.

 Ketika nelayan Nusantara menatap bangga luas dan terbukanya lautan, betapa berbagai makhluk, fauna air mendirikan sistem kehidupan bersama dalam air. Kegundahan  hati saat sulit melaut, diselingi lantunan “di sana bukan tempat beta menjadi kaya”. Nelayan tradisional berjibaku melawan ombak menjaring ikan. Kalah bersaing dengan nelayan asing yang datang menyedot ikan laut. Teknologi pemanfaatan tenaga surya untuk membuat ikan asin. Soal alih kekayaan isi laut menjadi kekayaan isi dompet, bukan hak mereka. Nelayan dengan pekerjaan basah kuyupnya, tidak menajdikan dirinya “basah”.

Ketika pekerja/buruh Nusantara berbaris rapi memasuki atau keluar bangunan industri, menjaga roda industri tetap berputar 24 jam, dengan semangat agar asap dapur tetap mengepul, diimbangi senandung “di sana bukan tempat beta menjadi kaya”. Pemerintah semakin memanjakan investor asing karena dipandang cakap dan layak, termasuk mendapat upah yang sebesar-besarnya. Sehingga daya juang pekerja/buruh hanya sebatas modal fisik, modal tenaga, modal otot saja, dengan upah minimalis, seekonomis mungkin.

Ketika kawanan wakil rakyat Nusantara duduk manis dalam sidang, terkantuk-kantuk karena siang malam memikirkan nasib rakyat. Santai saat bahas fungsi legislasi, kecuali ada pasal komersial dan menerima pesanan khusus. Tampak garang, bergairah, menggelora saat debat anggaran, kalah adu mulut, siap adu lutut. Fungsi pengawasan dilakukan sampai ke dapil di luar negeri, dalam bentuk kunker, plesiran keluarga. Ketika mereka memandang rakyat berbagai strata, kasta, klas yang diwakilinya, bibir mencibir sambil berguman “di sana bukan tempat beta menjadi kaya”. Wajar, karena wakil rakyat mempunyai berbagi sumber penghasilan, pendapatan yang resmi dan sah menurut peraturan perundang-undangan. Duduk diam manis saja argo Rp tetap jalan, bertambah. Apalagi yang pandai-pandai memanfaatkan waktu luang selama satu periode.

Ketika saya menulis olah kata ini . . . . .[HaeN].

Senin, 22 Februari 2016

jadikan KPK musuh bersama (penyelenggara negara)

jadikan KPK musuh bersama (penyelenggara negara)

Apa kata dunia! cuplikan jargon pariwara yang menjadi andalan Indonesia sebagai patokan untuk menjaga imej, mempertahankan citra,  membangun  gengsi di mata dunia. Investor asing hengkang dari Nusantara gara-gara pekerja/buruh punya agenda tetap, terbuka yaitu melakukan unjuk rasa dan unjuk raga. Bangga karena harga BBM masih murah dibanding negara lain. Akhirnya, semua tadi menjadi faktor penentu penetapan kebijakan pemerintah. Membuka diri terhadap arus masuk TKA. Budaya asing, termasuk perilaku LGBT, nyelonong masuk tanpa permisi.

Soal peringkat sebagai negara berkorupsi, tidak jadi soal. Hanya masalah survei, bisa dilawan dengan survei tandingan. Pelaku tipikor menjadi tamu istimewa di rumah tahanan, atau apa pun sebutannya, menjadi tamu VVIP. Koruptor di negara lain bisa potong kepala, minimal potong tangan. Koruptor di Indonesia potong masa tahananya. Jangan disangkal kalau koruptor tidak ada atau bahkan tidak banyak jasanya bagi kehidupan partai politik pengusungnya.

Episode  Buaya vs Cicak semangkin membuktikan bahwa KPK sebagai musuh hukum. Sebagai awal dilakukannya babad orang secara institusional, konstitusional, legal dengan dasar semangat kolektif kolegial. Semangkin mendudukkan daripada pelaku korup sebagai pahlawan ideologi. Toh negara tak akan bangkrut atau pembangunan menjadi mangkrak. Idem di daerah provinsi maupun sampai tingkat kelurahan/desa.

Kalau bukan institusi melalui pimpinan KPK yang diobok-obok, Plan B adalah dengan memberi wewenang lebih akan tugas dan fungsi KPK. Walhasil terjadi revisi UU 30/2002 tentang “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” yang dikenal dengan sebutan KPK.

Fakta bahwa operasi tangkap tangan oleh KPK, selain menurunkan martabat Indonesia di mata dunia, juga bukan sikap etis, seperti menangkap basah pasangan bukan suami isteri sedang berlaku mesum di losmen klas melati oleh Satpol PP. Atau oknum penyelenggara di tunggu apesnya atau ditunggu jatuh temponya baru digerebek oleh KPK.

Tidak ada alasan yuridis formal UU KPK perlu ditinjau ulang atau disempurnakan sesuai perkembangan, tuntutan dan kebutuhan hukum, khususnya dampak dari perubahan UUD 1945.

Indonesia sebagai bangsa timur yang sarat dengan budaya adiluhung, memang harus mikul sing duwur, mendem sing jeroatau menghargai penyelenggara negara yang sedang sibuk menyelesaikan masa bhaktinya. Jangan diotak-atik, dikorek-korek boroknya. Beri kesempatan sampai ada pengganti atau penerusnya.

Apa kata Ketua DPR RI!

Begini ceritanya :

Senin, 22 Februari 2016, 11:57 WIB

Ketua DPR: Hak Ketua KPK Jika Ingin Mundur

Red: Esthi Maharani
Republika/Agung Supriyanto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPR Ade Komaruddin mengatakan institusinya menghormati sikap pimpinan KPK terkait rencana revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Ia hanya menegaskan revisi itu tidak akan melenceng dari empat poin yang disepakati.

"Itu hak beliau (Ketua KPK Agus Rahardjo mengancam mundur), tentu kami hormati sikap beliau tersebut," katanya, Senin (22/2). 

Dia mengatakan sikap Ketua KPK merupakan hak pribadi yang bersangkutan, namun ia mengingatkan revisi UU KPK tidak akan melenceng dari empat poin yaitu dibentuknya dewan pengawas KPK, mengeluarkan SP3, mengangkat penyelidik, penyidik dan penuntut umum, serta pengaturan penyadapan oleh KPK.

Menurut dia, empat poin itu sebenarnya sudah disetujui oleh DPR, pemerintah dan institusi KPK untuk dimasukkan dalam revisi UU KPK.

"Saya yakini revisi tidak akan melenceng dari yang diniatkan semua yaitu tidak lebih lebih atau kurang yaitu 4 hal, baik dari pemerintah maupun DPR, maupun institusi KPK," ujarnya.

Dia mengatakan, dua kali Rapat Pimpinan Fraksi pengganti Badan Musyawarah DPR sepakat merevisi UU KPK untuk penguatan institusi KPK, bukan melemahkan.

Dia menilai draf revisi UU KPK yang ada saat ini bukan kesepakatan pemerintah dengan DPR namun pemerintah dengan KPK dan itu bisa saja ada perubahan redaksional, termasuk substansi.

"Kalau tidak sesuai dengan empat poin itu tidak dilanjutkan maka tidak masalah. Besok (Selasa, 23/2) itu kan diketuk inisiatif dan itu ruu, bukan uu sendiri, pembahasan UU itu dilakukan Presiden dengan DPR," katanya.
Sumber : antara

ARTINYA
Komentar atau ucapan oknum Ketua DPR, pasti keluar dari proses dan kendali hati. Rekam jejak sebagai kader tulen partai golkar, jangan dipolitisasi atau dijadikan bahan dialog, diskusi, debat di acara, adegan, atraksi layar kaca berbayar.

Di balik bahasa tutur, bahasa lisan oknum Ketua DPR sudah menyuratkan dan menyiratkan Indonesia tidak perlu jaga imej di mata dunia. Bahkan Indonesia mampu membuat mahzab baru dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Indonesia sudah tidak bisa didikte lagi oleh kekuatan dan kepentingan asing.

Indonesia sebagai bangsa besar harus mampu menghargai jasa para pahlawannya. [HaeN]