Halaman

Jumat, 26 Februari 2016

dibalik fakta sejarah berkibarnya SBY dan Jokowi

dibalik fakta sejarah berkibarnya SBY dan Jokowi


Saya cuma bisa nyegir, jika baca di media daring, ternyata masih ada pihak yang probanget ke Jokowi dengan jujur mengatakan (tepatnya menulis) Jokowi lebih baik dibanding SBY. Wajar dan manusiawi, selain karena keterbatasan akal politik juga karena memakai kaca mata kuda.

Pengamat politik sekaliber berapapun, belum tentu berhasil membuat kesimpulan yang bersejarah atau bisa dijadikan rujukan, acuan bersama. Tendensi politis menyebabkan “pengamat sejarah” malah membolak-balikkan fakta sejarah.

Contoh nyata, belum ada catatan resmi tentang pengandaian jika sang Reformis tulen bisa jadi presiden RI.  Hanya slentingan sekilas, namun agak merata, sebagai wacana politik warung kopi. Pasca 21 Mei 1998, banyak pihak merasa berjasa menyelamatka RI dari keberlanjutan rezim penguasa tunggal Orde Baru. Sekaligus merasa bisa berada di barisan depan memimpin negara. Merasa bisa jadi kepala negara.

Saya mengajak pembaca - baik yang ingin tahu saja atau ingin tahu banget - mengapa, ada apa koq bisa SBY yang malah berkibar. Bukan Reformis yang “banyak jasanya”. Tentunya SBY bukan sekedar naik peringkat dari pembantu presiden menjadi presiden. Entah greget apa yang mendorong SBY dengan naluri militernya merasa harus menyelamatkan RI. Apakah SBY gregeten melihat tingkah laku, olah polah politisi sipil yang "tuwo nanging ora temuwo".

Serupa tapi tak sewajah dengan SBY adalah penerus atau penggantinya yang dikenal dengan celukan Jokowi. Apa saja greget Jokowi yang berani menapak dari jabatan kepala daerah paling bawah yaitu walikota, merambah naik jadi gubernur dan loncat sebagai kepala negara. Apakah penciuman Jokowi mirip SBY, yaitu berhasil mengendus peluang karena ada barisan politisi tuwo yang masuk kategori “wis tuwo ora ngerti tuwoné”.
Jangan lupa pembaca, dalam praktiknya sebagai presiden, Jokowi tetap mengagungkan falsafah Jawa yaitu “bekti marang wong tuwo”. Maksud wong tuwo adalah wong tuwo politik alias bandar politik yang menyodorkan dia menjadi capres. Inilah yang menjadi titik lemah Jokowi. Karena Jokowi juga menjalankan pepatah “wani karo sedulur tuwo, elek-elek iso nguwalati”.

Akhirnya Jokowi masuk babakan “temuwo ora kudu dadi tuwo”. Walau susah bertindak, berperilaku “temuwo tur tonjo”. Bukan waspada terhadap pihak yang akan menjegalnya, namun terkuras energi dan emosinya akibat terpaksa “ngemong wong tuwo”. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar