rusak badan karena
penyakit politik,
rusak bangsa karena
laku politik
Peribahasa di atas, sebagai judul, telah mengalami politisasi, walau hanya
menambah kata ‘politik’. Disesuaikan dengan kondisi terkini. Makna awalnya
adalah ‘kelakuan yang buruk akan menurunkan derajat diri sendiri’. Jadi,
sangatlah cocok, tepat, layak jika mendapat imbuhan kata ‘politik’. Terlebih, apalagi,
lagipula contoh hidup, contoh nyata masih bisa kita saksikan di panggung,
industri, syahwat politik Nusantara. Ada pula yang mengartikan ‘orang
miskin yang selalu dihina’.
Modus operandi, perilaku pelaku politik
Nusantara sesuai pakem politik kekuasaan, politik bagi hasil, balas jasa sekaligus
politik balas dendam, bak melaju di jalur bebas hambatan. Bebas yang serba
bebas, bebas sebebas-bebasnya. Kandungan idiologi sarat dengan fungsi Rp,
sebagai ekses Reformasi mencetak petualang politik, pecundang politik yang
banyak jabatan.
Koalisi partai pendukung pemerintah (KP3)
yang khusus muncul di periode 2014-2019 sekedar membuktikan bahwa penggerus
negara datangnya dari kawanan
bermain politik, bukan dari pihak lawan politik. Praktik menelikung dari dalam,
menggunting dalam lipatan, menohok kawan seiring jangan dianggap lebih terukur
daripada 1948 dan 1965 gerakan PKI.
Permasalahan
politik yang utama dan mendasar ternyata sekedar menyangkut kekuasaan. Praktik
bagi hasil seperti tak berkesudahan selama satu periode. Pihak yang menggoalkan
Jokowi-JK, merasa paling berhak untuk mendapat jatah di jajaran penyelenggara
negara.
Manusia
merupakan makhluk yang suka bermain, termasuk gemar main politik. Tidak mengenal
beda generasi, beda ras, beda jender. Aturan mainnya, yang diakui bersama,
adalah tak ada aturan main. Menyorot perilaku, tabiat, karakter kawanan
parpolis jangan dengan kaca mata moral. Antara niat, pikir tak ada hubungannya
dengan ucap dan tindakan. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar