antisipasi modus operandi dan pola gulir demokrasi Nusantara
Di atas kertas, rumusan demokrasi di Indonesia seolah memberikan janji dan
jaminan nyata. Hidung semakin mekar, jika dibilang demokrasi Indonesia menjadi
acuan, sorotan negara lain. Kemajemukan SARA, namun Indonesia tetap berjalan
dengan suasana dan nuansa adem ayem, tata tentrem kerto raharjo.
Kehidupan kerukunan beragama menjadi kiblat negara besar, modern, bangsa yang
mengagungkan urusan duniawi dan mengandalkan kecerdasan otak.
Di Jakarta saja, sebagai ibu kota negara, praktik demokrasi mengalami
degradasi, bahkan bisa sampai ambang bawah. Bersyukur, kalau Jakarta bukan
sebagai barometer gejolak bangsa. Walau puncaknya, klimaksnya memang harus
terjadi di ibu kota negara. Contoh nyata, peristiwa 21 Mei 1998. Kekuatan
rakyat berhasil melengserkeprabonkan presiden RI kedua, Suharto, sebagai
penguasa tunggal Orde Baru sejak Super Semar 1966.
Berbagai kejadian perkara, kasus, tindakan penguasa/pengusaha lokal, maupun
gelombang unjuk rasa dan unjuk raga dari satu profesi, atau berbagai elemen,
komponen, unsur masyarakat turun di jalan, sebagai bukti demokrasi tidak sehat.
Demokrasi seperti sedang mati sebelah badan. Demokrasi sedang mengalami
penurunan daya dan energi secara bertahap atau paruh waktu.
Kita harus
punya acuan resmi, formal dan dapat dibaca rakyat tentang apa itu ‘demokrasi”.
Kita simak Kamus Bahasa Indonesia, Pusat
Bahasa, Depdiknas 2008, menjelaskan lema ‘demokrasi’ sebagai berikut :
demokrasi /démokrasi/ n Pol 1 (bentuk atau
sistem) pemerintahan yg segenap rakyat turut serta memerintah dng perantaraan wakil-wakilnya;
pemerintahan rakyat; 2 gagasan atau pandangan hidup yg mengutamakan
persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yg sama bagi semua warga negara.
Sejak tahun 2004 ketika presiden dipilih langsung oleh rakyat serta foto wakil
rakyat ditusuk langsung oleh pemilih pada saat pilpres dan pileg, demokrasi
Indonesia sudah tidak remang-remang. Walau tidak bulat utuh, masih ada cacat
bawaan di sana-sini, serta belum cespleng. Masih dihiasi aneka warna suara
sumbang yang dilagukan oleh putera asli daerah. Demokrasi sebagai wadah,
wahana, wacana resmi praktik partai politik. Demokrasi berada di awang-awang,
mengambang jauh dari daratan rakyat.
Tidak bisa disalahkan jika rakyat fokus melihat sosok ketokohan daripada
konsep hidup bangsa dan negara yang digemakan, digaungkannya. Terlebih rakyat
sudah sadar dan melek politik dari sono-nya. Artinya, rakyat yang buta
politik malah bisa berpolitik secara santun, bermartabat dan khas rakyat yang
berbasis kearifan lokal, kebijakan lingkungan, kerukunan dan kebersamaan, adat
istiadat adiluhung.
Benang merah demokrasi sejak tahun 2004, dengan jelas menunjukkan praktik
politik kekuasaan. Pemain dan pelaku lama, yang haus kekuasaan, tanpa sungkan, tanpa
malu, tanpa tedeng aling-aling, maju lagi, maju lagi, maju lagi. Tokoh
dan sosok muda, pendatang, ternyata tidak tahan godaan dan rajuan dunia, mereka
terjegal dan terjagal pasal tipikor atau tindak pidana lainnya. Ada yang baru
muncul menikmati kursi empuk wakil rakyat, kepala daerah atau bagian dari
penyelenggara negara, tahu-tahu terkena operasi tangkap tangan atau kegebuk
gada KPK setelah pasca periodenya.
Bergulirnya demokrasi di Indonesia tidak ditandai dengan adanya regenerasi,
peremajaan, revitalisasi, bahkan yang ada adalah degradasi, penurunan kualitas,
sublimasi hakikat. Umur teknis parpol peserta demokrasi hanya sebatas bisa ikut
saja. Kalau ada yang mampu membawa pemilik atau sopirnya menjadi kepala negara,
memang hasil rekam jejak ybs. Bukan polesan dan gincu politiknya. Paling nyata
parpol peninggalan zaman Orde Baru, yang ganti baju menjadi PDI-P, PPP, dan PG.
Walhasil demokrasi Nusantara dijejali, disesaki, dipadati, dipenuhi oleh pemain
dan pelaku politik kekuasaan yang sedang aji mumpung vs mumpung aji serta
mereka yang berada di barisan sakit hati.
Jadi
. . . . . [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar