dibalik fakta sejarah berkibarnya SBY dan
Jokowi
Saya cuma bisa nyegir, jika baca
di media daring, ternyata masih ada pihak yang probanget ke Jokowi dengan jujur
mengatakan (tepatnya menulis) Jokowi lebih baik dibanding SBY. Wajar dan
manusiawi, selain karena keterbatasan akal politik juga karena memakai kaca
mata kuda.
Pengamat politik sekaliber berapapun,
belum tentu berhasil membuat kesimpulan yang bersejarah atau bisa dijadikan
rujukan, acuan bersama. Tendensi politis menyebabkan “pengamat sejarah” malah
membolak-balikkan fakta sejarah.
Contoh nyata, belum ada catatan resmi
tentang pengandaian jika sang Reformis tulen bisa jadi presiden RI. Hanya slentingan sekilas, namun agak merata,
sebagai wacana politik warung kopi. Pasca 21 Mei 1998, banyak pihak merasa
berjasa menyelamatka RI dari keberlanjutan rezim penguasa tunggal Orde Baru.
Sekaligus merasa bisa berada di barisan depan memimpin negara. Merasa bisa jadi
kepala negara.
Saya mengajak pembaca - baik yang ingin
tahu saja atau ingin tahu banget - mengapa, ada apa koq bisa SBY yang malah
berkibar. Bukan Reformis yang “banyak jasanya”. Tentunya SBY bukan sekedar naik
peringkat dari pembantu presiden menjadi presiden. Entah greget apa yang
mendorong SBY dengan naluri militernya merasa harus menyelamatkan RI. Apakah SBY
gregeten melihat tingkah laku, olah polah politisi sipil yang "tuwo nanging ora temuwo".
Serupa tapi tak sewajah dengan SBY
adalah penerus atau penggantinya yang dikenal dengan celukan Jokowi. Apa
saja greget Jokowi yang berani menapak dari jabatan kepala daerah paling
bawah yaitu walikota, merambah naik jadi gubernur dan loncat sebagai kepala
negara. Apakah penciuman Jokowi mirip SBY, yaitu berhasil mengendus peluang
karena ada barisan politisi tuwo yang masuk kategori “wis tuwo ora ngerti tuwoné”.
Jangan lupa pembaca, dalam praktiknya
sebagai presiden, Jokowi tetap mengagungkan falsafah Jawa yaitu “bekti
marang wong tuwo”.
Maksud wong tuwo adalah wong tuwo politik alias bandar politik yang menyodorkan
dia menjadi capres. Inilah yang menjadi titik lemah Jokowi. Karena Jokowi juga
menjalankan pepatah “wani karo sedulur tuwo, elek-elek iso
nguwalati”.
Akhirnya Jokowi masuk
babakan “temuwo ora kudu dadi tuwo”. Walau
susah bertindak, berperilaku “temuwo tur tonjo”. Bukan waspada terhadap pihak yang akan menjegalnya, namun terkuras energi
dan emosinya akibat terpaksa “ngemong wong tuwo”. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar