Halaman

Minggu, 31 Agustus 2014

Membaca Peta Politik Era Jokowi

 Politika     Dibaca :40 kali , 0 komentar

Membaca Peta Politik Era Jokowi

 Ditulis : Herwin Nur 29 Agustus 2014 | 04:03


Tukang survei sampai yang berkadar ahli survei, tidak ada yang berani mengatakan bahwa Reformasi dimulai dari puncaknya. Klimaks kekuatan rakyat turun ke jalan dan menduduki simbol negara MPR/DPR, 21 Mei 1998, presiden RI ke-2, bapak Suharto lengserkeprabon. Terjadi peralihan rezim secara sistematis, masif dan berkelanjutan. Benang merahnya yaitu politik sebagai panglima. Demi politik, tujuan menghalalkan segala cara. 

Tukang/ahli survei yang terbiasa menerima pesanan, lagi-lagi, tidak ada yang berniat mengungkap bahwa pada saat Pemilu 1999, rakyat merasa kasihan dan hiba kepada anak biologis dan yuridis preseiden pertama RI. Rakyat mengedepankan watak welas asih kepada pihak yang terdepak secara politis di era Orde Baru, walhasil 33,73% pemilih memilih PDIP. 

Syahwat politik sudah merasuki industri politik 1999-2004. Ketua umum parpol pemenang Pemilu 1999, tidak otomatis jadi presiden, walau ambisinya sudah melampaui kapasitasnya. Pawang politik di MPR secara aklamasi, tepatnya akal-akalan demokrasi, mengangkat sekaligus menjatuhkan Gus Dur jadi presiden RI ke-4. Nasib baik memihak wapres maju jadi presiden RI ke-5. Semangat banteng ketaton (banteng terluka) yang hobi main serudak-seruduk, bermuka manis merasa pintar, tidak bisa menyembunyikan fakta dan realitas yang ada. 

Sadar Politik
Pengamat politik berbagai aliran, tampil dengan gagah mengisi acara, adegan dan atraksi media penyiaran televisi. Mereka tampak ahli dan lihai mempermainkan kata, membolak-balik fakta, merekayasa data bagimana situasi dan cuaca politik terkini. Mereka lupa, rakyat awam, masyarakat buta politik, sudah tahu mana emas mana loyang. Diskusi, dialog dan debat berbasis politik, tak lebih dari pamer bego, unjuk ‘tulul’ (pakai istilah om Mario Teguh) bersaing dengan komidian kambuhan. Mereka hanya bermodal ucap dan cuap. 

Rakyat yang buta politik, tidak tertipu dengan garangnya kucing dalam karung. Presiden dipilih langsung oleh masyarakat melalui Pilpres pertama 2004, semakin membuktikan bahwa rakyat hanya melihat siapa bisa berbuat apa. Bukan politik balas jasa, karena sudah terbukti dampaknya. 

Modal pengalaman jadi wakil presiden dan sekaligus presiden dalam satu periode bukan jaminan rakyat akan memilihnya di Pilpres 2004. Bahkan semangat merasa bisa jadi pemimpin, mengulang kejadian Pilpres 2004 di Pilpres 2009. Sanjungan ayahnya yang mengatakan dia anak pintar, menjadikan logika politiknya tidak pintar, menghasilkan kalkulasi pilitiknya tidak pintar. 

Dikotomi Politik
Sekali lagi, kawanan tukang/ahli survei, alumni dan lulusan PT internasional, tetap tabah tak mau menyelidiki maupun meyidik dampak presiden dari militer, SBY menjabat presiden RI ke-6 dua periode 2004-2009 dan 2009-2014 atau satu dekade. Entah ilmunya tidak mempan, mungkin nyalinya terkuras habis, atau bayarannya tak seimbang dengan resikonya, kawanan tukang/ahli survei lebih memilih pura-pura tidak peduli. 

Terjadi revolusi trias politika, kubu legislatif yang 100% pekerja partai, tanpa malu dan sungkan menjadi dominan. Melebih eksekutif yang kendalikan pekerja partai dan dilengkapi kalangan proefsional. Mengambil alih wewenang yudikatif. Kinerja dan kiprah legislatif melebihi fungsinya sebagai legislasi. 

SBY ditelikung dari dalam, kader Partai Demokrat, yang jauh dari budaya malu, melakukan tipikor. Kaum Hawa tidak mau ketinggalan langkah cepat kaya. Setan pun bingung karena merasa tidak membisiki mereka. 
Ritual Politik

Ekonomi dan politik merupakan pasangan tidak resmi yang bisa menentukan nasib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pelaku ekonomi, walau lulusan universitas negara Paman Sam, semakin meyakinkan untuk terjebak dogma, doktrin dan dikte kemauan investor. Indonesia tidak mempunyai posisi tawar untuk menyeleksi masuknya barang bekas/buangan atau barang abal-abal, dengan dalih area perdagangan bebas. 

Investor politik melirik Indonesia untuk kepentingan jangka panjang. Ada skenario standar/pesimis, moderat sampai ideal/optimis yang akan dipraktekkan. Kawanan parpolis, dengan platform nasional, agama atau gado-gado tidak mempunyai posisi tawar menyikapi Pemilu Rabu 9 April 2014, terlebih Pilpres Rabu 9 Juli 2014. 

Entah yang ke berapa kali, kawanan tukang/ahli survei, tidak merinci kelompok masyarakat seperti apa yang menjadi pemilih, tidak mau jadi golput. Mengacu serial TV di zaman Orde Baru, khususnya super hero, yang tokohnya wanita. Kaum Hawa, yang bukan minoritas di tanah air, merasa terwakili oleh kedigdayaan sang jago (padahal wanita). 

Stigma uneducated people yang diterapkan kepada pemilih Prof.Dr. Haji Rhoma Irama saat Pemilu 9 April 2014, apakah juga berlaku pada pemilih Pilpres 9 Juli 2014. Banyak lapisan masyarakat, wong cilik, merasa terwakili oleh jagoannya yang gemar blusukan

Secara sadar dan nyata, arah politik Nusantara, bahasa gaulnya politik luar negeri maupun politik dalam negeri, telah keblusuk ke skenario investor politik. Trik dan intrik politik jelang sumpah jabatan RI-1 dan RI-2 sudah membuktikan bahwa banyak pihak di dua kubu yang merasa punya sayap. Belum-belum politik transaksional sudah tertebak aromanya. Semua merasa punya andil. 

Jika penguasa tunggal Orde Baru lihai memanfaatkan orang pintar masuk jajaran pembantu presiden. SBY dimanfaatkan oleh orang yang pandai-pandai tampil diri bagaikan emas (padahal loyang). Maka di periode 2014-2019 banyak orang yang pandai-pandai membawa diri dengan tidak memerankan dirinya sendiri. Mengacu ramalan leluhur bahwa suatu saat akan terjadi naunsa kere munggah bale

Kita tetap optimis, karena hidup adalah proses, tidak sekedar mengalir, kita mengacu sebagian terjemahan [QS Ar Ra’d  (13) : 11] : Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. 

Bukan berarti di panggung politik tidak mengenal kalah atau menang. Kita yakin lima tahun ke depan bukan milik kita, adalah hak generasi mendatang.  [HaeN/Wasathon.com].

Sabtu, 30 Agustus 2014

Demokrasi Perwakilan, di atas kerta vs fakta di lapangan

Kilas Balik
Kajian demokrasi yang paling sesuai dengan Indonesia akan dirumuskan dari konferensi kampus di Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat, 8-9 Januari 2010. (antara, 8/1/2010)
Komentar :
1.         Demokrasi adalah alat penjajahan Barat, tidak akan pernah mensejahterakan rakyat Indonesia;
2.         Belum dirumuskan saja sudah melahirkan perdebatan di kalangan pengusung demokrasi sendiri, karena Negara Demokrasi adalah ilusi;
3.         Bagi Indonesia dengan penduduk mayoritas Muslim, yang paling cocok adalah Sistem Syariah dan Khilafahlah.
( sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/ .. )

Mengacu alenia di atas, sekilas pula kita telusuri makna komentarnya :

Ad 1. Demokrasi Perwakilan
Di era Reformasi pengusung demokrasi sudah bisa melihat tujuan dan manfaat demokrasi, minimal dampak kran demokrasi dibuka lebar. Berbagai produk hukum ditetapkan untuk memperkuat semangat sekaligus syahwat politik. Makna demokrasi tergantung siapa yang menterjemahkannya, tentunya memakai bahasa politik.

Soal mensejahterakan rakyat, secara awam bisa kita lihat, apakah memang bahwa kesejahteraan dimulai dari atas. Demokrasi diberlakukan di panggung politik, mufakat untuk musyawarah, saling sepakat untuk membagi kursi kekuasaan. Sejahtera secara politis adalah pengurus rakyat jangan sampai menjadi kurus karena berkorban untuk rakyat.

Pesta demokrasi lima tahun sekali, sebagai proses legitimasi bahwa peraih suara terbanyak atau secara kuantitas adalah yang terpilih, didaulat secara formal sebagai yang terbaik. Suara mayoritas menjadi ciri demokrasi. Asas layak, patut dan pantas semakin mengkokohkan wakil rakyat, wakil daerah, kepala daerah, dan kepala negara adalah produk pilihan.

Biaya politik yang dinamis menjadikan demokrasi perwakilan sebagai budaya liberal. Artinya, demokrasi sebagai fungsi rupiah. Demokrasi dibingkai dalam tarikan dua kutub, kutub pertama berupa campur tangan penyandang dana dan kutub lainnya adalah keberpihakan kepada pemodal.

Jika dihitung mundur, wakil rakyat, kepala daerah, atau kader parpol yang terjerat tindak pidana korupsi, sebagai bukti bahwa untuk meraih kursi kekuasaan tidak gratis. Harus ada kalkulasi balik modal, harus ada hukum politik : balas jasa atau balas budi. Suara atau kekuatan minoritas inilah yang menjadi kuda hitam demokrasi.

Ad 2. MPR Sakti
Sejarah membuktikan bahwa MPR periode 1999-2004 hasil Pemilu 7 Juni 1999, sebagai bumerang atau senjata makan tuan bagi demokrasi. Kita bolak-balik faktanya :

Pertama, MPR telah mengeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1999 tahun 1999, tertanggal 19 Oktober 1999, tentang “PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PROF. DR. ING. BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE”, yang intinya pidato pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak oleh MPR melalui mekanisme voting dengan 355 suara menolak, 322 menerima, 9 abstain dan 4 suara tidak sah.

Kedua, Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid) diberhentikan melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (SI MPR) tanggal 23 Juli 2001 dengan Tap MPR Nomor II/MPR/2001 tentang “PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA K.H. ABDURRAHMAN WAHID” karena telah mengeluarkan maklumat (dekrit) pembubaran MPR/DPR. Pemberhentian Gus Dur itu murni merupakan akibat pertarungan politik. Bahwa Gus Dur kalah dalam pertarungan itu tentu harus diterima sebagai fakta politik yang tak terelakkan (sumber : http://pwnudiy.or.id/content/kisah-pelengseran-gus-dur).

Baru periode pertama di era Reformasi 1999-2004, demokrasi sudah makan korban dua presiden. Jangan dibayangkan, bagaimana rasa teganya MPR kepada nasib rakyat.

Ad 3. Syura Bukan Demokrasi
Anggapan bahwa syura (musyawarah) sama dengan demokrasi, telah masyhur dan  sudah lama adanya.  Meski demikian, anggapan ini sesungguhnya tidak benar. “Demokrasi bagi kita ialah musyawarah,” kata Sukarno, presiden pertama RI, ketika menyampaikan pidato berjudul, "Negara Nasional dan Cita-Cita Islam," di Universitas Indonesia, di Jakarta 7 Mei 1953.

Dari berbagai uraian bisa kita simpulkan bahwa  adanya perbedaan fundamental antara syura dan demokrasi. “Demokrasi bukanlah syura, karena syura artinya adalah meminta pendapat (thalab ar-ra’y). Sebaliknya, demokrasi adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem (pemerintahan) . . .” (sumber : http://www.globalmuslim.web.id/).

Syura hanyalah hak internal umat Islam saat bertukar pikiran untuk mengambil suatu pendapat atau kesepakatan bersama serta tidak diberlakukan untuk semua urusan. Bagaimana umat Islam ketika berlainan pendapat, kiat, jurus atau langkah apa yang harus dilakukan dengan mengacu fiman Allah yang diabadikan dalam Al-Qur’an [QS An Nisaa’ (4) : 59] : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”


Saran Dan Simpul
Umat Islam dalam menggunakan hak pilih dalam pemilu legislatif 9 April 2014 dan pemilu presiden/wakil presiden Juli 2014, jika memilih pasif atau masuk kategori golongan putih, akan menguntungkan suara dari non-Islam.

Beda pendapat, beda warna parpol, beda pilihan kita nikmati sebagai dinamika dan bumbu kehidupan, bukan sebagai alasan untuk berseteru dunia akhirat.

-------

Jumat, 29 Agustus 2014

PETA SINETRON vs PETA POLITIK

Beranda » Berita » Opini
Selasa, 27/06/2006 03:44

PETA SINETRON vs PETA POLITIK

Semangat reformis dibilang hanya mengulang sejarah, hanya lebih hati-hati dan terbuka. Semisal mengapa orang berperilaku korup. Hasil penyelidikan di atas kertas maupun di atas rumput membuktikan bahwa para pelaku tipikor dibagi menjadi dua kutub. Semua berbasis hukum. Mulai dari yang buta hukum sampai yang kebal hukum. Kita tinggal pilih kutub yang mana sesuai selera dan itikad, yang jelas jangan coba-coba. Malah mahal di ongkos dan biaya perkara. Acuan untuk berkorupsi secara elegan, pokoknya yang masuk kutub kebal hukum, tokohnya masih hidup.

Di sinetron (singkatan dari sinematografi elektronik ?) yang ditayangulangkan liwat media elektronika utawa layar kaca tersirat berbagai delik. Mulai dari penyaluran bakat sampai ingin berakrobat. Orang cari duit dengan berakrobat di darat dan udara walau dibilang masuk hiburan mata dan nyali. Laiknya penyanyi, bukannya cari duit! Malah harus keluar duit untuk bisa manggung di layar kaca. Tampil di layar kaca atau media massa pada umumnya sebagai ajang promosi.

Bahkan kulit itnta yang di satu sisi dianggap kurang ajar, di sisi lainnya campur tangannya diharapkan, khususnya untuk mendongkrak polularitas. Harus punya modal tak sekedar modal, kalau perlu menggadaikan yang masih di dahan. Prinsip ijon berlaku atau terasa usang. Posisi tawar-menawar jelas tak memakai pasal dan secara moral antar pelaku bisa mengikat. Masing-masing pegang kunci atau kelemahan pihak lawan.

Aturan main berdasarkan sistem arisan, jatah, kapling. Periode 2004-2009 jelang paruh jalan. Banyak politisi utawa politikus menyiapkan peluang. Mengatur dan merapatkan barisan bisa mulai dari atas. Siapa kuat rupiah akan bertindak sebagai pengarah. Yang di bawah tinggal mengamini. Yang kalah rupiah dikuatirkan akan merangkul dolar. Mencari bantuan tetangga. Isu teroris khususnya yang dituju Islam radikal menjadi senjata untuk meraih simpati. Jangan heran kalau investor asing masih melirik NKRI. Kata orang bijak, politik menghalalkan segala cara. Seperti yang dipraktekkan PKI sampai sekarang. (hn)


KRIKIL TAJAM MASA DEPAN NKRI

Beranda » Berita » Opini
Senin, 29/03/2004 07:48

KRIKIL TAJAM MASA DEPAN NKRI

Bukannya tak ada alasan kalau Bung Karno bilang: “Revolusi belum selesai”, sehingga dilanjutkan oleh Bapak Pembangunan dengan motto hantam kromonya. Tak perlu menyesali sejarah apalagi mengutuk masa lalu. Agar peristiwa pahit bangsa ini tak berulang dan berlanjut, ada baiknya Mega dan Tutut diduetkan sebagai capres dan cawapres Pemilu 2004. Artinya, kalau mereka bisa jadi anak baik bangsa ini akan tetap mulus melaju. Sebaliknya, jika mereka jadi sopir mengorbankan penumpang, kita tinggal banting stir alias ganti sopir di tengah jalan. Lalu siapa pasangan ideal Bung AT. Itu lain pasal dan lain perkara. (hn)


Syarat Pokok Presiden 2004

Beranda » Berita » Opini
Senin, 17/03/2003 09:12

Syarat Pokok Presiden 2004

Penyelenggaraan Pemilu 2004, tidak lama lagi akan di gelar untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD dan setelah itu pemilihan secara langusng Capres/Wapres, yang untuk pertanma kalinya rakyat akan memilih Presidennya sesuai hati nuraninya.


Sebagai persyaratan pokok untuk menjadi Capres/Wapres adalah harus melaksanakan debat publik untuk mengukur kualitas Capres di masa datang, memiliki misi dan visi yang jelas,terarah untuk membangun negara, mempunyai hubungan baik di dalam negeri dan di dunia Internasional, jujur, dan bisa merangkul semua lapisan masyarakat bawah atau yang lebih dikenal dengan wong cilik, mudah-mudahan presiden kita bisa membawa Indonesia keluar dari krisis yang berkepanjangan.

AYO BUNG !!! (2)

Beranda » Berita » Opini
Jumat, 04/07/2008 09:46

AYO BUNG !!!

Pakai helm naik motor
Parpol gurem jadi koruptor

Sambal terasi bikin nikmat
Sudah korupsi tipu rakyat

Duduk nongkrong kaki dilipat
Suka bohong pandai berdebat

Pakai galah petik mangga
Biar salah tetap bangga

Nasi basi jangan buang

Dapat kursi tumpuk hutang (hn)

syarat, sarat dan suratan cakara

Beranda » Berita » Opini
Selasa, 20/03/2007 10:28
syarat, sarat dan suratan cakara

Syarat, sarat dan suratan cakara Menarik, ketika beberapa parpol menilai bakal cagub DKI 2007 ke depan, adalah yang sekarang sedang menjabat wagub (FB). Alasannya cukup bersahaja dan sederhana yaitu bahwa ybs pernah mengabdi ke 8 gubernur DKI. Entah mulai gubernur siapa dan kapan.

Lebih menarik lagi, kalau syarat capres untuk pilkara (pemilihan kepala negara) 2009 harus bergelar akademis S1(strata satu). Justru yang paling menarik berdasarkan pengalaman ala Bung FB tadi bisa dibuat syarat cakara (calon kepala negara) yaitu :

Pertama, anak keturunan langsung dari seorang yang pernah menjabat sebagai presiden di negara yang sama.

Kedua, pernah menjabat sebagai presiden baik melalui pemilihan ataupun bersifat melanjutkan jabatan presiden yang kosong atau melalui mekanisme mandataris.

Ketiga, pernah mengikuti putaran terakhir pilkara dengan hasil dukungan pemilih di atas 10% (atau berapa pun) yang dibuktikan oleh pengadilan nasional.

Keempat, masih aktif di jabatan tertinggi suatu partai politik, khususnya bukan partai politik yang dibentuk jelang pilkara. (hn)


Kamis, 28 Agustus 2014

PILKADA DALAM ANGKARA

Beranda » Berita » Opini
Kamis, 21/02/2008 03:27
PILKADA DALAM ANGKARA

Restu dan dukungan partai politik utawa parpol, dalam penetapan calon kepala daerah membuktikan betapa peran parpol masih dominan dalam menentukan siapa yang masuk jajaran penyelenggara negara alias eksekutif. Calon independen memang bisa muncul, tapi tak akan sampai tujuannya. Internal parpol, terjadi kader parpol tidak diorbitkan oleh pengurus parpol, namanya masalah internal. Terjadi internalisasi bangsa dan negara oleh parpol, tunggu saja tanggal mainnya. Jangan sampai NKRI terpuruk, ambruk dan lebih buruk dibanding zaman Orde Soeharto (hn).


Misteri tim sukses Amien Rais, awal karma hukum politik

Beranda » Berita » Opini
Senin, 19/04/2004 07:23
MISTERI TIM SUKSES AR, AWAL HUKUM KARMA POLITIK

Kiprah dan kinerja oknum tim sukses AR untuk capres malah akan menjerumuskan. Musuh di depan mata memang tak nampak. Kawan seiring lebih tega dibanding seteru. Mereka tinggal menjungkalkan AR, hanya masalah waktu. Sudah kehendak sejarah, siapa yang makan siapa akan terkena getahnya, tak pandang bulu.

Reformasi sebagai kedok politik. Jangan korbankan PAN untuk ambisi pribadi AR. Memilih parpol bukan berarti memilih ketua umumnya sebagai capres. Syukurlah anggota PAN masih bisa berfikir secara elegan. (hn)


MENANTI TRAGEDI

Beranda » Berita » Opini
Senin, 04/06/2007 08:49

MENANTI TRAGEDI

kita hidup dan menghirup udara di Nusantara ini berjalan alami, tanpa perencanaan yang kompleks, rumit, pelik dan muskil.
celakanya, alam memang memanjakan kita.
usai buka mata di pagi hari sampai pagi berikutnya seandainya kita tanpa upaya, tetap akan hidup.

seandainya kita tak peduli pada lingkungan, negara ini tetap jalan.
seandainya kita tidak berjalan, malah tidak menambah beban lalulintas.
seandainya kita tidak aktif di partai politik, negara ini tetap akan jalan.
seandainya ......... kemanjaan kita semangkin menjadi-jadi.

ada yang asal jadi, yang penting jadi.
jadilah negara ini berjalan seolah tanpa perencanaan.
hukum sebab-akibat yang dipentingkan.
jadilah kita hanya menunggu dan menanti, tanpa perlu berupaya, apalagi merintis menuju masa depan yang lebih baik dari masa sekarang.
kita tidak peka terhadap tanda-tanda alam, apalagi terhadap tanda-tanda zaman.
yang penting hari ini kenyang, besok cari utawa curi lagi.
 ini tak berarti bagi koruptor klas manipulator, selagi bisa dicuri, curi semua jangan ada yang tersisa.

begitu ada musibah kita baru ingat.
begitu ada bencana kita baru merasa.
begitu ada duka kita baru sadar.
begitu ada kecelakaan kita baru tergugah.
begitu ada nestapa kita baru terjaga.
begitu ada tragedi kita baru ....... kita memang selalu menunggu tragedi.

yang penting harus ada yang disalahkan, dikambinghitamkan atau bahkan dikorbankan demi kepentingan sesat dan sesaat.

kita bisanya cuma menyalahkan, menggerutu dan menyesali nasib. (hn)


MISTERI ANGKA 11 SEPTEMBER 2001

Misteri angka 11 September 2001

Tragedi WTC 11 September 2001 memang penuh misteri rekayasa atas keajaiban angka dan makna sebuah bilangan. Bermula sebagai negara adidaya maka Amerika Serikat (AS) beritikad untuk selalu mempertahankan reputasi dalam hal merekeyasa sejarah dunia, khususnya supremasi dalam menjarah peradaban hak asasi manusia.

Sedemikian peliknya, sehingga setan pun merasa tersaingi. Menurut logika ketuhanan mayoritas rakyat AS bahwa semua kejadian alam dan rekayasa duniawi adalah fungsi angka atau bilangan. Semua fenomena dan fakta bisa diukur, bisa dihitung maupun bisa dikuantifisir.

MENGAPA HARUS TANGGAL 11.9.2001.
AS merdeka pada tanggal 4 Juli 1776. Tanggal 4 dan bulan ke 7 (Juli) jika ditambahkan menjadi 11. Tanggal 11 menjadi patokan pertama. Patokan kedua untuk mendapatkan waktu bulan tinggal menjumlah tahun 1776, diperoleh hasil 21. Mengingat satu tahun hanya duabelas bulan, maka angka 21 tadi dikurangi 12 diperoleh angka 9. Bulan ke 9 adalah September. Patokan ketiga untuk memperoleh tahun kapan yang tepat berdasarkan jumlah angka 21 adalah 3. Pada abad ke XXI ini tahun jika angka-angkanya dijumlah = 3 (tiga) adalah tahun 2001, 2010 dan 2100 !!! Alternatif pertama tentunya pada tahun 2001.

Masalahnya mulai kapan AS merencanakan rekayasa ini secara sistematis? Berdasarkan perhitungan logika dari angka kemerdekaan AS, dengan rumus perkalian 4x7= 28 dan 1x7x7x6= 294. Dibaca 28-2-94 atau pada tanggal 28 Februari 1994! Dengan catatan bahwa awal abad XXI (nantinya) AS harus "merdeka" dan bisa berdiri di atas semua bangsa. Makanya setan pun terkesima.

MENGAPA HARUS GEDUNG WTC.
Masih dalam otak-atik matuk, menurut kadar nalar Wong Jawa, angka atau bilangan masih mujarab untuk menjawab. Dari abjad jelas bahwa W urutan ke 23, T urutan ke 20 dan C urutan ke 3. Jika ketiga angka tersebut dijumlahkan sampai mendapatkan satu angka akan diperoleh 23+20+3= 46, kemudian 4+6=10, kemudian 1+0=1 ! Merupakan bahwa AS ingin menjadi negara nomer 1 di dunia. Bahkan deretan angka 2+3+2+0+3= 10 dan 1+0=1 !!! Jika rumus pengurangan dipakai diperoleh W-T=C terbukti dengan angka 23-20=3.

Masalahnya bagaimana AS menentukan alternatif selain WTC. Caranya sangat gampang, tidak perlu KKN dengan setan, cukup pakai rumus penjumlahan W+T= n, dan "n" inilah yang menjadi sasaran berikutnya. Kita hitung W+T=23+20= 43. Karena abjad hanya ada 26 maka untuk mendapatkan hasil "n" dengan cara 43-26=17. Jadi huruf ke 17 adalah P. Artinya didapat formula WTP. Mengikuti pola pikir politikus AS arti WTP adalah War Trade Pentagon. Memangnya markas besar ABAS (Angkatan Bersenjata AS) di Pentagon, sebagai perdagangan perang.

MENGAPA HARUS HARI SELASA.
Memang bukan serba kebetulan kalau 11 September 2001 adalah hari Selasa, atau ada "burung besi" dan "gajah kembar". Berdasarkan pertimbangan, wewenang dan akal sehat maupun logika ketuhanan (sentuhan tangan setan) makhluk AS bahwa Selasa adalah hari istimewa. (bersambung) 


Rabu, 27 Agustus 2014

Ayo Bung !!!

Beranda » Berita » Opini
Rabu, 07/02/2007 11:52

Ayo Bung !!!

Yogyakarta kota budaya
Ayo Bung rebut kembali
Wakil rakyat pangkal kaya
Cidera janji uang kembali

Berrakit-rakit ke hulu
Berrenang-renang ke tepian
Mulanya sedikit tahu sama tahu
Belum kenyang sudah ketahuan

Dasar orok tukang ngompol
Menjadi murid kencing berlari
Dasar wakil rakyat suruhan parpol
Keenakkan duduk lupa berdiri

Mengajar murid pakai metode
Agar tepat pakai logika akal
Menjadi wakil rakyat cuma satu periode
Belum bisa bayar hutang kembali modal

Siapa rajin ke sekolah
Malu bertanya sesat di jalan
Walau rakyat hidup susah
Yang penting besar pendapatan

Hidup tidak mati tak berani
Tari perut senggol-senggolan
Dengar pendapat abaikan hati nurani
Kenyang perut tujuh turunan

Katak mimpi jadi lembu
Ayam jantan berkokok dikira fajar
Watak sejak dalam kandungan ibu
Diolok-olok unjuk rasa dikira wajar

Jakarta ibukota negara
Pelabuhan laut Tanjung Priok
Kalau sudah duduk lupa perkara
Sanksi komisi tak bikin kapok

Balonku ada lima
Siapa rajin pasti dapat
Daripada antri caleg lama
Lebih baik modal mulut baku debat

Ayam hitam bertelur putih
Ayam jantan kaki bertaji
Ketika rakyat menagih
Ketika kampanye tebar janji

Ringan sama-sama dijinjing
Berat sama-sama diangkat
Katanya studi banding

Memang musyawarah untuk mufakat (hn)

Reformasi 2014-2019 : Merasa Punya Sayap

Reformasi 2014-2019 : Merasa Punya Sayap
Oleh : Herwin Nur

Pawang Politik
Tukang survei sampai yang berkadar ahli survei, tidak ada yang berani mengatakan bahwa Reformasi dimulai dari puncaknya. Klimaks kekuatan rakyat turun ke jalan dan menduduki simbol negara MPR/DPR, 21 Mei 1998, presiden RI ke-2, bapak Suharto lengser keprabon. Terjadi peralihan rezim secara sistematis, masif dan berkelanjutan. Benang merahnya yaitu politik sebagai panglima. Demi politik, tujuan menghalalkan segala cara.

Tukang/ahli survei yang terbiasa menerima pesanan, lagi-lagi, tidak ada yang berniat mengungkap bahwa pada saat Pemilu 1999, rakyat merasa kasihan dan hiba kepada anak biologis dan yuridis preseiden pertama RI. Rakyat mengedepankan watak welas asih kepada pihak yang terdepak secara politis di era Orde Baru, walhasil 33,73% pemilih memilih PDIP.

Syahwat politik sudah merasuki industri politik 1999-2004. Ketua umum parpol pemenang Pemilu 1999, tidak otomatis jadi presiden, walau ambisinya sudah melampaui kapasitasnya. Pawang politik di MPR secara aklamasi, tepatnya akal-akalan demokrasi, mengangkat sekaligus menjatuhkan Gus Dur jadi presiden RI ke-4. Nasib baik memihak wapres maju jadi presiden RI ke-5. Semangat banteng ketaton (banteng terluka) yang hobi main serudak-seruduk, bermuka manis merasa pintar, tidak bisa menyembunyikan fakta dan realitas yang ada.

Sadar Politik
Pengamat politik berbagai aliran, tampil dengan gagah mengisi acara, adegan dan atraksi media penyiaran televisi. Mereka tampak ahli dan lihai mempermainkan kata, membolak-balik fakta, merekayasa data bagimana situasi dan cuaca politik terkini. Mereka lupa, rakyat awam, masyarakat buta politik, sudah tahu mana emas mana loyang. Diskusi, dialog dan debat berbasis politik, tak lebih dari pamer bego, unjuk ‘tulul’ (pakai istilah om Mario Teguh) bersaing dengan komidian kambuhan. Mereka hanya bermodal ucap dan cuap.

Rakyat yang buta politik, tidak tertipu dengan garangnya kucing dalam karung. Presiden dipilih langsung oleh masyarakat melalui Pilpres pertama 2004, semakin membuktikan bahwa rakyat hanya melihat siapa bisa berbuat apa. Bukan politik balas jasa, karena sudah terbukti dampaknya.

Modal pengalaman jadi wakil presiden dan sekaligus presiden dalam satu periode bukan jaminan rakyat akan memilihnya di Pilpres 2004. Bahkan semangat merasa bisa jadi pemimpin, mengulang kejadian Pilpres 2004 di Pilpres 2009. Sanjungan ayahnya yang mengatakan dia anak pintar, menjadikan logika politiknya tidak pintar, menghasilkan kalkulasi pilitiknya tidak pintar.

Dikotomi Politik
Sekali lagi, kawanan tukang/ahli survei, alumni dan lulusan PT internasional, tetap tabah tak mau menyelidiki maupun meyidik dampak presiden dari militer, SBY menjabat presiden RI ke-6 dua periode 2004-2009 dan 2009-2014 atau satu dekade. Entah ilmunya tidak mempan, mungkin nyalinya terkuras habis, atau bayarannya tak seimbang dengan resikonya, kawanan tukang/ahli survei lebih memilih pura-pura tidak peduli.

Terjadi revolusi trias politika, kubu legislatif yang 100% pekerja partai, tanpa malu dan sungkan menjadi dominan. Melebih eksekutif yang kendalikan pekerja partai dan dilengkapi kalangan proefsional. Mengambil alih wewenang yudikatif. Kinerja dan kiprah legislatif melebihi fungsinya sebagai legislasi.

SBY ditelikung dari dalam, kader Partai Demokrat, yang jauh dari budaya malu, melakukan tipikor. Kaum Hawa tidak mau ketinggalan langkah cepat kaya. Setan pun bingung karena merasa tidak membisiki mereka.

Ritual Politik
Ekonomi dan politik merupakan pasangan tidak resmi yang bisa menentukan nasib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pelaku ekonomi, walau lulusan universitas negara Paman Sam, semakin meyakinkan untuk terjebak dogma, doktrin dan dikte kemauan investor. Indonesia tidak mempunyai posisi tawar untuk menyeleksi masuknya barang bekas/buangan atau barang abal-abal, dengan dalih area perdagangan bebas.

Investor politik melirik Indonesia untuk kepentingan jangka panjang. Ada skenario standar/pesimis, moderat sampai ideal/optimis yang akan dipraktekkan. Kawanan parpolis, dengan platform nasional, agama atau gado-gado tidak mempunyai posisi tawar menyikapi Pemilu Rabu 9 April 2014, terlebih Pilpres Rabu 9 Juli 2014.

Entah yang ke berapa kali, kawanan tukang/ahli survei, tidak merinci kelompok masyarakat seperti apa yang menjadi pemilih, tidak mau jadi golput. Mengacu serial TV di zaman Orde Baru, khususnya super hero, yang tokohnya wanita. Kaum Hawa, yang bukan minoritas di tanah air, merasa terwakili oleh kedigdayaan sang jago (padahal wanita).

Stigma uneducated people yang diterapkan kepada pemilih Prof.Dr. Haji Rhoma Irama saat Pemilu 9 April 2014, apakah juga berlaku pada pemilih Pilpres 9 Juli 2014. Banyak lapisan masyarakat, wong cilik, merasa terwakili oleh jagoannya yang gemar blusukan.

Secara sadar dan nyata, arah politik Nusantara, bahasa gaulnya politik luar negeri maupun politik dalam negeri, telah keblusuk ke skenario investor politik. Trik dan intrik politik jelang sumpah jabatan RI-1 dan RI-2 sudah membuktikan bahwa banyak pihak di dua kubu yang merasa punya sayap. Belum-belum politik transaksional sudah tertebak aromanya. Semua merasa punya andil.

Jika penguasa tunggal Orde Baru lihai memanfaatkan orang pintar masuk jajaran pembantu presiden. SBY dimanfaatkan oleh orang yang pandai-pandai tampil diri bagaikan emas (padahal loyang). Maka di periode 2014-2019 banyak orang yang pandai-pandai membawa diri dengan tidak memerankan dirinya sendiri. Mengacu ramalan leluhur bahwa suatu saat akan terjadi naunsa kere munggah bale.

Kita tetap optimis, karena hidup adalah proses, tidak sekedar mengalir, kita mengacu sebagian terjemahan [QS Ar Ra’d  (13) : 11] : Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.


Bukan berarti di panggung politik tidak mengenal kalah atau menang. Kita yakin lima tahun ke depan bukan milik kita, adalah hak generasi mendatang.  [HaeN].